Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ERNI Herawati masih ingat benar ketakutan yang dia rasakan sekitar sepuluh tahun silam. Ketika itu dokter memastikan putra tunggal perempuan 34 tahun itu—yang saat itu masih berusia 10 bulan—terkena hemofilia. Perempuan berkerudung tersebut sebenarnya paham betul apa yang terjadi dengan anaknya. Gara-gara kelainan darah itulah dia kini menjadi anak tunggal. ”Dua kakak dan adik laki-laki saya meninggal, semua karena hemofilia,” katanya pelan.
Ketika dia kerap menemukan lebam di tubuh anaknya—persis yang dialami ketiga saudaranya—jantungnya langsung berdebar keras. ”Saya dan suami sejak menikah memang sudah bersiap-siap, kalau punya anak laki-laki kemungkinan akan seperti ini,” katanya. Maklum, berkaca pada pengalaman ibunya, dan apa yang dia pelajari, Erni sejak awal mafhum bahwa dia bakal mewariskan hal yang sama pada anak lelakinya.
Erni tak mau larut dalam kesedihan, meski dia tahu hemofilia bukan penyakit remeh. Tapi dia yakin, dengan penanganan maksimal anaknya bisa tumbuh kembang normal dan berumur panjang. Sedini mungkin dia mengajari putra semata wayangnya itu menghindari segala kegiatan yang bisa menyebabkannya terbentur, karena itu bisa fatal akibatnya. Erni juga memberikan pengertian kepada orang-orang di sekelilingnya, termasuk guru di sekolah. Setiap pekan dia juga mengantar anaknya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk mendapat pasokan faktor VIII melalui transfusi plasma darah beku.
Malik Abdul Aziz, putra Erni itu, kini sudah 11 tahun. Bocah lelaki berbadan montok itu tampak sehat dan bugar. Gerakannya juga lincah. Malik sekarang duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar Negeri 17 Palmerah, Jakarta Barat. Di sekolah, prestasi Malik juga lumayan. ”Kecuali olahraga, semua hal bisa dia kerjakan. Dia selalu masuk sepuluh besar,” kata Erni bangga.
Prof Dr Djajadiman Gatot, ahli hematologi-onkologi Departemen Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa Malik menderita hemofilia tipe A atau dikenal sebagai hemofilia klasik. Kelainan darah ini mayoritas diderita anak laki-laki, sedangkan perempuan membawa sifat genetik (carrier). ”Darah mereka sulit membeku,” tutur Djajadiman dalam diskusi memperingati Hari Hemofilia Sedunia ke-20, pertengahan April lalu, di Jakarta. Protein faktor VIII dalam darahnya—zat yang diperlukan untuk menutup luka—amat minim. Akibatnya, saat terjadi luka, baik di luar maupun dalam tubuh, akan timbul perdarahan yang sulit dihentikan.
Satu-satunya cara agar tetap bertahan hidup, penderita harus mendapatkan protein faktor VIII itu dari luar. Caranya bisa melalui transfusi plasma darah beku (fresh frozen plasma), yang dikenal dengan istilah kriopresipitat-AHF. Atau yang kini mulai disebarluaskan adalah melalui terapi faktor VIII rekombinan antihemofilik, yang praktis diberikan di rumah, lewat suntikan untuk mencegah dan mengendalikan perdarahan.
Tapi, yang paling penting, menurut Djajadiman, adalah dukungan keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Untuk itulah yang menjadi fokus utama peringatan Hari Hemofilia tahun ini adalah ”Love. Learn. Live”.
Dukungan keluarga ini pulalah yang membuat Agustaman Fajar Wirawan, 25 tahun, optimistis. Pemuda yang akrab disapa Agust ini ketahuan menderita hemofilia klasik ringan sejak umur enam bulan, ketika dia getol-getolnya belajar merangkak. Agust termasuk dari 30 persen penderita hemofilia yang tak punya riwayat keluarga. Kakak perempuan dan adik laki-lakinya sehat-sehat saja.
Agust bersyukur, keluarganya tak pernah mengekang kegiatannya. ”Ke mana-mana saya juga bebas naik sepeda motor sendirian,” kata sarjana lulusan Universitas Gunadharma, Jakarta ini. Tapi Agust sadar betul kondisi tubuhnya punya ”kelemahan”. Bolak-balik ke RSCM seminggu sekali untuk transfusi darah tak dianggapnya sebagai beban. Soalnya, kalau hal itu terlambat dilakukan, persendiannya, terutama lutut, bakal meradang. ”Bengkak dan rasanya nyeri sekali, kadang sampai tidak bisa berjalan,” katanya. Lututnya berangsur membaik setelah dia mendapat pasokan 12 kantong plasma darah.
Djajadiman menuturkan, setiap perdarahan bagi penyandang hemofilia ibarat panggilan maut. Bila perdarahan berhenti di sendi, di daerah yang berhenti mengalir itu akan terlihat bengkak membiru. Bila dibiarkan bisa merusak sendi dan membuat penderita cacat. Kondisi makin gawat bila perdarahan terjadi di dalam kepala, perut, sumsum tulang belakang, dan usus. Nyawa mereka bisa terancam. ”Sebagian besar kasus hemofilia meninggal karena ini,” tuturnya.
Malik dan Agust beruntung bisa memperoleh pengobatan tanpa perlu pusing memikirkan biaya, karena mereka memiliki kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat. Maklum saja, plasma darah maupun obat pembeku darah yang diperlukan seumur hidup itu tergolong mahal. Satu kantong plasma darah ukuran 300 mililiter harganya Rp 125 ribu. Adapun terapi rekombinan dalam bentuk suntikan mencapai lebih dari Rp 1 juta. ”Ini penyakit yang bisa membuat orang kaya sekalipun dapat jatuh miskin,” kata Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia Prof Dr Moeslichan SpA(K).
Kondisi ini sangat memprihatinkan, mengingat jumlah penderita hemofilia di Indonesia tidak sedikit. Himpunan itu mencatat ada 1.200 penderita hemofilia di Indonesia. Bahkan diperkirakan masih banyak kasus hemofilia yang belum terdeteksi. ”Estimasi beberapa pihak menyatakan ada sekitar 20 ribu penderita hemofilia di Indonesia,” ujar Moeslichan. Minimnya pasien hemofilia yang terdeteksi di rumah sakit diduga juga karena sebagian penderita sudah meninggal sebelum terdiagnosis, dan sebagian lagi lolos dari diagnosis karena gejalanya ringan.
Inilah yang mendorong Agust menjadi relawan di Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia. Sebagai relawan, dia dan teman-temannya tak cuma bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan teman senasib. ”Tapi juga menolong mereka mencari jalan keluar saat bingung mencari biaya pengobatan,” katanya.
Nunuy Nurhayati
Karena Anyaman Tidak Sempurna
- Perdarahan terjadi jika terdapat luka pada pembuluh darah.
- Pembuluh darah kemudian menciut agar darah tak banyak keluar.
- Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada pembuluh.
- Faktor pembeku darah (faktor 1 sampai 13) bekerja membentuk anyaman (benang-benang fibrin) sehingga pembuluh darah menutup sempurna dan darah berhenti mengalir.
- Anyaman tidak bisa menutup sempurna bila faktor pembeku darah itu tidak lengkap:
Hemofilia A: kekurangan faktor VIII
Hemofilia B: kekurangan faktor IX
Prosesnya seperti deretan lempengan yang saling berdekatan. Ketika lempengan pertama dijatuhkan, otomatis akan menimpa lempengan berikutnya, sehingga saling menutup. Namun pada hemofili, itu tidak terjadi.
Tanda-tanda Hemofilia:
- Gampang memar (perdarahan di bawah kulit) saat terbentur, walaupun benturan ringan.
- Memar bisa juga terjadi secara spontan saat penderita melakukan aktivitas fisik terlampau berat.
- Siku sering mendadak bengkak dan nyeri tanpa disertai demam.
- Gangguan pada persendian, terutama sendi engkel (lutut, pergelangan kaki, lengan, siku, bahu), bila dibiarkan akan menjadi kaku (cacat).
Kemunculan Hemofilia:
- Gen hemofilia ada pada kromosom X, salah satu dari dua kromosom yang menentukan jenis kelamin. Laki-laki memiliki kombinasi kromosom XY, sedangkan perempuan XX.
- Sehingga hemofilia umumnya diderita anak laki-laki dari ibu pembawa gen hemofilia.
- (i) Ayah hemofilia dan ibu normal, maka anak laki-laki normal, anak perempuan pembawa sifat.
- (ii) Ayah normal dan ibu pembawa sifat, maka anak laki-laki memiliki kemungkinan menderita hemofilia, anak perempuan memiliki kemungkinan menjadi pembawa sifat.
- (iii) Ayah hemofilia dan ibu hemofilia, maka anak laki-laki hemofilia, anak perempuan hemofilia.
Bertahan dengan Hemofilia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo