Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAMILA DAN SANG PRESIDEN
Sutradara: Ratna Sarumpaet
Pemain: Atiqah Hasiholan, Christine Hakim, Surya Saputra, Dwi Sasono
Produksi: Satu Merah Panggung dan MVP Pictures
SEBUAH keinginan baik tentu harus disambut baik. Sutradara teater Ratna Sarumpaet ingin berbicara tentang perdagangan manusia. Mari kita dengarkan. Mari kita saksikan. Apakah keinginan ini dapat diwujudkan menjadi karya yang asyik ditonton? Yang menggugah?
Film bukanlah drama panggung. Seperti juga yang sudah dirintis oleh para sineas Indonesia sebelumnya yang berekspresi melalui teater (Teguh Karya, Arifin C. Noer, Slamet Rahardjo, Putu Wijaya), film menjadi pilihan mereka berikutnya dengan kesadaran bahwa ini adalah medium yang membutuhkan seperangkat teknik dan pengetahuan yang jauh berbeda. Apakah Ratna berhasil memindahkan naskah drama ini menjadi naskah film? Adakah film ini berhasil membuat sebuah pernyataan tentang perdagangan manusia di negeri ini?
Film ini dimulai dengan pengakuan Jamila (Atiqah Hasiholan) membunuh Menteri Nurdin (Adjie Pangestu). Jamila ditangkap dan ditahan. Melalui buku harian Jamila, yang dibaca oleh kepala sipir Ria (Christine Hakim), kita mengenal Jamila yang sejak kecil sudah menjadi korban perdagangan ayahnya sendiri. Selanjutnya, bolak-balik dengan masa kini, kita melihat derita demi derita yang dialami Jamila: dijual, diperkosa; lari; diperkosa, lari, membantu adiknya lari dari rumah pelacuran, lari, menjadi pelacur, menjadi simpanan Menteri Nurdin; untuk kemudian akhirnya membunuh sang menteri.
Pertama, siapa pun yang sudah pernah membaca Perempuan di Titik Nol karya Nawal el Saadawi pasti mengalami sebuah déjà vu. Sementara novelis Mesir itu mengisahkan seorang Firdaus di penjara yang bertutur pada psikiater tentang kisah hidupnya; filmnya ini bertumpu pada Jamila yang menceritakan pada penonton tentang dirinya yang ”sudah menjadi pelacur bahkan saat di rahim ibunya”. Tentu saja isi perjalanan Jamila memilih persoalan Indonesia dan Ratna memperkenalkan beberapa subplot yang berbeda. Tetapi kenapa Ratna tidak sekalian memfokuskan diri pada persoalan perdagangan manusia itu saja dan mencari sebuah plot yang lebih orisinal daripada ini?
Dari sini kita memasuki persoalan kedua. Jamila—jika tidak sedang bergumam atau protes marah-marah—berkisah pada penonton tentang penderitaannya kepada berbagai karak-ter. Dari sini kita mengenal berbagai karakter yang, entah kenapa, semuanya tersedot oleh sosok Jamila. Ada kepala sipir Ria, ada pejabat penjara Surya (Surya Saputra), ada kepala demonstran (Fauzi Baadilla), ada pengusaha Ibrahim (Dwi Sasono) yang jatuh hati pada Jamila, dan ada segerombolan napi perempuan yang iri atas perhatian istimewa yang ditumpahkan pada Jamila. Karakter yang berseliweran begitu banyak di antara jerit dan tangis Jamila yang mendera-dera sepanjang film, hingga akhirnya kita lupa bagaimana caranya bersimpati pada penderitaan perempuan ini.
Adegan-adegan antara kepala sipir Ria—yang terkadang digambarkan galak, lain kali digambarkan bersimpati pada Jamila—dengan Jamila juga tak jelas motivasinya. Hubungan yang ingin dibangun antara kedua perempuan—yang seharusnya berkarakter kuat ini—tak kunjung mengental. Adegan teatrikal di dalam dapur—seperti sebuah transformasi mentah naskah drama ke dalam film—adalah adegan paling parah: apakah Jamila sedang protes karena frustrasi (sehingga setiap kali dia melempar semua barang pecah belah di hadapannya)? Atau Ratna mencoba memanfaatkan kemampuan dua aktris—yang sebetulnya bisa menjadi momen yang menarik—dan gagal?
Ratna Sarumpaet, seperti yang kita kenal dalam drama-dramanya, selalu berbicara dengan lantang. Itu memang gayanya. Hanya, dalam film, segala sesuatu yang penuh dengan verbalisasi dan gerak panggung yang begitu sibuk, menjadi tontonan yang melelahkan. Pernyataan penting (soal perdagangan manusia, soal eksploitasi anak-anak dan perempuan) akhirnya tenggelam dengan kebisingan gerak kata dan gerak badan yang heboh. Di antara berisiknya film ini, justru ada satu kalimat yang melekat dalam benak, yaitu dialog antara ayah sang demonstran yang menegur anaknya, sang kepala demonstran (Fauzi Baadilla): ”Jadi kaki tangan kok bangga….”
Untuk sebuah film yang diawali dengan niat baik dan didukung pemain-pemain terkemuka, sayang sekali jika hanya satu kalimat itu yang tersisa di hati. Di antara lautan kata dan ratusan subplot yang bertebaran itu; adakah Ratna setuju, terkadang kesunyian pun dan kesederhanaan bisa bercerita dengan efektif.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo