Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Stereo yang Bukan Radio

11 Mei 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWAS! Sebuah kapak beliung mengayun ke wajah Anda! Sebuah reaksi yang wajar bila kemudian Anda menjerit-jerit dan melompat dari kursi nyaman yang Anda duduki.

Detik berikutnya, Anda dan seisi bioskop pasti terkikik-kikik bersama penonton lain. Anda menyadari bahwa, betapapun ganasnya, ayunan kapak beliung tadi tak kan pernah bisa melukai. Kok, bisa?

Kengerian tadi ternyata bukan kenyataan, melainkan ilusi tiga dimensi dari film berjudul My Bloody Valentine. Ilusi itu diciptakan melalui rekayasa teknologi yang terbilang kuno tapi baru akhir-akhir ini kembali lazim kita temui di bioskop.

Pada 1838, Sir Charles Wheatstone berhasil menjelaskan cara kerja sistem penglihatan kita. Penjelasan pria kelahiran Inggris ini dikenal dengan stereopsis. Berbekal teori stereopsis, Wheatstone menciptakan sebuah perangkat yang dapat mengatur citra yang diterima oleh masing-masing bola mata. Pengaturan itu menimbulkan ilusi kedalaman dan kepadatan di benak kita. Perangkat ini menjadi fondasi dalam perkembangan perangkat stereoskop. Istilah stereoskop kemudian lebih dikenal dengan 3D.

Setelah berpuluh-puluh tahun diadakan penelitian dan pengembangan, film 3D akhirnya dapat ditayangkan di layar gedung-gedung pertunjukan film di Amerika pada 1950-an sampai 1960-an. Tetap menggunakan teori stereopsis, film 3D ditayangkan dengan menggunakan dua proyektor dan filter cahaya.

Ketika menayangkan gambar, dua proyektor itu diberi lensa dengan warna yang berbeda—saat itu menggunakan lensa merah dan lensa hijau. Hasilnya tampak seperti gambar dengan warna yang tak fokus. Nah, untuk menikmati ilusi tiga dimensi, diperlukan sebuah filter yang berfungsi menyaring pantulan gambar yang ditembakkan proyektor ke layar. Filter itu berbentuk kacamata dengan dua lensa yang berbeda warna juga, lensa merah dan lensa hijau. Hasilnya, tiap mata menerima gambar yang telah difilter oleh kacamata yang dikenakan pemirsa sehingga muncullah ilusi tiga dimensi. Teknik ini disebut complementary color anaglyph.

Walaupun murah dan mudah, teknik yang telah dipakai NASA ini tak dapat membuat ilusi 3D secerah yang diharapkan. Apalagi dengan menggunakan teknik pemisahan warna, gambar yang diterima oleh mata kita tak sesuai dengan warna aslinya. Akibatnya, dunia perbioskopan akhirnya meninggalkan teknik ini.

Setelah teknik anaglyph, muncul teknik baru untuk menghasilkan ilusi tiga dimensi. Caranya dengan menggunakan cahaya yang terpolarisasi. Ada dua macam polarisasi cahaya yang digunakan, yaitu polarisasi linear dan sirkular.

Film 3D dengan menggunakan cahaya terpolarisasi linear tetap dipancarkan oleh proyektor kembar dan disaksikan melalui filter berbentuk kacamata. Gambar 3D yang menggunakan polarisasi linear—walaupun menggunakan teknik yang lebih sederhana daripada polarisasi sirkular—memiliki kelemahan yang membuat dunia perbioskopan tak terlalu antusias. Apa sebabnya? Efek 3D berkurang bila penonton memiringkan kepala.

Berbeda dengan cahaya yang terpolarisasi linear, gambar 3D dari cahaya yang terpolarisasi sirkular tak memiliki kelemahan tadi. Hal ini disebabkan rambatan cahaya yang terpolarisasi sirkular tetap dapat disaksikan dari berbagai kemiringan tanpa mengurangi efek 3D-nya. Teknik ini pun masih menggunakan dua proyektor, yang satu menghasilkan cahaya yang terpolarisasi searah jarum jam dan yang lainnya menghasilkan arah polarisasi yang berlawanan. Begitu pula dengan dua lensa filternya.

Pada 2005, RealD, sebuah perusahaan penyedia teknologi film 3D, berhasil meluncurkan sebuah perangkat untuk menghasilkan ilusi 3D yang dilekatkan pada satu proyektor saja. Penemuan ini membuat penetrasi RealD ke bioskop-bioskop lebih dalam dibandingkan perusahaan sejenis. Selain prosedurnya lebih bersahabat, film yang dilengkapi teknologi RealD cenderung lebih tajam dan laris. Apalagi Walt Disney kemudian menggandeng RealD untuk merilis film-film dengan ilusi 3D.

Untuk memproduksi film 3D dengan tokoh yang diperankan manusia dengan setting lengkap, diperlukan kamera dengan lensa kembar khusus. Dengan lensa kembar itu dihasilkan dua gambaran yang berbeda sesuai dengan persyaratan teori stereopsis. Hasil yang akan dipancarkan sesuai dengan teknik yang sudah diceritakan di atas.

Hasil produksi film 3D dengan peran manusia itu kini telah dapat Anda nikmati di bioskop kesayangan Anda. Untuk yang menyukai film horor, Anda perlu menonton My Bloody Valentine yang dikemas dengan teknologi yang kembali naik daun ini. Awas! Kapak beliung!

Moerat Sitompul

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus