Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Berlari, Bergaya, Berbahagia

Lari menjadi tren. Awalnya karena ingin sehat dan kurus, akhirnya membawa kebahagiaan. Ada juga yang hanya ingin narsis.

16 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DINI Indra sudah memakai kostum berlari ketika kami menjumpainya di dekat Istana Olahraga Senayan, Jakarta, dua pekan lalu. Ia memakai kaus Adidas tanpa lengan berwarna hitam, celana dengan warna sama, sepatu Asics warna-warni, dan bando merah agar rambut sepunggungnya tak berkibar-kibar. Sudah pukul empat sore dan dia harus segera menyusul rekan-rekannya yang sudah mulai berlatih di Lapangan D.

Ini adalah latihan keduanya hari itu. Beberapa jam sebelumnya, ketika matahari baru terbit, dia sudah berlari selama lebih dari satu jam di tempat yang sama. Perempuan 33 tahun ini memang punya jadwal tetap: berlari dua kali sehari, setiap hari, kecuali Sabtu. Kadang diselingi dengan latihan berenang, bersepeda, atau core untuk­ memperkuat tulang belakang. "Variasi itu dilakukan terutama menjelang perlom­ba­an triatlon," kata Dini. Mei lalu, dia mengikuti Bintan Triathlon di kelas sprint dis­ta­nce:­ berlari 5 kilometer, bersepeda 20 kilome­ter, dan berenang 750 meter. Dini menyelesaikannya dalam 1 jam 49 menit.

Dini bukanlah atlet profesional. Bahkan dunia yang digelutinya jauh dari lapangan olahraga. Ia adalah pengusaha di bidang mode—President Director PT Republik Kupu Adigaya yang memiliki butik tas bermerek. Jika berjumpa dengannya di acara sosialita, kita tak akan menyangka dia punya jadwal latihan seperti atlet Olimpiade. Dini sangat feminin dan modis. Tak terlihat otot yang menonjol atau gesture kelaki-lakian karena kelebihan testosteron. Tapi jelas, karena rutin berlari, ia memiliki tubuh indah: tinggi 167 sentimeter dan berat 50 kilogram.

Gila lari juga menjangkiti aktris Cinta Dewi. Pemain film X-The Last Moment ini memang tidak segila Dini, tapi dia cukup konsisten. Dewi bisa berlari tiga-lima kali sepekan, tergantung luangnya waktu. Arenanya bisa di mana saja: tempat syuting, sekitar rumah, atau di gelanggang olahraga.

Perempuan bertinggi 171 sentimeter dan berbobot 50 kilogram ini bahkan pernah menjadikan lari sebagai senjata untuk meluluhkan hati pacarnya. Tahun lalu dia berlari dari bundaran Pondok Indah ke rumah pacarnya di Bintaro Sektor 3 hanya untuk meminta maaf. Sayang, senjatanya kurang ampuh. Setelah ia berlari 7 kilometer selama lebih dari satu jam, permintaan maafnya ditolak. "Dan..., fiuh, gue enggak jadi nikah," kata perempuan 22 tahun ini saat ditemui di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis dua pekan lalu.

Ada banyak orang yang gila lari seperti Dini dan Dewi. Di kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, lari memang sedang tren. Jika datang ke GBK di malam apa pun, kita akan menjumpai ratusan pelari. Ada yang berkeringat, ada juga yang tidak. Berlari sudah seperti menonton festival jazz: tak perlu serius, tapi jika tak ada di sana, Anda tak eksis.

Sebenarnya, sejak beberapa tahun lalu, bibit-bibit tren ini sudah mulai ada. Pengusaha Anindya Bakrie atau Sandiaga Uno sudah rajin berlatih dan mengikuti berbagai perlombaan di luar negeri. Hanya, saat itu kegiatan ini masih terbatas. Kini berlari menjadi tren yang mewabah. Berbagai klub berdiri mewadahi pencinta lari, dari yang serius seperti Senayan Runners dan Triathlon Buddies hingga IndoRunners, yang lebih populer.

Akun IndoRunners di Twitter punya 12.440 pengikut. Mereka yang tersebar di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta itu berlari dalam jadwal yang disepakati klub. "Ada kalanya malam hari kerja, ada kalanya Minggu pagi saat hari bebas kendaraan (car-free day)," ujar Maylaffayza Permata Fitri Wiguna, pemain biola, salah satu pendiri IndoRunners, Senin pekan lalu.

Fayza mengatakan komunitasnya mempunyai visi menyebarkan virus lari. Berbagai cara mereka lakukan agar berlari menjadi kegiatan yang menyenangkan, di antaranya dengan mengganti-ganti tema. Ada tema Kawin Lari hingga Batik Run (lari memakai batik). "Bahkan lari jadi alat perjuangan untuk berkampanye melawan teroris," katanya.

Ketika bom Boston meledak pada April lalu, para simpatisan berlari seminggu penuh, mengikuti tantangan (challenge) yang diberi nama #IndoRunnersforBoston atau #runforboston. Dengan aplikasi Endomondo di telepon seluler, para pelari mengikuti tantangan itu. Endomondo adalah aplikasi berbasis GPS yang mencatat latihan kita—jarak, waktu, dan tempat yang dipetakan. Setelah berlari, peserta diminta mengunggah rekam jejak lari mereka ke Twitter dengan tanda pagar yang sudah ditentukan tadi.

Teknologi informasi sangat berpengaruh dalam menyebarkan tren lari ini. Selain Endomondo, ada Nike Run. Awalnya, kedua aplikasi itu diciptakan untuk kepentingan pribadi. Belakangan aplikasi-aplikasi tersebut bisa juga dipakai untuk "bernarsis-ria". Catatan tadi bisa dipamerkan di media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Path. Bahkan kita bisa menyertakan perlengkapan berlari, seperti sepatu, kostum, dan perangkat lunaknya. "Masyarakat urban tidak akan terpisahkan dari fash­ion. Lari? Ya tetap bergaya," ucap Arfano Sapto, salah satu pelari.

Tentu narsis di media sosial bukan motivasi awal. Alasan ingin menjaga kesehatan atau menurunkan berat badan adalah yang paling populer. Motivasi untuk menjadi kurus lumayan melecut Dewi. "Misalnya gue bilang ke diri gue sendiri: 'Dew, lu bisa kok satu putaran lagi, ingat perut lu bisa rata.' Atau pokoknya gue enggak boleh kalah sama cewek seksi di depan gue itu," kata Dewi.

Meski ada motivasi seperti itu, mengawali lari tidaklah mudah. "Wajah pelari pemula biasanya suram," ujar Fayza. Maklum, tubuh harus menyesuaikan diri. Nyeri saat berlari dan badan pegal saat bangun tidur setelah latihan pertama pasti terjadi. "Tapi wajah itu akan berubah saat mereka sudah mendapatkan feel-nya," kata Fayza, yang berlari dua kali sepekan.

Kesenangan karena berlari itu dikenal sebagai runner's high. Inilah yang membuat penggila lari semakin banyak. Runner's high dipicu oleh dilepaskannya hormon endorfin saat kita berolahraga amat kencang. Hormon ini memantik kebahagiaan di otak. Jadi, semakin keras berolahraga, kita akan semakin bahagia. Rasa bahagia yang muncul ini dapat menafikan rasa sakit, bahkan menimbulkan ketagihan.

Hal inilah yang dialami Dewi. "Ketika beban hidup mulai berat, dengan berlari, semangat hidup gue kembali terpompa," ucap Dewi, yang saat kami temui memakai celana pendek abu-abu.

Dini, yang sedang mempersiapkan diri untuk maraton 42 kilometer di Melbourne,­ Australia, pada 13 Oktober mendatang, juga begitu. Meski ia kerap ikut perlombaan, menang bukanlah tujuan utamanya. "Aku berlari bukan untuk menjadi juara atau untuk orang lain. Aku berlari untuk diriku sendiri," kata Dini. "Bahkan, saking kecanduannya, kalau mau memikirkan sesuatu yang pelik, aku harus berlari. Dengan berlari, pikiran akan segar, emosi teredam, dan berfokus. Berlari membuat aku lebih bahagia."

Qaris Tajudin, Heru Triyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus