Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Trubus yang Misterius

16 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus Dermawan T.*

SELAMA enam tahun belajar di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia "Asri" Yogyakarta, saya hanya sesekali mendengar nama Trubus Sudarsono. Namanya selalu tenggelam di tengah perbincangan tentang Raden Saleh, S. Sudjojono, dan Affandi, yang dikultuskan. Atau tentang Basoeki Abdullah, yang cenderung direndahkan, karena dianggap memuja gaya mooi Indie.

Pada tahun ketiga, saya sedikit-sedikit mencari tahu mengapa Trubus hilang dalam percakapan. Fadjar Sidik, Kepala Jurusan Seni Lukis STSRI "Asri", mengatakan Trubus adalah pelukis "lama" yang tidak menawarkan gagasan baru.

Jawaban itu tentu membingungkan. Namun pada 1970-an, ketika seni lukis non-representasional menguasai kanvas seniman Indonesia, lukisan realis seperti karya Trubus memang sedang nggak maen alias "kurang terhormat". Karena itu, Edhi Sunarso, pematung yang ketika menggarap Patung Selamat Datang banyak dibantu Trubus, diam-diam menentang pendapat Fadjar Sidik. Ia mengatakan minimnya pendapat atas Trubus mungkin karena persoalan politik.

Pendapat yang sama disuarakan oleh Bagong Kussudiardja, pelukis dan penari tersohor. Namun ia juga mendukung pendapat Fadjar Sidik, yang memposisikan karya-karya Trubus sebagai karya kuno. Dengan perasaan lucu Bagong lantas bercerita, menjelang 1970-an, kala kesulitan memperoleh kanvas untuk melukis, ia kadang membongkar gudang lukisan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, sebelum berubah menjadi STSRI "Asri"). Di gudang bekas kampusnya itu, ia menemukan beberapa lukisan Trubus. "Lukisan-lukisan itu saya tablek, saya tutup dengan cat baru. Jadilah lukisan saya, ha-ha-ha…." Yang ganjil, hilangnya lukisan-lukisan itu tak pernah jadi persoalan.

Menyatunya pendapat "Trubus kuno" dan "Lekra-phobia" semakin mengkristal ketika kekuasaan Orde Baru menguat. Buku-buku seni rupa yang ditulis pada zaman ini nyaris tidak pernah menyebut Trubus sebagai pelukis penting. Kusnadi, Baharrudin Marasutan, Sudarmaji, sampai Sanento Yuliman seperti alergi terhadap Trubus. Kritikus seperti Dan Suwar­yono, Marakarma, Oesman Effendi, sampai Bambang Bujono juga sering melupakannya.

Hal itu bagai menguatkan apa yang dilakukan Trisno Sumardjo lewat tulisan sangat panjang di kitab Almanak Seni 1957. Di situ Trisno hanya menyebut Trubus satu kali. Padahal prestasi Trubus sudah merebak sejak era Keimin Bunka Sidhoso era zaman Jepang. Dan namanya sangat diperhatikan ketika ia bergabung dengan Seniman Indonesia Muda Yogyakarta, 1946. F.X. Sutopo, Direktur Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1980-an, pernah saya tanya soal ini. "Pada satu waktu Trisno Sumardjo memang kurang sejalan dengan kelompok kiri," katanya.

Nama dan lukisan Trubus mulai kembali terbicarakan ketika biro lelang internasional mulai memasarkan lukisan Indonesia. Dan ini diawali oleh Christie's pada 1994, yang kemudian disusul oleh Glerum, Bonhams-Glerum, dan Sotheby's. Nama Trubus tiba-tiba dimasukkan ke kelompok "old master", yang dalam konteks ini didefinisikan sebagai "seniman besar yang sudah meninggal".

Seorang petinggi Christie's mengatakan, untuk biro lelang, aspek kontroversi politik dan sisi misterius seorang Trubus sangat bisa dijual. Mengenai gaya lukisannya, apakah kuno, avant-garde, dan sebagainya, tidak ada urusan. Lalu masyarakat lantas melihat lukisan Trubus berukuran sedepa bertema penari Bali atau srimpi dengan mudah terjual Rp 200-500 juta! Padahal sebagian lukisan itu dikerjakan kala ia bekerja sebagai artisan di studio tengkulak seni Tjio Tek Djien pada 1960-an. Di studio yang terletak di kawasan Cideng, Jakarta, itu Trubus mendapat upah Rp 1.000 per hari.

Kehidupan manusia dan seni Trubus memang misterius. Ia dikabarkan meninggal pada 1966 lantaran dibunuh sebagai dampak kudeta politik G-30-S. Tapi sejumlah sahabatnya di Yogyakarta tidak mempercayai itu. Nasjah Djamin, pelukis dan sastrawan, mengaku beberapa kali ditemui Trubus tengah malam pada 1980-an. "Saya mengobrol sebentar, sebelum ia pergi lagi, menghilang dalam gelap." Affandi dan pelukis Djoni Trisno menceritakan hal yang sama.

*) Pengamat Seni Rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus