Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

No Buy Challenge sebagai Resolusi Tahun Baru

Kampanye No Buy Challenge muncul sebagai respons publik terhadap kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik. Bagaimana caranya?

22 Januari 2025 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kampanye No Buy Challenge di media sosial TikTok. TEMPO/Nufus Nita Hidayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Kampanye No Buy Challenge kembali merebak di media sosial sejak akhir 2024 dan bertahan sebagai resolusi tahun baru 2025.

  • Pegiat #NoBuyChallenge menulis daftar barang dan jasa yang pantang mereka beli dalam jangka waktu tertentu.

  • Ekonom menilai No Buy Challenge merupakan respons publik terhadap situasi ekonomi yang tak kunjung membaik.

KAMPANYE itu kembali merebak: #NoBuyChallenge. Per akhir tahun lalu, tanda pagar itu digunakan lebih dari 50 juta kali di TikTok dan menjalar ke media sosial lain. Berlanjut pada tahun baru, ada yang menyebutnya sebagai No Buy 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tantangan untuk tidak membeli bukan sekadar seruan untuk menghindari pemborosan, tapi juga ajakan untuk hidup lebih minimalis. Pada prinsipnya, No Buy Challenge adalah tantangan untuk tidak membeli suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu. Bisa satu pekan, satu bulan, atau bisa juga satu tahun. Terserah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Erina Kusnul, 29 tahun, menjadi salah satu pegiat #NoBuyChallenge. Melalui akun TikTok-nya, @erinakusnul, ia menuliskan resolusi tahun baru berupa daftar sepuluh barang tidak akan dia beli sepanjang tahun. Pembatasan berbelanja ini meliputi produk perawatan kulit, langganan aplikasi film, pakaian, hingga kunjungan ke kedai kopi. ”Awalnya, saya ingin menantang diri saya sendiri. Beberapa hal sudah saya lakukan pada 2024 dan saya ingin menambahkannya pada 2025,” kata Erina kepada Tempo, Kamis, 16 Januari 2025.

Satu poin penghematan yang terasa kecil bisa jadi bernilai besar. Contohnya, Erina biasa membeli kopi di kafe kesukaannya, Point Coffee dan Janji Jiwa, seharga Rp 25-30 ribu per gelas. Dengan hitung-hitungan Rp 30 ribu sekali ngopi, dia mengeluarkan sedikitnya Rp 900 ribu sebulan. "Jadi terasa besar sekali," ujar karyawan swasta di Kota Tangerang itu. Maka Erina memangkas frekuensi kunjungannya menjadi maksimal dua kali sebulan.

Erina Kusnul. Dok. Pribadi

Di luar urusan dompet, #NoBuyChallenge juga dijalankan Erina demi kesehatan. Dia belakangan menyadari perlunya membabat konsumsi gula. "Supaya lebih sehat," ucap alumnus Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta pada 2017 itu.

No Buy Challenge juga membuat Erina lebih selektif. Dulu dia mudah terpengaruh iklan produk kecantikan dari para influencer yang berseliweran di media sosial. Dia kerap membeli paket perawatan kulit seharga Rp 200-300 ribu, meski persediaannya masih banyak. "Pas aku pakai, ternyata tidak cocok," tuturnya. Duitnya pun terbuang percuma.

Begitu juga dengan aplikasi film. Sebelumnya, Erina berlangganan WeTV, Vidio, dan Netflix. Total biayanya sekitar Rp 150 ribu sebulan, meski lebih sering tidak tertonton. "Akhirnya, tahun ini aku memutuskan hanya memakai satu aplikasi," kata kreator konten yang membahas tip menabung di TikTok dengan 205 ribu pengikut itu. Biaya berlangganan cukup Rp 54 ribu per bulan.

***

Kampanye #NoBuyChallenge sejatinya bukan barang baru. Di Instagram, tagar tersebut pernah ramai pada 2015. Tidak diketahui siapa pencetus awalnya. Gerakan ini berkembang secara organik yang dijalankan oleh orang dengan berbagai alasan. Dari soal keuangan, pilihan saat berbelanja, pengurangan limbah, sampai soal kreativitas. Saat dunia ditekuk pandemi Covid-19, suara kampanye ini kembali bergema. Dengan alasan yang lebih-kurang sama, kelesuan ekonomi, #NoBuyChallenge kembali menggeliat mulai akhir 2024.

No Buy Challenge dijalani Afifah Basyirah, 23 tahun. Alasannya, kata dia, nilai rupiah terasa mengecil di tengah harga barang yang terus merangkak naik. Di Instagram, Afifah memampangkan delapan poin hidup hematnya tahun ini. Dari pantang membeli skincare dengan alasan tren, hingga membatasi frekuensi makan di restoran. “Sebisa mungkin saya menghemat dari hal kecil,” kata perempuan yang tinggal di Medan itu pada Ahad, 19 Januari 2025.

Soal belanja pakaian, misalnya. Afifah bolak-balik menolak permintaan suaminya yang ingin membelikan dia baju baru. Pantangan ini juga berlaku untuk pakaian anaknya. Namun, jika ada saudara yang menawarkan baju bekas anaknya, Afifah menerima dengan antusias. "Bajunya masih bagus-bagus, kok," ujarnya.

Kampanye No Buy Challenge di media sosial TikTok. TEMPO/Nufus Nita Hidayati

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Askar menanggapi soal gerakan No Buy Challenge. Bagi dia, saat daya beli menurun, hal yang dilakukan masyarakat adalah menyesuaikan pengeluaran. Saat pengeluaran itu tidak bisa dikurangi, yang dimanfaatkan adalah duit simpanan. "Ketika banyak orang tidak punya tabungan, pasti yang dilakukan adalah spending-nya dikurangi. Jadi no buy challenge," tuturnya saat berkunjung ke Gedung Tempo, Palmerah, Jakarta, Rabu, 15 Januari 2025.

Di luar faktor keuangan internal, Media melanjutkan, ada faktor eksternal, termasuk ketidakpastian secara struktural. Ada karyawan yang digaji secara tidak adil ataupun berstatus tenaga kontrak. Media menyebutkan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja membolehkan perusahaan mengontrak karyawan maksimal lima tahun. Batasan ini lahir dari uji materi di Mahkamah Konstitusi. Meski demikian, kata Media, perusahaan bisa memberhentikan karyawan itu pada tahun keempat dan menyebabkan ketidakpastian finansial. "No Buy Challenge sangat berkaitan dengan ketidakpastian ekonomi dan finansial," ucapnya.

Pakar ekonomi digital dari Universitas Indonesia, Ibrahim Kholilul Rohman, mengatakan gerakan No Buy Challenge harus dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, Indonesia sedang dalam krisis luar biasa akibat banyaknya pabrik yang tutup, usaha yang tidak berjalan maksimal, hingga kredit yang terseok-seok. Maka dibutuhkan pola berbelanja secara bijak. “Kalau arahnya ke sana, maka ini kampanye yang baik,” kata Ibrahim kepada Tempo, Jumat, 17 Januari 2025.

No Buy Challenge, Ibrahim melanjutkan, membuat masyarakat dapat mengukur tingkat kebutuhan pembelian suatu barang di tengah keterbatasan. “Mana yang diperlukan dan mana yang diinginkan," ujar pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini. "Tidak semua yang diinginkan itu harus dibeli."

Namun, kata Ibrahim, jika #NoBuyChallenge mengarah pada tantangan tidak berbelanja, pengertiannya berbeda. Menurut Ibrahim, pembelanjaan menggerakkan perekonomian Indonesia. "Kalau tidak membeli apa-apa, ekonomi akan mandek," tutur peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat UI ini. Dampaknya, dia melanjutkan, akan lebih terasa pada masyarakat kelas bawah yang tidak punya mesin ekonomi serta makin terjerat judi online dan pinjaman online. "Akan menjadi bom waktu di masa depan."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ihsan Reliubun

Ihsan Reliubun

Menjadi wartawan Tempo sejak 2022. Meliput isu seni dan budaya hingga kriminalitas. Lulusan jurnalistik di Institut Agama Islam Negeri Ambon. Alumni pers mahasiswa "Lintas"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus