Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewi Anggraeni*
Kemenangan Partai Koalisi Liberal Nasional di Australia, yang menempatkan Tony Abbott (Liberal) sebagai perdana menteri, tidak akan segera terasa dampaknya di Australia sendiri. Negara itu sudah punya tata lembaga yang kuat sehingga, seperti mesin yang sudah diminyaki dan diberi bahan bakar, akan beroperasi terus sampai kehabisan bahan bakar dan engsel-engselnya berdenyit kekurangan minyak. Jadi, sesudah penurunan dana federal, selanjutnyalah gebrakan kebijakan-kebijakan baru akan terasa.
Abbott dan bendaharanya, Joe Hockey, belum menggelar gambar rinci dari keseluruhan kebijakan pemerintahnya. Tapi mereka sudah membuka gulungan peta garis besar yang menunjukkan jalan-jalan arteri. Di sini kelihatan bahwa tekanan kebijakan Koalisi dititikberatkan pada urusan dalam negeri, atau pemerintah ingin membuat senang rakyatnya di dalam negeri.
Pajak emisi karbon yang diberlakukan pemerintah Partai Buruh akan dihapus karena dianggap membebani pengusaha. Tidak berarti pemerintah akan rugi lantaran kehilangan pendapatan dari situ. Sewaktu memberlakukan pajak ini, pemerintah Partai Buruh menyusun bagan yang menjelaskan pihak-pihak yang menanggung beban tidak seimbang, dan mendapat kompensasi. Nah, dana kompensasi ini tidak lagi harus ditanggung pemerintah sekarang.
Rencana Partai Buruh menambah jaringan kereta api juga dihapus. Sebaliknya, pemerintah akan membangun sejumlah jalan baru sebagai prasarana penggalak ekonomi negara. Dari mana dananya? Di sini mulai tampak kaitannya dengan kebijakan luar negeri, karena dana untuk ini katanya akan ditarik dari pemangkasan dana bantuan luar negeri.
Bendahara Hockey menganggap ini langkah jitu. "Kita tidak bisa terus-menerus mendanai bantuan luar negeri. Kita harus menggalakkan investasi dalam ekonomi Australia sendiri. Karena kian kuat ekonomi negara ini, kian leluasa kita memberi bantuan di masa depan," ujar Hockey. Rupanya, dalam kerangka pemikiran pemerintah ini, bantuan luar negeri bukan semacam pemeliharaan diplomasi dan goodwill dengan negara lain, tapi gebrakan "orang kaya" yang dengan "senang" mengobral uang untuk menunjukkan kemurahan hatinya.
Agak melegakan mendengar pernyataan Perdana Menteri Abbott bahwa pemerintahnya akan menitikberatkan perhatian luar negerinya pada negara-negara kawasan. Bahkan Abbott mengatakan langkah kebijakan luar negeri pertamanya ialah berkunjung ke Indonesia untuk membicarakan jurus-jurus kerja sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rencana ini jelas merupakan niat baik. Lalu mengapa banyak peneliti politik kawasan prihatin?
Sejauh ini, hampir tiap kali Abbott menyebut Indonesia di ruang publik, selalu topiknya berkaitan dengan tekadnya yang berkali-kali diutarakannya: membalikkan perahu pencari suaka ke Indonesia. Dan ditekankannya pula bahwa langkah ini pernah diambil pemerintah Koalisi yang lalu dan, kata dia, berhasil. Karena itu, Abbott yakin akan dapat membujuk pemerintah Indonesia untuk menghentikan arus pengungsi ini. Bahkan disebutkan, kalau perlu, Australia akan "membeli" perahu-perahu yang sedianya digunakan para pialang yang mengurus penyelundupan para pencari suaka yang kebanyakan dari Timur Tengah dan Afganistan ini, sehingga tidak ada lagi jalan bagi mereka. Buntu. Begitu mereka membayangkan.
Masalahnya, semua niat ini begitu dangkal dan satu dimensi sehingga di telinga orang yang memiliki kepekaan diplomasi mancanegara sedikit saja akan membuat wajah si empunya kuping merah karena risi. Yang lebih berwawasan global dan regional mulai gelisah. Bill Farmer, mantan Duta Besar Australia untuk Indonesia, dikutip stasiun televisi ABC, menyampaikan wanti-wantinya, "Harus diingat bahwa Indonesia tidak sama dan sebangun dengan perahu pencari suaka, dan perahu pencari suaka tidak sama dan sebangun dengan Indonesia."
Dan belum ada tanda-tanda bahwa Abbott dan para petinggi di timnya punya agenda lebih luas dalam hubungan bilateral dengan Indonesia, di luar isu pemutarbalikan arah perahu.
Kita tentu tidak bisa mengharuskan semua orang Australia, termasuk para pemimpin negaranya, berpengetahuan dalam dan luas tentang negara-negara tetangga mereka, khususnya Indonesia. Apalagi di Indonesia sendiri pengetahuan tentang Australia tidak jauh di atas nol. Isunya di sini: Australia membutuhkan kesediaan kerja sama Indonesia ketimbang sebaliknya, setidaknya pada saat ini.
Di Australia, masalah arus perahu pencari suaka berada di peringkat atas. Sedangkan di Indonesia, masalah ini cuma masuk kategori menjengkelkan. Para pencari suaka ini tidak mau tinggal di Indonesia. Mereka cuma memanfaatkan letak geografis dan kondisi sosial Indonesia. Dengan kata lain, negeri ini setengah jalan, dan di sini mudah memalsukan dokumen serta mendapatkan cara tidak konvensional untuk tujuan yang pada intinya berbahaya bagi semua yang tersangkut.
Jika demikian, tidakkah selayaknya mereka menyempatkan diri mempelajari kondisi sosial-politik Indonesia lebih dulu sebelum ujuk-ujuk datang memaparkan apa yang mereka inginkan dari Indonesia?
Mungkin alasan Abbott buru-buru mengunjungi Presiden Yudhoyono didasari pada kekurangtahuan itu sendiri, yang melahirkan kekurangtahuan baru. Menurut jajak pendapat News Poll, Mei tahun ini, 70 persen responden tahu bahwa Australia adalah donor terbesar bagi Indonesia. Tapi kurang dari 50 persen tahu bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang laju ekonominya paling pesat di dunia. Jadi bantuan dari Australia, selain tentu saja membawa kartu persahabatan, sesungguhnya mengalir masuk dengan harapan agar tidak tertinggalkan dalam arus yang didorong mesin ekonomi Indonesia.
Rupanya banyak pemimpin politik terselip dalam pangsa yang tidak tahu ini, sehingga ada perasaan dan anggapan, karena mereka sudah memompa bantuan begitu besar, layak saja kalau mereka berharap tuntutan ini-itu kepada Indonesia diluluskan tanpa banyak tanya.
Namun Indonesia tidak perlu segera tersinggung terhadap sikap Australia yang selama ini cuma menghambat kemajuan dalam upaya menjalin saling pengertian di antara kedua negara. Kekurangtahuan pihak Indonesia tentang Australia juga sering membuat orang Australia meringis. Padahal, dalam skema besar, kedua negara saling membutuhkan.
Inti masalahnya, benarkah secuil itu pengetahuan dan wawasan Perdana Menteri Tony Abbott tentang Indonesia atau dia sedang bermain politik dalam negeri? Kedua kemungkinan itu sangat memprihatinkan para pengamat. Kalau pengetahuannya memang begitu tipis, dia perlu mengambil kursus kilat apabila ingin gayungnya bersambut. Kalau dia sedang memainkan peran jagoan buat rakyatnya, yang dia tahu benar sebagian besar akan menyalahkan Indonesia bila permintaan Australia tidak dilayani, prospek hubungan kedua negara akan sangat buram. Setidaknya pemerintah-pemerintah yang lalu menyadari pentingnya memperdalam pengetahuan tentang Indonesia dan persahabatan antarkomunitas kedua negara serta mengambil langkah-langkah konkret ke arah itu.
Yang juga luput dari sorotan ialah kenyataan bahwa meski yang selalu dikutuk-kutuk adalah pialang penyelundupan manusia ke Australia, yang ujung-ujungnya "menjalani hukuman" justru para pencari suakanya. Jika sial, mereka tewas di tengah laut karena perahunya tidak layak sehingga, begitu tertempa gelombang akibat cuaca buruk, langsung pecah berantakan. Kalau sedikit lebih beruntung, mereka tiba di perairan Australia, lalu digiring ke tempat-tempat penahanan di luar teritori Australia. Bila Abbott berkeras melaksanakan niatnya, setengah jalan pun para pencari suaka akan dibalikkan arahnya kembali ke Indonesia, negara bukan tujuan mereka.
Jadi Tony Abbott jelas akan berkunjung ke Indonesia. Barangkali dalam pertemuan kedua kepala negara nanti, ketika membicarakan masalah arus pencari suaka, aspek di atas bisa dimasukkan ke daftar pertimbangan. Mudah-mudahan masalah penting lain juga masuk agenda. l
*) Penulis dan pengamat politik kawasan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo