Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bicara tanpa Pita Suara

Perokok aktif dan pasif berisiko kehilangan pita suara karena terkena kanker. Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa berbicara dengan menggetarkan kerongkongan.

18 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKELOMPOK pria dengan leher depan bolong seukuran jari kelingking meriung di ruang rapat kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia,Jalan Sam Ratulangi,Jakarta. Suara orang-orang itu parau,tak terlalu jelas,seperti tengah berbicara sambil kumur-kumur. Kalimat yang keluar dari bibir mereka juga patah-patah laksana suara robot. Kondisi itu terjadi karena mereka sudah tak lagi punya pita suara alias laring laiknya orang biasa. Organ utama yang bisa bergetar sehingga menghasilkan suara itu harus diangkat karena direnggut keganasan kanker laring akibat asap rokok.

Di tempat berbagai organisasi spesialisasi dokter bernaung itulah,pekan lalu,orang-orang dengan leher bolong ini bergabung dengan sejumlah kelompok lain yang menyebut dirinya Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia. Mereka tengah bersiap mendeklarasikan sikap. Salah satu isinya: mendesak pemerintah melindungi kaum muda dari bahaya rokok. Caranya,bersama Dewan Perwakilan Rakyat,pemerintah didesak segera membentuk peraturan tentang pengendalian rokok. Deklarasi disampaikan bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional,saban 12 November.

"Jangan ada lagi jatuh korban karena rokok. Kami tak mau tambah teman," kata Edison P. Siahaan. Selain menjadi penggagas aliansi,pria 74 tahun dengan lubang di leher ini adalah Ketua Perhimpunan Wicara Esofagus—wadah bagi mereka yang kehilangan pita suara akibat kanker laring. Bapak lima anak ini tersambar kanker karena kebiasaan merokoknya yang sudah dimulai sejak kelas II sekolah menengah pertama. Sebelum menjalani operasi pengangkatan pita suara (laringektomi) pada 2001,ia bisa menghabiskan 2-3 bungkus rokok kretek sehari.

Kehilangan pita suara juga dialami Zainudin,40 tahun. Bedanya,ia bukan perokok aktif,melainkan perokok pasif. Ia tinggal di keluarga yang anggotanya perokok berat. Pada 1996,saat itu usianya 24 tahun,Zainudin kehilangan pita suara yang terdesak oleh sel kanker. Agar bisa dioperasi,ia dan keluarganya harus utang sana-sini dan menjual sawah. "Saya depresi. Saat itu saya masih muda." Seperti Edison,lubang buatan di leher Zainudin,yang lazim disebut stoma,menjadi pengganti hidung untuk bernapas. Agar kotoran atau binatang tak masuk,lubang ditutup dengan kain yang masih bisa ditembus aliran udara.

Aliansi menegaskan pentingnya pengendalian rokok karena saat ini telah terjadi wabah rokok di Indonesia. Hasil Global Adult Tobacco Survey 2011 kerja sama Badan Kesehatan Dunia (WHO) dengan Kementerian Kesehatan menunjukkan hal itu. Negeri ini menduduki peringkat pertama dari 16 negara dengan tingkat prevalensi perokok aktif tertinggi,yakni 67,4 persen pada laki-laki dan 4,5 persen pada perempuan. Artinya,sebesar 36,1 persen atau 60 juta penduduk Indonesia adalah perokok aktif dan terbesar di negara-negara Asia Tenggara.

Menurut Nury Nusdwinuringtyas,dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,kanker laring hanya salah satu dari sekian banyak efek buruk merokok. Gejala kanker ini adalah suara makin serak dan susah bernapas lantaran pita suara terdesak kanker. Setelah pita suara diangkat,pasien tak bisa lagi berbicara.

Untuk bisa berkomunikasi lagi,para pasien harus berlatih menggunakan "pita suara" pengganti,yakni menggetarkan esofagus alias kerongkongan. Aliran udara masuk lewat lubang di leher,lalu sebelum udara masuk lambung,udara tersebut dinaikkan lagi ke atas dengan mengencangkan otot perut sehingga bisa menggetarkan kerongkongan. Terapi inilah yang dijalani Edison,Zainudin,dan kawan-kawan.

Tiap tahun ada sekitar 20 pasien kanker laring yang dioperasi di RSCM. Namun,dari jumlah itu,hanya tujuh pasien yang ikut terapi wicara esofagus. Data yang dimiliki Departemen Rehabilitasi Medik RSCM menunjukkan saat ini hanya ada 16 pasien yang aktif berlatih.

Terapi wicara esofagus dimulai dengan latihan meniup dan bersendawa. Ini latihan dasar untuk mengeluarkan udara dari perut ke kerongkongan. Bagi Edison dan kawan-kawan,bersendawa bukan urusan mudah. Itu sebabnya,ada rekan Edison yang sudah berlatih hingga 11 tahun,tapi gagal juga. Dokter mendiagnosis kerongkongan yang bersangkutan ada kelainan. Mereka yang kerongkongannya normal ada yang cepat bisa bersendawa,ada yang baru bisa bersendawa setelah berlatih beberapa pekan. Untuk memancing sendawa,acap kali mereka harus menenggak minuman bersoda lebih dulu.

Setelah urusan meniup dan sendawa dikuasai,latihan ditingkatkan dengan mengucapkan vokal a,i,u,o,e. Selanjutnya,mereka berlatih mengucapkan suku kata,kata,dan kalimat,membaca teks,serta membuat percakapan. Tingkat mahir dicapai bila pasien bisa menyanyikan lagu pendek dan berteriak pada jarak sekitar lima meter. Biasanya kemampuan bicara esofagus dikuasai setelah rajin berlatih sekitar tiga bulan.

Ingin menunjukkan kemahirannya berbicara,saat dihubungi Tempo,Senin malam pekan lalu,Edison dengan bersemangat menyanyikan potongan dua lagu. "Naik... naik ke puncak gunung...," lalu suara khasnya beralih ke lagu,"Halo… halo… Bandung,ibu kota Priangan."

Di usia senjanya,Edison mengakui kehidupan pribadi dan keluarganya hancur akibat rokok. Untuk operasi,misalnya,ia harus menjual mobil dan tanah serta mengu­ras deposito. Sejak pita suaranya diangkat,Edison juga harus keluar dari pekerjaannya di sebuah perusahaan properti. Itu sebabnya,kepada siapa pun,terutama generasi muda,ia berpesan agar menjauhi rokok. "Kalau orang merokok dan berusaha mengurangi,itu omong kosong untuk berhasil," katanya. "Bukan mengurangi rokok,tapi harus berhenti total."

Dwi Wiyana


Nikotin Rajanya Kecanduan

MENURUT sejumlah survei,termasuk dari Badan Kesehatan Dunia (WHO),sejatinya 70-80 persen perokok ingin berhenti merokok karena tahu benar risikonya. Namun upaya mereka gagal karena tingkat kecanduannya sudah sangat tinggi. Berdasarkan farmakologi—ilmu yang mempelajari obat dengan seluruh aspeknya—plus beberapa penelitian,nikotin dalam rokok menduduki peringkat tertinggi yang menyebabkan kecanduan.

"Nikotin adalah rajanya kecanduan," kata dokter Hakim Sorimuda Pohan,yang aktif di Komisi Nasional Pengendalian Tembakau,di kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia pekan lalu. Kopi merupakan zat yang menimbulkan ketagihan paling ringan,disusul ganja,alkohol,heroin,morfin,dan nikotin.

Kegagalan berhenti merokok terjadi,menurut Agus Dwi Susanto,dokter spesialis paru dari Klinik Berhenti Merokok Rumah Sakit Persahabatan Jakarta,karena mereka yang sudah ketagihan nikotin dan berniat stop merokok akan merasakan sejumlah gejala tak enak. Antara lain gangguan tidur,cemas,depresi,tidak sabaran,sulit berkonsentrasi,dan mudah tersinggung. Nah,daripada terus-menerus mengalami gejala itu,mereka memilih merokok lagi. l DW

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus