Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMBANG macapat Jawa merumuskan siklus dan skenario hidup manusia dalam sebelas serial. Ini dimulai dari Maskumambang (bayi dalam kandungan), Mijil (lahir), Kinanti (dituntun), Sinom (remaja), Asmarandana (asmara), Gambuh (bersesuaian ketemu jodoh), Dandangula (bahagia mencapai cita-cita), Durma (memberi, mapan), Pangkur (menahan hawa nafsu, meditatif, lanjut usia), Megatruh (kematian), dan diakhiri dengan Pucung (dipocong masuk kubur). Usia tua dimulai dari fase pangkur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Macapat mendefinisikan usia tua sebagai senja ketika manusia mencapai kesuksesan, meninggalkan produktivitas, lalu beralih ke aktivitas non-duniawi dan mempersiapkan kematian. Pandangan serupa sedikit-banyak juga berlaku dalam kebudayaan etnis lain, misalnya adat Batak yang menempatkan Mauli Bulung sebagai kondisi kematian yang paling mulia, ketika seseorang meninggal setelah memiliki hidup yang lengkap dengan anak-anak yang mapan dan berkeluarga dengan karunia cucu yang masih hidup. Di sini, kesuksesan hidup identik dengan usia panjang sebagai hasil laku yang baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui skenario baku siklus hidup, orang tampaknya berikhtiar mengetahui waktu kematian datang dan bagaimana menaruh harapan akhirnya; memiliki kendali atas hidup dan bagaimana ia akan meninggal; memiliki kenyamanan dan martabat untuk bisa meninggal secara damai; memiliki kendali bersama siapa menghabiskan hari akhir dan meninggal; serta memiliki waktu untuk mengucapkan selamat tinggal.
Terlepas dari aspirasi kultural-individual, panjang umur rupanya menjadi gejala global. Perserikatan Bangsa-Bangsa memproyeksikan, pada 2030, populasi dunia berjumlah 8,5 miliar dan naik menjadi 9,7 miliar pada 2050. Penduduk di semua wilayah hidup lebih panjang dengan keluarga yang memiliki lebih sedikit anak. Menurut UN 2019 World Population Report, manusia sekarang hidup lebih lama dari rata-rata 72,6 tahun pada 2019 menjadi 77,1 tahun pada 2050. Di tahun itu, populasi orang berusia 65 tahun ke atas diproyeksikan berjumlah 1,5 miliar dari yang semula hanya 703 juta pada 2019. Dengan kata lain, populasi warga 65 tahun ke atas akan berada di atas atau melebihi jumlah populasi anak dan orang muda berusia 15-24 tahun. Pada 2100, diperkirakan sekitar 23 persen penduduk bumi berusia lebih dari 65 tahun.
Dunia berubah dan beruban secara cepat. Jepang, berdasarkan tingkat kesuburan saat ini, mengalami keadaan ketika individu yang berusia di atas 65 tahun akan mencapai 40 persen dari populasi pada 2060 dan populasi negaranya akan turun sepertiga dari 128 juta pada 2010 menjadi 87 juta pada 2060.
Meningkatnya angka usia panjang itu terjadi, antara lain, akibat menurunnya tingkat fertilitas secara dramatis dari 5 anak per 1 ibu pada 1950 menjadi sekitar 2,5 kini. Faktor kedua, penurunan secara drastis angka kematian. Angka harapan hidup rata-rata dunia meningkat dari 47,5 tahun pada 1900, 69,7 tahun pada 1960, dan kini mendekati 80 tahun. Faktor terakhir adalah naiknya angka harapan hidup sehat lebih dari 18 tahun untuk perempuan dan 16 tahun untuk laki-laki.
Di Indonesia, dalam 73 tahun terakhir, median usia harapan hidup naik dari 39 menjadi 68,25 tahun pada 2023. Kenaikan ini mungkin keberhasilan kebijakan kesehatan di Indonesia, sekalipun masih kalah dibandingkan dengan negara seperti Singapura (84 tahun), Thailand (79,68), dan Malaysia (76,24). Berkembangnya teknologi kesehatan serta membaiknya intervensi kesehatan ibu dan anak, layanan kesehatan, dan pembangunan ekonomi menjadi variabel penting dalam peningkatan usia harapan hidup di Indonesia.
Data dan analisis itu menyajikan kesimpulan makro bahwa meningkatnya usia harapan hidup merupakan kecenderungan mondial akibat kemajuan sains, teknologi kesehatan, dan menguatnya kebijakan serta layanan kesehatan oleh negara. Umur panjang adalah buah modernitas. Hidup manusia berada dalam skenario kehidupan yang baku sebagaimana dirumuskan oleh tembang macapat. Namun negara dan pranata lain yang mengintervensi tiap episode dari skenario kehidupan membuat manusia bisa berusia panjang. Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris 1940-1945 dan 1951-1955, merumuskan pola intervensi kesehatan dengan istilah from cradle to grave. Rumusan Churchill mempertegas asumsi bahwa pendek-panjangnya hidup seseorang sangat ditentukan oleh faktor eksternal dan struktural, terutama negara.
Pandangan Churchill juga sejalan dengan perspektif kritis yang memandang skenario hidup dominan dan pencacahan usia secara sosial dikonstruksikan guna melayani dua fungsi: pertama, meregulasi populasi segaris dengan kebutuhan kapitalisme, terutama pendisiplinan tenaga kerja dan pembentukan identitasnya; kedua, menginjeksi hierarki sosial yang beroperasi dengan menumpang skenario kehidupan konvensional (lahir, anak, remaja, dewasa, tua, mati).
Dalam pandangan itu, baik kaum anak maupun orang tua bersifat fungsional sebagai armada tenaga kerja cadangan dalam kontrak-kontrak yang rentan (precarious). Perspektif ini secara tidak langsung mengafirmasi pandangan modernis bahwa usia panjang adalah hasil kerja modernitas dan kapitalisme, bukan hasil meditasi dan laku individual.
Baik pandangan budaya maupun pandangan modernis struktural berkesimpulan bahwa umur panjang adalah buah kemajuan, kesuksesan, yang didahului oleh kekayaan material. Namun data dan skenario di Daerah Istimewa Yogyakarta mengisahkan kenyataan yang sama sekali berbeda. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi termiskin di Pulau Jawa. Menurut data Badan Pusat Statistik, per September 2022, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tingkat kemiskinan 11,49 persen dengan jumlah penduduk miskin mencapai 463.630. Lebih buruk lagi, Daerah Istimewa Yogyakarta juga merupakan provinsi dengan upah minimum provinsi terkecil kedua di Indonesia, hanya Rp 1.981.782,36 pada 2023.
Uniknya, angka harapan hidup Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi di Indonesia. Median angka harapan hidup seorang bayi di Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai sekitar 75 tahun, lebih tinggi dibanding angka harapan hidup Indonesia, sekitar 73,5 tahun. Belum ada riset empiris yang menjawab penyebab hubungan kemiskinan dengan usia panjang di Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun hubungan itu bisa jadi ada karena layanan kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta memang baik. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, mungkin banyak orang tak terlalu pusing dengan episode dan skenario kehidupan yang serba baku. Juga, barangkali, orang Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terlalu bergantung pada logika prestasi kapitalis sehingga penduduknya memandang hidup secara lebih rileks, santai, tanpa beban.
Umur panjang jelas anugerah. Namun, bagi pemerintah dan para pengambil kebijakan, umur panjang penduduk adalah masalah besar yang berdampak secara ekonomi, sosial, dan politik. Impak naiknya usia populasi adalah meningkatnya biaya pensiun dan program kesehatan serta naiknya pajak (terutama di negara kesejahteraan).
Secara ekonomi, umur penduduk yang panjang akan berakibat menciutnya pasar dan pelambatan pertumbuhan ekonomi, pengetatan pasar tenaga kerja, dan sulitnya mencari tenaga kerja berkualitas. Naiknya usia harapan hidup juga akan berimplikasi penurunan kemampuan masyarakat dalam merawat orang lanjut usia akibat makin sedikitnya jumlah anak muda, plus menguatnya ancaman terhadap sistem jaminan kesehatan. Di sini, cara Yogya barangkali bisa berguna menyeimbangkan anugerah umur panjang dengan dampaknya secara ekonomi, sosial, dan politik itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Panjang Umur dengan Santuy"