Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bukan Putih Sembarang Putih

Terdapat 70 macam krim kecantikan yang mengandung merkuri (hg), 64 diantaranya merupakan produk luar negeri dan tidak terdaftar di departemen kesehatan (ksh)

21 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONSENTRASI merkuri yang tinggi di Teluk Jakarta pernah ramai diperdebatkan. Meskipun di pantai itu bisa disiapkan penangkalnya (lihat: Lingkungan), sekarang ancaman itu bertambah dekat. Terutama buat yang suka bersolek. Sebab, menurut Departemen Kesehatan, di pasar kini terdapat 70 krim kecantikan yang mengandung senyawa logam berat itu. Direktorat Pengawasan Kosmetika enggan menyebutkan nama-nama pemoles kecantikan itu. Alasannya, sebagaimana diutarakan kepala Direktorat Kosmetika Departemen Kesehatan, Djasman, kalau diumumkan, dikhawatirkan para pedagang akan menyembunyikan. Tetapi dapat dipastikan, Pearl Cream yang banyak diperdagangkan di pusat perbelanjaan, seperti Glodok, Jakarta, termasuk yang dicurigai. Sebab, krim kecantikan ini, sebagaimana disebutkan dalam siaran Consumer Interpol (kerja sama antarnegara untuk mengawasi obat, makanan, dan kosmetik, yang Indonesia menjadi salah satu anggotanya) Agustus tahun lalu, mengandung Hg alias merkuri. Juga krim Kelly, sebagaimana pernah dilaporkan Dinas Kesehatan Kota DKI tahun 1983. Djasman dan aparatnya sekarang ini tengah mengusut peredaran alat kecantikan. Tindakan ini merupakan pelaksanaan peraturan menteri kesehatan yang dikeluarkan September 1983 tentang bahan kosmetik dan zat warna yang terlarang. Merkuri atau air raksa merupakan salah satu dari 20 bahan terlarang menurut peraturan menteri tadi. Menurut siaran yang dikeluarkan Direktorat Pengawasan Kosmetika, 64 produk krim kecantikan yang terlarang itu buatan luar negeri dan tidak terdaftar di Departemen Kesehatan. Sedangkan yang enam buatan dalam negeri. Alat-alat kosmetik yang terdaftar di Departemen Kesehatan, sebagaimana disebutkan Djasman, "umumnya sudah diamankan." Ketika didaftarkan, begitu pula ketika diuji di pabriknya, alat-alat itu "tidak mengandung Hg". Tetapi, anehnya, begitu beredar di pasar, sebagian ternyata mengandung merkuri. "Dugaan sementara, kalau produsennya tidak nakal, maka produk itu barang palsu untuk merusakkan nama produk yang asli," katanya. Jika dugaan Djasman ini memang benar, bahaya yang mengancam kelihatannya cukup gawat. Sebab, seperti yang dikatakan dr. I. Gusti Agung K. Rata, spesialis penyakit kulit yang mengetuai konsorsium tata kecantikan kulit P dan K, "racikan kosmetik palsu kebanyakan mengandung bahan merkuri yang berlebihan takarannya." Para penata kccantikan mendapat inspirasi menggunakan merkuri dalam upaya mereka membuat kulit menjadi putih. Padahal, dengan ditambahkannya merkuri, maka enzim tiroksinase dalam proses pembentukan pigmen kulit menjadi terhalang pekerjaannya."Merkuri membuat pembentukan pigmen terhambat sehingga kulit menjadi putih," kata Rata. Dengan merkuri, kulit memang akan menjadi putih. Tetapi bukan putih sembarang putih. Suatu ketika, kecantikan "palsu" ini bisa membawa penyakit. Ketika krim kecantikan dipoleskan, ke muka misalnya merkuri akan meresap ke dalam kulit dan bersama darah berlayar menuju organ vital? seperti ginjal, hati, jantung, sumsum tulang belakang, dan otak. Pemakaian yang berkepanjangan mengakibatkan logam berat ini tertimbun, terutama di ginjal, dan mengakibatkan keracunan. "Mungkin saja kematian sudah pernah terjadi sebagai akibat keracunan merkuri ini," kata Rata, spesialis kulit yang bekerja di RS Tjipto Mangunkusumo, Jakarta. Menurut pengalaman Rata, penggunaan krim bermerkuri ini sering menimbulkan reaksi alergi. Orang yang tak tahan, tubuhnya bisa menolak dan timbullah bercak kemerahan. Terkadang juga bisa mengakibatkan munculnya benjolan hebat dan merata di permukaan kulit yang kena oles. Bisa timbul infeksi dan suhu tubuh meningkat. Mujurlah mereka yang punya daya tolak. Sebab kalau merkuri dioleskan ke kulit, dia akan tertimbun dalam tubuh dan suatu ketika bisa menyebabkan kelainan berat. Kalau sudah begini, akan susah mengatasinya karena, disebutkan Rata, "senyawa merkuri tidak ada antidotumnya." Maksudnya, racun merkuri ini tak bisa ditawarkan. Tak tersedia data tentang berapa luas akibat keracunan merkuri di kalangan para pesolek. Namun, beberapa ahli penyakit saraf sering kedatangan pasien yang tercemar merkuri. "Banyak kasus neurologis sebagai akibat penggunaan bahan senyawa logam berat merkuri itu," ucap Priguna Sidharta, salah seorang ahli saraf terkemuka. Dia menemukan gangguan ringan sampai berat, seperti peradangan di otak. Sebenarnya, dibandingkan dengan negara tetangga - Malaysia dan Singapura - Indonesia bertindak agak terlambat. Kedua negara itu sudah melarang krim kecantikan bermerkuri sejak pertengahan tahun 1983. Sardjono, ahli farmakologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - salah seorang anggota tim penilai bahan obat kosmetik, dan makanan di bawah Departemen Kesehatan - menyayangkan belum adanya undang-undang yang mantap dan memadal. "Seharusnya, kosmetik, yang merupakan kebutuhan sekunder, diatur secara ketat. Dan kalau risikonya sangat berbahaya, dilarang dengan tegas," kata Sardjono. Memang, yang terlihat di pasaran adalah gampangnya orang membeli bahan kosmetik yang sebenarnya termasuk daftar larangan diperjual belikan secara bebas. "Semua bahan obat kosmetik yang tergolong daftar G mudah didapat di salon-salon kecantikan," keluh Rata. Dokter ahli kulit ini tidak berniat memojokkan ahli kecantikan. Dia hanya menganjurkan agar salon-salon kecantikan beroperasi "sesuai dengan aturan main." Rata dibenarkan Lia Hertiana, ahli kecantikan dari salon kecantikan Mira Rosa, yang berpangkalan di Kebayoran Baru, Jakarta. "Memang sudah tak asing lagi salon-salon kecantikan melakukan pengobatan, termasuk memutihkan tubuh," ujarnya. Salon-salon kecantikan, terutama yang besar, yang para ahli kecantikannya pernah berguru dan memperoleh sertifikat di luar negri, sebagaimana diceritakan Lia, cenderung meracik bahan krim perawatan kulit yang formulanya menjadi rahasia tiap-tiap salon.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus