"KALAU polisinya yang goblok, pasti ada faktor X dalam kasus kematian Cucu." Kata-kata keras, dengan nada suara tinggi itu, diucapkan Brigadir jenderal Soenarjo, yang baru dua bulan menjabat Kapolda Jawa Tengah menggantikan Mayor Jenderal JFR Montolalu, yang kini bertugas di Markas Besar Polri. Para kapolres dan kapolsek, yang hadir dalam pertemuan di Yogyakarta dua pekan lalu itu, terdiam. Ini menyangkut sebuah cerita yang cukup rumit, juga sebuah gambaran betapa aparat kepolisian tampak tidak siap menanganinya. Dan Soenarjo rupanya memang menyentil cara kerja polisi Purwokerto, sekaligus mengundang "kenangan lama" ketika seorang remaja putri, Christiana Lina Dewi alias Hoo Foeng Tjoe - yang sehari-hari dipanggil dengan nama kesayangan Cucu - meninggal tahun lalu, dalam usia 18 tahun. Gadis periang, anak pengusaha pabrik mi itu diduga mati akibat minum Baygon. Tapi, ternyata, kata Soenarjo, dia mati karena keracunan DDT. Hal itu diketahui berdasarkan visum et repertum yang dibuat tim kedokteran kehakiman FK UGM, Yogyakarta, pimpiman Dokter Sugandhi. Sejak semula, memang tampak ada yang kurang beres dalam kasus ini. Cucu, misalnya, tak segera diautopsi. Padahal, kematiannya jelas tidak wajar. Lalu, barang bukti berupa kaleng Baygon, dompet, tas, dan pakaian dikabarkan hilang di tangan polisi yang bertugas menyidik. Menurut sebuah sumber di Purwokerto hilangnya barang-barang bukti itu akibat pengaruh Edward Ocy Boen Lian (OBL) alias Slamet Widodo. Pemilik toko kelontong "Slamet" yang berusia 44 tahun itu memang gencar disebut-sebut sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian Cucu. Tapi, apakah gadis itu mati dibunuh atau bunuh diri, masih tetap merupakan teka-teki. Apalagi, karena OBL tertembak polisi 6 Desember lalu. Meski begitu, Soenarjo masih bersemangat untuk membongkar kasus kematian Cucu - karena hal itu menyangkut nama baik polisi. Bagaimana sebenarnya duduk soalnya? 17 April 1982: Hari itu Cucu pamit kepada orangtuanya. Ia bermaksud pergi bersama teman sekolahnya ke Temanggung. Mereka hendak mengadakan acara perpisahan, setelah menghadapi ujian akhir di SMA Bruderan, Jurusan IPS. Di sekolah, Cucu tergolong menonjol. Angka rapornya rata-rata 7,6. Sebab itu, keikutsertaannya dalam acara perpisahan sangat diharapkan. Apa mau dikata, Cucu rupanya memilih pergi ke rumah OBL, duda beranak empat yang tinggal di Jalan Jenderal Sudirman nomor 324. Lelaki parlente yang ketika itu berumur 42 tahun itu memang sudah dikenalnya sejak lama. OBL sendiri pernah belajar di SMA Bruderan. Hari itu, kebetulan OBL di rumah. Cucu menginap di sana meski sebelumnya OBL berusaha menolak kehadirannya. "Ia tidur di kamar depan, sedang saya tidur bersama anak saya di kamar lain," tulis OBL dalam pengakuannya kepada polisi. 18 April l982: Cucu mengajak OBL pergi ke Baturaden, tempat peristirahatan yang nyaman. Jangan heran mereka memang pernah beberapa kali menginap di sana. Tapi kali itu OBL menolak. Sebab, seperti pernah dikatakannya, ia sedang berniat menjauhi Cucu. Bukan karena ia tak senang bergaul dengan gadis periang yang punya daya pikat itu. Melainkan karena anak itu dinilainya "kurang normal dibanding dengan perempuan laim". OBL bisa membandingkan, tentu saja, karena ia memang mempunyai hobi "menyenangkan hati wanita" Artinya, Cucu bukan satu-satunya wanita yang pernah kencan bersamanya. Ketidaknormalan Cucu, karena, kata OBL, ia meminta melakukan hubungan badan sampai beberapa kali dalam sehari - melebihi batas yang wajar. Menurut sumber TEMPO, CUCU yang di sekolah dikenal "bersih" ternyata punya sisi lain yang berbeda. Ia sering terlihat di dalam acara-acara kehidupan malam di beberapa hotel. Toh akhirnya OBL mengantarkan Cucu ke villa Rosenda di Baturaden, setelah pukul 21.00. Lalu ia kembali pulang ke Purwokerto malam itu juga. Sedangkan Cucu ditinggal menginap di sana - seorang diri. 19 April 1982: Ini detik-detik terakhir kehidupan Cucu. Anak keempat dari sembilan bersaudara itu menelepon OBL dari Baturaden. Ia minta dijemput pulang. Namun, yang ditelepon rupanya sedang pergi. Maka, ia pun naik mobil omprengan dan turun di Purwokerto, sekitar pukul 17.00, langsung menuju rumah OBL. Tak diketahui adakah yang menemami Cucu selama di Baturaden, setelah OBL pulang. Pukul 19.00: Di rumah OBL ada tamu, Oey Yu Te dan istrinya. Nyonya Yu Te adalan teman OBL sejak kecil. Nyonya Elly, 39, adik kandung OBL, dan suaminya, Eko Pranoto, juga ada di situ. Keluarga ini memang tinggal serumah dengan OBL. Rumah besar itu adalah warisan keluarga. Para saksi itu mengaku melihat Cucu bertengkar dengan Nyonya Setiawati, ibu OBL. Pasalnya: anak itu menolak disuruh pulang. Setelah itu, kata sumber di Polda Semarang, OBL mengambil gelas berisi cairan lalu mengajak Cucu masuk ke dalam kamar. Beberapa saat kemudian, Nyonya Yu Te konon mendengar seperti ada suara orang mengerang: suara Cucu. Pengakuan berharga ini, kata sumber tadi, dinyatakan Nyonya Yu Te ketika diperiksa sebagai saksi. Tapi kepada TEMPO, Nyonya Yu Te tidak membantah atau membenarkan kesaksiannya itu. "Wah, saya lupa. Maklum, waktunya sudah terlalu lama," katanya per telepon pekan lalu. Mungkinkah OBL "membunuh" Cucu? Belum jelas. Yang jelas, setelah "adegan" dalam kamar itu, OBL pergi. Kebetulan, saat itu ia mendapat pemberitahuan dari bekas istrinya, Lisa alias Lien Sioe Lan. Wanita yang diccraikan tahun 1979 itu mengabarkan bahwa Anton, anak pertama mereka, kabur dari asrama sekolah di Ambarawa dan kini berada di rumahnya, di Purwokerto. Pukul 20.00: Cucu meninggalkan rumah OBL. Ia dikabarkan mampir ke apotek Panti Waras di seberang jalan. Kepada Nyonya Elly, dia mengatakan hendak membeli obat. Entah obat apa. Adalah SIamet, pegawai Apotek Panti Waras, menurut Fachrudin Abdul Kafie - pengacaaa OBL yang lain - yang malam itu melayani Cucu, yang membeli sekaleng Baygon di apotek itu. Gadis itu konon minta sekalian dibukakan tutupnya. Namun, kepada TEMPO pekan lalu, pegawai itu menyangkal. "Waktu itu saya berada di dalam, dan Naniek yang melayani pembeli. Malam itu memang ada wanita yang membeli Baygon. Tapi Naniek tidak tahu, apakah dia Cucu, sebab belum kenal," kata Slamet. Di mana Naniek? "Dia sudah tidak bekerja di sini." Alamatnya? "Tidak jelas," jawab Slamet. Sekitar seperempat jam kemudian, Cucu tiba di rumahnya di Jalan Situmpur, naik becak. Ia menekan bel. Dan begitu pintu dibuka, Cucu ambruk. "Kenapa, Cu?" tanya ibunya. "Saya habis minum Baygon dua teguk," jawab sang anak. Dari dalam tas yang dijinjingnya, terjatuh selembar kartu nama, yang tak lain milik OBL. Cucu minta diteleponkan ke sana. Nyambung. Tapi, jawaban dari seberang menyatakan bahwa itu bukan rumah OBL. Ditelepon sekali lagi, suara yang tadi menjawab, "OBL sedang pergi." Padahal, Yayah Budiman, ayah Cucu, yakin, si penerima telepon tak lain OBL sendiri. Sementara itu, Cucu ditolong Dokter Sulistiono, yang masih tergolong kerabat dekat Yayah Budiman. Tapi dokter itu tak sanggup menolong karena keadaan pasiennya sudah gawat. Korban pun dibawa ke rumah sakit. Pada pukul 24.00, Cucu mendapat pertolongan Dokter Soekamiyatno, ahli penyakit dalam berpangkat letnan kolonel AL. Ketika itu, Soekamiyatno curiga: apa betul Cucu minum Baygon, seperti dikatakan orangtuanya? Sebab, katanya kepada TEMPO pekan lalu, kalau hanya keracunan Baygon, keadaannya tak akan sekritis itu benar. 20 April 1982: Cucu tak tertolong lagi. Sekitar pukul 06.00, atau sekitar 10 jam setelah dibawa ke Rumah Sakit Purwokerto, ia meninggal. Yayah Budiman merasa sangat terpukul dan kehilangan. Lina termasuk anaknya yang bisa diandalkan. Anak itu sering membantu membereskan pembukuan di perusahaan milik keluarga. Namun ia agak ragu ketika polisi meminta agar mayat Cucu diautopsi. Polisi pun, ketika itu, rupanya yakin bahwa kematian Cucu memang akibat meminum Baygon, Bukankah korban sendiri yang mengaku telah menenggak dua teguk racun serangga itu? Meski begitu, karena Yayah Budiman menaruh curiga, hari itu juga polisi memeriksa OBL. Tapi esok harinya ia dilepas kembali karena tak cukup bukti untuk menahannya lebih lama. Ketika ditahan - menurut sebuah sumber di kepolisian Purwokerto - OBL mengirim surat kepada Kapolwil Banyumas, Kolonel Marsono Abdurachmad. Surat yang disampaikan kepada Marsono oleh Surip pelayan di toko "Slamet", itu, entah apa bunyinya. Namun. diduga ada hubungannya dengan perintah pembebasan terhadap diri OBL, esok harinya. Sumber itu dengan terus terang memang menuduh seolah-olah Marsono orang yang menghambat penyidikan terhadap diri OBL. "Mereka kenalan sejak lama," katanya. Sementara itu, Marsono sendiri tenang-tenang saja menghadapi tudingan itu. "Saya tak pernah merasa menghalangi atau mencegah penyidikan terhadap kasus kematian Cucu," katanya lewat telepon kepada TEMPO, pekan lalu. 21 April 1982: Dokter Soekamiyatno membuat visum luar atas kematian pasiennya. Ia menyimpulkan: korban meninggal akibat keracunan. 8 Mei 1982: Yayah Budiman semakin curiga terhadap kematian putrinya. Benaknya semakin dipenuhi tanda tanya: siapa OBL dan apa hubungannya dengan anaknya? Ia lantas menulis pengaduan ke alamat Kapolres Purwokerto. Secara tersirat, ia menuduh OBL sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian Cucu. Selain penemuan kartu nama itu Yayah berpegang kepada ucapan Cucu ketika dibawa ke rumah sakit. Dalam keadaan yang sangat Iemah, wanita muda itu berucap dalam bahasa Jawa: "aku durung kepingin mati..., aku dilomboni.. . "(saya belum ingin mati, saya telah dibohongi). Yang juga cukup mengundang tanya, karena korban - beberapa hari sebelum meninggal - pernah dimintai tolong OBL untuk menukar selembar cek mundur dari Bank Danamon sebesar Rp 1 juta. 10 Agusus 1982: Yayah penasaran. Laporannya tertanggal 8 Mei kurang mendapat tanggapan serius. Maka ia pun lantas menyusun laporan ke Polda Jawa Tengah di Semarang. Pada bulan Agustus ini pula polisi kebobolan. Menurut sumber TEMPO di Purwokerto, barang bukti berupa kaleng Baygon, dompet, tas dan pakaian yang dikenakan Cucu di hari terakhir - hilang. Yang tak kalah aneh adalah cerita tentang kaleng Baygon - sebelum diketahui raib entah ke mana. Kaleng tersebut, menurut sumber TEMPO, dijumpai pagi hari tanggal 20 April 1982 - hari kematian Cucu - di dekat pintu sebelah luar rumah orangtuanya. Bisa dipastikan, kata sumber itu, Cucu bukan menenggak racun dari kaleng tersebut. Sebab, katanya, kaleng tadi masih terbungkus dalam plastik dan isinya masih utuh. Ada dugaan, kaleng itu ditaruh oleh seseorang bernama Sien Kie, 25, teman dekat OBL. Apa mau dikata, benda tersebut hilang, dan kemudian muncul kaleng Baygon lain - entah dari mana datangnya. 11 September 1982: Polisi membongkar kembali kubur Cucu. Mayatnya yang sudah rusak - maklum sudah 5 bulan meninggal - dibawa ke Yogyakarta. Tim kedokteran kehakiman pimpinan dokter Sugandhi dari UGM, melakukan otopsi. Setelah dua bulan menekuni mayat, tim ini berhasil menyimpulkan bahwa korban mati akibat DDT. Racun yang Iebih keras ketimbang Baygon itu didapati di dalam darah yang melekat pada tulang, serta di wilayah pusat susunan saraf. Sumber di FK UGM pekan lalu menyatakan kepada TEMPO, paling tidak tubuh Cucu kemasukan DDT sampai 50 gram. Hanya, bagaimana cara DDT itu masuk ke tubuh korban, sulit diketahui. "Bagian-bagian tubuhnya sudah banyak yang rusak," katanya. Namun tim bisa memastikan: pada tulang dan bagian tubuh lain, tak terdapat bekas pukulan benda keras. Hasil otopsi ini tak pernah diumumkan. Konon disengaja, supaya OBL atau mereka yang terlibat dalam kematian Cucu, merasa "aman" hingga memudahkan pengusutan. Barulah dua pekan lalu, Brigjen Soenarjo menyitir visum tersebut. Awal November 1982: Yayah Budiman tetap menilai penanganan kasus anaknya lamban. Ia pergi ke Jakarta, "menggedor" Kapolri dan mengunjungi DPR. Minggu pertama November 1982: Mabes Polri mengirim tim ke Purwokerto, dipimpin Mayor Nasir, memperkuat tim Polda Jawa Tengah yang telah diterjunkan lebih dahulu. Mereka mencoba mengumpulkan bukti untuk bisa menjaring OBL, namun tidak berhasil. 4 Maret 1983: Di Purwokerto terjadi pembunuhan atas Jayawikarta dan anaknya, Susilo. Yang dituduh membunuh Handoko, anak kedua Jaya, dan adik iparnya bernama Paulus. Handoko adalah manajer villa Rosenda, tempat Cucu dan OBL biasa berkencan. Ada yang menduga, kasus ini ada hubungannya dengan kasus Cucu: Handoko sengaja hendak dikorbankan karena ia mengetahui hubungan Cucu-OBL. 17 Maret 1983: Toko Slamet milik OBL digrebek. Kali itu OBL kena jaring. Bukan karena terbukti membunuh Cucu, melainkan karena perkara bank gelap. Ia pun diperkarakan. Hakim memvonis hukuman 10 bulan penjara. Di tingkat banding, OBL mendapat keringan. Ia hanya dihukum 8 bulan. Dalam penggerebekan itu juga ditemukan bukti untuk memperkarakan tuan rumal. Yaitu: stempel palsu Undian Sosial Berhadiah. OBL memang agen undian Rp 100 juta Iebih itu di Purwokerto. Selain itu ia juga dituduh menyewakan kaset video porno dan terlibat kasus pemipuan. 22 Agustus 1983: Pembunuhan lagi di Purwokerto. Kali ini korbannya Bharatu Ocel, bekas sopir Kapolres Banyumas. Sebelumnya ia dipecat gara-gara mabuk. Ketika itu ia membuang tembakan ke atas hampir saja mengenai seorang WNI keturunan Cina. Setelah dipecat, ia dituding terlibat dalam kasus pembunuhan terhadap Jayawikarta. Dan ternyata ia tahu banyak tentang kegiatan bank gelap OBL yang omzetnya meliputi puluhan juta rupiah. Hari itu ia diajak "berburu" oleh empat laki-laki yang kelihatannya sudah ia kenal. Tapi ternyata tak kembali lagi. Mayatnya ditemukan di bilangan Gunung Kutiang, Ajibarang. 7 Agustus 1983: Ada orang "hilang", yakni Sundari, wartawan majalah Info. Bekas lurah di daerah Kendal ini kabarnya merangkap sebagai informan polisi. Dia turut mengusut kasus kematian Cucu dan Jayawikarta. Penggerebekan terhadap OBL pada 17 Maret dialah konon arsiteknya. Dan menurut seorang rekan dekatnya, dia ikut pula menginterogasi OBL dan bekas istrinya. Dan dalam penggerebekan itu, kabarnya ia berhasil menemukan sebotol racun serangga - yang diduga serupa dengan yang digunakan untuk menghabisi nyawa Cucu. "Herannya, setelah sampai di Polres racun tadi hilang," kata teman dekatnya itu. 24 September 1983 Sien Kie, 25, tertangkap di Jakarta. Sejak lama, ia memang dicari oleh polisi Purwokerto karena didua banyak tahu tentang kasus Lina alias Cucu. Pada malam tanggal i9 April, ia memang bertemu OBL. Ia dimintai tolong "mengintip" ke rumah Lisa bekas istri OBL, apa betul Anton ada di sana. Ternyata betul: Anton, anak pertama OBL itu ada di sana. Setelah itu mereka berpisah. Tapi menurut pihak polisi, pertemuan itu digunakan untuk mengatur bagaimana cara meletakkan kaleng Baygon di rumah Yayah Budiman. Sayang, tuduhan ini sulit dibuktikan, sehingga Sien Kie akhirnya dilepas kembali. 6 Descmber 1983: Hari pembebasan OBL, setelah mendekam delapan bulan di Lembaga Pemasyarakatan. Namun ia segera dijemput empat petugas polisi berpakaian preman, dibawa ke Semarang. Namun di kawasan Desa Jambu, Ambarawa, ia konon mencoba lari dan terpaksa ditembak mati. Selama ditahan, OBL sempat membuat catatan harian. Ia, misalnya, menyebut tentang kunjungan seorang pejabat Kodim. "Saya heran, kenapa hanya Slamet yang lagi tidur siang tok yang diganggu?" Slamet di situ, maksudnya OBL, dirinya sendiri. Pejabat Kodim itu kemudian, menurut catatan harian itu, menuduh OBL telah menyuguhkan Cucu kepada beberapa pejabat di Purwokerto sebelumnya diberi obat bius. Tapi, dalam catatan harian itu juga, OBL membantah. "Saya minta dibuktikan kalau saya pernah menyuguhkan kepada pejabat. Coba pejabat mana?" Kematian si gadis Cucu memang masih tetap gelap. Dan misteri ini nampaknya akan berkepanjangan. Seperti kata sumber TEMPO di Purwokerto: "Waktunya makin jauh dan bukti-buktinya makin suiit dilacak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini