Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Perjalanan "orang kuat" itu

Obl dinilai "dekat" dengan sementara pejabat. suka berkelakar dan setia kawan. kakinya cacat, tak bisa lari, tapi dikabarkan melarikan diri. dan ditembak.

21 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT puluh hari Iewat sudah, tapi belum jelas bagaimana sampai OBL tertembak oleh para pengawalnya. Kepada adik ipar OBL, Eko Pranoto, dan pengacaranya, R. Joedjono, Kapolda Jawa Tengah dan Yogyakarta, Brigadir Jenderal Soenarjo, hanya menyatakan bahwa korban terkena Iebih dari sebutir peluru. Beberapa hari kemudian, Soenarjo tetap menolak memberi keterangan. "Penjelasan resmi tentang tertembaknya OBL saya pandang belum perlu. Lebih baik saya tidak banyak ngomong dulu. Masalahnya nanti malah tambah ruwet," katanya kepada TEMPO. Setelah OBL tertembak, Soenarjo memang merasa lebih perlu segera bertindak daripada omong. Letnan Kolonel Kadargono, komandan Reserse Polda Jawa Tengah vang memerintahkan penangkapan terhadap OBL, segera dialihtugaskan ke bagian staf. Kedudukannya kini digantikan Letnan Kolonel Anwari, yang sebelumnya bertugas di Markas Besar Polri. Meskipun demikian polisi yang bertugas mengawal - dan kemudian menembak OBL - masih tetap bertugas sebagai reserse. Hanya, untuk sementara, mereka tak dibebani tugas seperti biasa. Sementara itu, Joedjono masih penasaran. Dari seorang pejabat Polda Jawa Tengah, ia mendapat keterangan bahwa penembakan itu terjadi di lokasi berhutan Desa Jambu, Ambarawa, sekitar pukul 19.30. Di sebuah tanjakan berkelok, mobil yang ditumpangi OBL ketika itu dikabarkan "ngadat". Pemilik toko Slamet itu konon minta izin buang air kecil. Eh, ternyata, kata pejabat itu, dia terus lari. Dan akhirnya ditembak. Kepada TEMPO, para pengawal OBL memberi keterangan agak berbeda: bukan OBL yang buang air kecil melainkan dua orang pengawalnya. "Pengawalan jadi mengendur dan kesempatan itu digunakan OBL untuk lari masuk hutan," kata salah seorang pengawal yang bertubuh kekar dan berkumis tipis. Korban, katanya, tak menggubris tembakan peringatan dan terus berlari menerjang kegelapan. Sosok OBL nyaris tak kelihatan karena kebetulan ketika itu ia mengenakan pakaian "warna gelap": celana biru tua dan baju abu-abu bergaris-garis. "Sebelum dia menghilang, terpaksa dia kami beri 'hadiah' dor," katanya. Harus dicatat: Tiga pengawal itu melepaskan tiga kali tembakan - semuanya mengenai sasaran. Sebutir bersarang di kepala dan dua lainnya menembus punggung OBL. Mereka mengaku agak terkesiap melihat tahanan yang dikawalnya tergeletah berlumuran darah "Tapi kami hanya sekadar menjalankan tugas," kata seorang di antaranya. Yang masih menjadi pertanyaan ialah: benarkah OBL merupakan "orang kuat" Purwokerto seperti diduga banyak orang? Agak sulit memastikan seberapa besar pengaruh dan hubungannya dengan sementara pejabat di kota itu. Hanya, lelaki parlente yang gemar warna putih itu memang sering berusaha agar terkesan sebagai "orang kuat". Ia, misalnya, sering sesumbar seolah semua pejabat di Purwokerto berada dalam "genggaman". OBL kaharnya suka meminjamkan mobil atau memberi bantuan kepada siapa saja yang memerlukan. Banyak yang yakin, pemilik toko Slamet itu punya banyak relasi di kalangan atas ketika namanya dikaitkan dengan kematian Cucu. Ketika itu, ia seolah tak bergeming meski dituding dari berbagai pihak. Orang bertambah percaya, ia mempunyai banyak relasi ketika, ternyata, ia hanya ditahan polisi selama satu hari untuk menjalani pemeriksaan. Tapi pelepasan OBL itu, menurut sebuah sumber. bukan karena ia punya "hubungan" dengan pejabat. "Penahanannya memang tidak punya dasar yang kuat," kata seseorang yang dekat dengan OBL. Lagi pula, katanya, anak kedua dari tiga bersaudara itu cukup tahu hukum. Setahu Nyonya Elly Pranoto, adik kandung OBL yang tinggal serumah, kakaknya gemar membaca buku-buku hukum. "Hampir setiap hari dia membalik-balik Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata," katanya. Kebiasaan itu, katanya, sudah berlangsung sebelum namanya dikaitkan dengan kematian Cucu. Kegemarannya itu barangkali erat dengan bisnisnya yang terkadang menyerempet-nyerempet bahaya. Selain mengelola toko Slamet, OBL juga agen Undian Sosial Berhadiah. Dulu, begitu keluar dari SMA Bruderan sekitar 1960-an, ia pernah menjadi pemborong di Jakarta, kemudian bekerja di bidang pergudangan di Tegal. Beberapa waktu, ia sempat mukim di Cirebon, sebelum kembali lagi ke Purwokerto untuk kemudian menyunting Lisa (terlahir Lien Sioe Lan) pada 1967. OBL juga pernah mengusahakan taksi dan jual beli mobil. Namun, ternyata, ia juga punya usaha lain yang hanya diketahui sedikit orang: bank gelap, alias rentenir. Kabarnya, dengan mudah dan cepat ia bisa memberi pinjaman Rp 10 juta sampai Rp 20 juta dengan bunga sampai 30% setahun. Dalam perkara bank gelap ini, OBL sudah diadili. Ia divonis 10 bulan penjara. Tapi dalam tingkat banding, hukumannya dikurangi menjadi delapan bulan. Perkara lain yang juga sudah disidangkan ialah soal obat keras yang masuk daftar G yang diperdagangkannya. Dua perkara lain yang bakal menyeret OBL ke kursi terdakwa (kalau ia masih hidup) ialah pemalsuan stempel Undian Sosial Berhadiah serta soal penipuan. Meskipun demikian, lelaki ganteng dengan tinggi 165 cm itu sudah cukup menikmati hidup. Lahir 13 Oktober 1939 di Purwokerto, di masa kecil OBL gemar naik sepeda. Waktu di SMTP, ia pernah mengikuti lomba balap sepeda dan keluar sebagai juara kedua. Dalam perlombaan itu, la terjatuh dan kaki kirinya cedera hingga tak bisa berlari kencang. Karena itu, orang bisa meragukan bahwa OBL berusaha melarikan diri dari pcngawalan polisi di Desa Jambu. Pada masa remaja, OBL gemar berolah raga judo. Meskipun sempat meraih ban biru - menurut seorang kenalannya yang kini tinggal di Jakarta - OBL selalu bersedia menerima hukuman tanpa protes kalau ia merasa bersalah. Sifat OBL lainnya yang menonjol: suka berkelakar, pandai menghidupkan suasana, simpatik, dan rasa setia kawannya kuat. Kegemaran OBL yang lain ialah memotret. Ia memiliki tiga kamera dan sering memotret teman-temannya. "Tapi dia sendiri paling enggan dipotret," kata Nyonya Elly. Perkawinannya dengan Lisa menghasilkan empat anak, dua laki-laki, dua perempuan: Antonius Hartono, 14, Lucia Hartati, 13, Theoorus Erwin, 9, dan yang bungsu Christina Maya, 8. Sayang, perkawinan itu tidak langgeng. Pada 1979, terjadi perceraian. Apa pasalnya? "Kami tidak tahu persis," kata Elly, yang mengaku tak tahu banyak tentang OBL. Sebab, katanya, abangnya itu pendiam, semua urusan hendak ditangani sendiri tanpa melibatkan siapa pun. OBL barangkali hendak meniru ayahnya, Hadi Widodo, yang kini tinggal di Tegal. Hadi, konon, juga gemar kawin cerai. Terakhir, ia bercerai dengan Setiawati, ibu kandung OBL. Bagi pemeluk Katolik, kebiasaan ini agak aneh. Tapi OBL rupanya tak peduli kata orang tentang dirinya. Barangkali ia tetap merasa sebagai pemeluk Katolik yang baik: hampir setiap Minggu ia menyempatkan diri ke gereja Kristus Raja di kotanya. Diduga, keretakan rumah tangganya itu lantaran OBL gemar "main cinta" di luar rumah. Untuk keperluan hobinya ini, empat tahun lalu ia menjalani vasektomi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus