Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Berita Tempo Plus

Busung Lapar di Lumbung Beras

Penyakit busung lapar menjangkiti warga miskin di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Semula gubernur cenderung menutup-nutupinya.

6 Juni 2005 | 00.00 WIB

Busung Lapar di Lumbung Beras
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdinding kayu yang sebagian sudah lapuk, rumah Abdurrahman sungguh sederhana. Luasnya cuma enam meter persegi. Siang hari, keadaannya gelap dan pengap. Bila malam, ada penerangan listrik dari tetangganya. Rumah ini berada di Kampung Karang Seme, Kelurahan Karang Pule, Ampenan, berjarak dua kilometer di sebelah selatan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Karang Seme amat jauh dari kata sehat. Begitu memasuki kampung ini, aroma kotoran kuda langsung menusuk hidung. Kandang kuda memang banyak dijumpai di sana, dan sering berimpitan dengan rumah.

Di kawasan seperti itulah Abdurrahman, yang sehari-hari menjadi buruh tani, tinggal bersama istrinya, Rusmini, dan 10 anaknya.

Pejabat dari Jakarta sering melintasi kampung itu, tapi tak pernah mampir. Mereka biasanya datang ke kawasan tambang logam mulia di Karang Pule untuk memborong emas dan mutiara. Barulah pada sepekan terakhir, banyak pejabat dan politisi berkunjung ke Karang Seme. Bahkan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Sapari sempat menjejakkan kakinya di rumah Abdurrahman.

Semua itu gara-gara busung lapar. Penyakit ini telah membuat Marjanah, 2 tahun, meninggal pada 21 Mei lalu. Sehari sebelumnya, anak ke-9 keluarga Abdurrahman ini sempat dibawa di Rumah Sakit Umum Mataram atas rujukan puskesmas Karang Pule. Saran dokter agar Marjanah menjalani rawat inap tidak dipatuhi oleh sang ayah karena tidak memiliki biaya. Tak lama setelah si anak dibawa pulang ke rumah, ia pun pergi untuk selama-lamanya.

Menurut pemeriksaan medis, Marjanah, yang memiliki berat badan cuma 6,5 kilogram, menderita marasmus sekaligus kwarshiorkor, dehidrasi, dan gangguan pernapasan. Kepala Sub-Dinas Pelayanan Kesehatan dan Gizi Dinas Kesehatan NTB, Mar'ie Sanad, tak mau menyebut busung lapar untuk kasus ini. "Dalam ilmu kedokteran, tidak ada istilah itu. Yang ada, ya, kwarshiorkor dan marasmus."

Istilah kwashiorkor pertama kali diperkenalkan oleh C.D. Williams, seorang dokter anak yang bekerja di Pantai Gading, Afrika, pada 1933. Inilah penyakit kekurangan protein yang biasa menjangkiti anak-anak berusia 2-3 tahun. Bocah yang terkena kwashiorkor akan mengalami bengkak pada anggota tubuhnya, dan mukanya pucat.

Adapun marasmus adalah penyakit yang muncul terutama karena kekurangan karbohidrat. Anak-anak yang terserang marasmus akan terlihat ada cekungan di bawah kelompak matanya. Kulitnya berkeriput, rambutnya kusut, bertubuh kurus dan perut membuncit. Bila gejala kwashiorkor dan marasmus bergabung jadi satu seperti yang dialami oleh Marjanah, orang biasa menyebutnya busung lapar.

Busung lapar juga sempat menyergap Mohammad Azmi, 14 bulan. Hanya, nasib bocah dari Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, ini lebih baik. Dia langsung mendapat perawatan khusus di RSU Mataram. Boleh jadi, itu berkah dari kasus Marjamah yang mendapat perhatian luas setelah ramai diberitakan media massa.

Azmi juga berasal dari keluarga melarat. Nyonya Suli, ibu Azmi, bekerja serabutan untuk menghidupi tiga anaknya. Sedangkan suaminya sedang merantau ke Malaysia dan tak jelas kerjanya.

Di RSU Mataram, ada dua pasien lain sependeritaan dengan Azmi, yakni Nurul Jannah, 10 bulan, dan Ridho, 2 tahun, keduanya dari Geguntur, Karang Pule, Mataram.

Sampai akhir pekan lalu, di Nusa Tenggara Barat, terdapat 359 bocah yang menderita busung lapar, dan delapan di antaranya sudah meninggal dunia. Angka tertinggi terdapat di Kabupaten Lombok Timur, yakni 175 kasus, disusul Lombok Barat dengan 144 kasus dan 5 meninggal. Korban yang meninggal lainnya, dua berasal dari Mataram, dan 1 dari Lombok Tengah.

Sebuah ironi karena Lombok Timur dan Lombok Barat selama ini dikenal sebagai kawasan pertanian yang subur. Setiap tahun dua kabupaten ini menyuplai 40 persen gabah kering giling dari 1,4 juta ton total produksi padi di NTB. Itu sebabnya Menteri Kesehatan Siti Fadilah mengernyitkan dahi, "Seharusnya busung lapar tak terjadi di sini."

Siti Fadilah menduga penyakit itu muncul karena rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya kesehatan. Faktor lainnya, lantaran terhambatnya sistem pemantauan kasus. Sang Menteri menyalahkan Pemerintah Provinsi NTB yang tak pernah menyampaikan laporan hasil pengawasan kesehatan masyarakat ke pemerintah pusat. "Tim pemantauan di NTB tampaknya tak jalan," kata Siti Fadilah.

Semula Gubernur NTB Lalu Serinata sempat menyangkal fakta di wilayahnya ada kasus busung lapar. Alasannya, di provinsi yang berpenduduk 4,2 juta jiwa ini masih banyak beras. "Busung lapar itu jika masyarakat sudah makan bungkil pisang dan bungkil kelapa," katanya. Tapi, setelah banyak pejabat dari Jakarta yang turun ke sana, ia tak bisa membantah lagi.

Kendati NTB dikenal sebagai daerah yang subur, amat banyak penduduk di sana yang melarat. Menurut data Kantor Wilayah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional NTB, jumlah penduduk miskin di lumbung beras itu tercatat 654 ribu kepala keluarga. Jadi, jika satu keluarga ada empat jiwa, sekitar 2,6 juta jiwa atau lebih dari 50 persen penduduk di sana melarat. Jelas di sana ada warga yang lapar. Lagi pula kejadian seperti itu bukan yang pertama. Setiap tahun, ada sekitar 1.500 kasus busung lapar di NTB.

Tak hanya NTB, provinsi tetangganya, Nusa Tenggara Timur (NTT), pun mengalami persoalan yang sama. Hampir setiap tahun di provinsi ini juga ditemukan kasus busung lapar. Tahun ini sedikitnya ada 113 bocah yang dilaporkan menderita penyakit ini. Jumlah bocah yang sekadar mengalami gizi buruk lebih besar lagi, 62.444 anak.

Serly Yohana Raha, 10 bulan, yang kini dirawat di Rumah Sakit WZ Yohanis, Kupang, termasuk salah satu anak penderita busung lapar. Tubuhnya tinggal kulit membungkus tulang. Wajah mungilnya terlihat tirus, keriput, dan perutnya membuncit. Bola matanya seolah mau meloncat keluar dari kelopaknya.

Sejak lahir, dia hanya disuguhi nasi bubur encer dan air putih. "Kalaupun ada susu, itu hasil pemberian orang-orang terdekat," kata Welly Raha, 33 tahun, ibu kandung Serly yang menetap di Kelurahan Nunhila, Kecamatan Alak, Kota Kupang.

Seperti NTB, Provinsi NTT sudah tetapkan sebagai daerah dengan kejadian luar biasa penyakit busung lapar. Gubernur Piet A. Tallo pun sudah membentuk tim untuk menanggulangi kekurangan gizi warganya. Menurut Kepala Dinas Kesehatan NTT, Stef Bria Seran, masalah krisis gizi berhubungan dengan produksi pangan, distribusi pangan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. "Jadi tak bisa hanya dinas kesehatan yang disalahkan," katanya.

Gubernur Tallo semula juga selalu membantah pemberitaan tentang busung lapar. Dia bahkan gemar bercerita tentang alam di daerahnya memiliki potensi alam yang menarik. Gubernur selalu bangga dengan Pulau Flores yang memiliki panorama alam yang menakjubkan dan cocok untuk perkebunan dan pertanian. Begitu pula dengan Pulau Timor yang terkenal dengan pusat ternak sapi paron dan penghasil cendana. Tapi kini Tallo tak bisa menutupinya lagi. Dia mengakui, sebagian besar warganya, bahkan mencapai 70 persen, hidup dalam kemiskinan.

Sebuah sikap yang tepat. Soalnya, jika kemiskinan selalu ditutup-tutupi, busung lapar akan lebih sulit dideteksi jauh hari.

Nurlis E. Meuko, Ami Afriatni, Sujatmiko (Mataram), dan Jems De Fortuna (Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus