Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setiap daerah di Indonesia biasanya mempunyai camilan khas. Namun, ada yang bertahan, ada yang perlahan hilang tergerus olahan baru, ada pula yang ikut berubah dengan rasa dan tampilan yang lebih modern. Salah satu yang setia mengolah penganan tradisional adalah masyarakat di Desa Ekowisata Pancoh, Sleman, Yogyakrta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di desa wisata yang bisa dicapai dalam 1,5 jam perjalanan dari pusat kota Yogyakarta ini, para wisatawan yang datang akan disuguhi beragam camilan khas, seperti nogosari salak, ubi rebus, kelepon dan slondok renceng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beragam jenis camilan tradisional di Desa Wisata Pancoh, Sleman yang disuguhkan untuk para wisatawan. TEMPO/Dini Pramita
Slondok adalah salah satu ciri khasnya. Slondok ini tampil berbeda. Kebanyakan penganan ini dikemas dalam kantong plastik. Di Desa Ekowisata Pancoh, slondok diikat menjadi satu renceng menggunakan tali dari bambu. “Biasanya kami menyajikan ini untuk welcome drink dan snack para tamu,” kata Ngatijan, 52 tahun, Ketua Pokdarwis Desa Ekowisata Pancoh. Karena penyajiannya inilah, slondok ini dinamakan slondok renceng.
Pembuatannya masih mengikuti resep tradisional. Berbahan dasar singkong, bumbu-bumbu yang digunakan sederhana. “Singkong direbus, lalu ditumbuk sampai halus, dibumbui bawang putih dan garam saja, dibulat-bulatin, langsung digoreng,” ucap Ngatijan. Untuk memenuhi kebutuhan, ia menyebutkan pihak pengelola bekerjasama dengan kampung-kampung tetangga.
Baca Juga:
Slondok ini dibuat tanpa menggunakan bahan pengawet. Bumbu penyedap pun hanya mengandalkan ramuan bawang putih dan garam sehingga tidak ada rasa asin dan gurih yang terlalu tajam. Menyantap slondok yang kriuk-kriuk ini tidak akan membuat lidah terasa sakit atau cepat haus karena minim penggunaan penyedap rasa.
Menurut Ngatijan, penyajian slondok dengan model renceng sengaja dilestarikan karena sesuai dengan semangat desa ekowisata yang menekankan pada kelestarian lingkungan. “Tempo dulu juga dalam pengemasannya tidak menggunakan plastik sama sekali, sangat ramah lingkungan,” kata dia. Ternyata, para wisatawan sangat menggemari slondok versi jadul ini.
Camilan ini nikmat disantap bersama wedang jahe sereh yang hangat, minuman khas kaki Gunung Merapi untuk menghangatkan tubuh. Wisatawan juga dibuat makin nikmat menyantapnya, tanpa ada rasa bersalah pada Ibu Bumi yang karena tak ada satupun plastik dalam pengemasannya.
DINI PRAMITA