DI ruang seluas 5 x 6 meter terlihat beberapa orang sedang
bekerja. Ada yang duduk dengan dada telanjang. Ada pula yang
sambil bersila. Sesekali terdengar ketukan palu. Semua sedang
asyik menekuni benda berukir terbuat dari potongan lempengan
tembaga.
Muzakir, 45 tahun, laki-laki berkaca mata kelahiran Karangkajen,
Yogyakarta, termasuk salah seorang pembuat canting, sebuah alat
untuk membuat kain batik cap.
Di samping ia sebagai pekerja, Muzakir juga menjadi 'bos'para
pembuat canting. Di rumahnya di Karangkajen, ayah dari 7 orang
anak itu telah melakukan pekerjaannya sejak 1960. Waktu itu ia
sarnpai kewalahan menerima pesanan cap. Bahkan pada tahun 1973
ia memiliki 25 orang pekerja. "Tapi sekarang tinggal 6 orang,
katanya mengeluh. Terutama karena batik printing buatan pabrik
makin mendesak batik tulis maupun batik cap. Apalagi sejak 2
tahun lalu beberapa perusahaan batik cap di Yogya tersungkur.
Akibatnya pesanan alat untuk membuat batik cap, terutama
canting, berkurang pula.
Untuk mengecap selembar batik biasanya dipergunakan seperangkat
canting yang terdiri dari 4 bilah, masing-masing berukuran 18 x
18 cm. Alat mengecap bermotif aneka ragam itu dikerjakan
terus-menerus dalam 2 bulan. Harga jualnya Rp 90.000 komplit,
tinggal pakai. Tapi bukan berarti Muzakir beruntung banyak.
Canting-canting itu ia borongkan kepada anak buahnya dengan upah
Rp 30.000 tiap set. Ini belum terhitung bahan-bahan seperti
tembaga, timah solder dan alat penggosok lainnya yang harus
disediakan Muzakir. "Keuntungan bersih paling-paling Rp 5.000,"
ungkap Muzakir terus terang. Tapi ia juga mengaku tidak pernah
rugi. Karena pesanan dikerjakan berdasarkan order. Artinya,
kalau tak ada pesanan, ia dan anak buahnya pun menganggur.
Selama tak ada pesanan mereka bekerja apa saja.
Seorang pembuat canting lainnya, Paidjo, 29 tahun, mengaku tidak
pernah belajar khusus membuat alat membatik itu. "Dari melihat,
ikut praktek, akhirnya bisa juga," kata laki-laki beranak 3
itu. Paidjo telah 13 tahun bekerja di tempat Muzakir. Ia agaknya
cukup senang mempunyai kepandaian membuat canting batik. "Sebab
hanya kutak-katik seperti montir radio," ucapnya tersenyum.
Walaupun begitu ia sering pula merasa sedih. Karena pekerjaannya
makin didesak banjirnya batik pabrik. Karena itu untuk menambah
penghasilan, malam hari ia bekerja lagi sebagai penjaga malam di
sebuah pabrik penyamakan kulit.
Disediakan Pemesan
Pekalongan sejak dulu beken sebayai gudang batik. Tentu juga
sebagai peng hasil canting. Pada mulanya Pekalongan hanya
membuat batik tulis. Baru pada akhir abad ke-19 daerah ini mulai
mengenal batik cap. Konon kabarnya teknik pembuatan canting
pertama kali ditemukan oleh para pedagang Tionghoa yang waktu
itu memang menguasai sebagian besar pasaran batik. "Waktu itu
perminuan dari Muangthai dan negeri sekitarnya cukup banyak,"
kata Wahyono, 42 tahun, seorang seniman dan perancang batik yang
bermukim di kota itu.
Membuat canting cap memang tidak sukar. Dengan modal ketelatenan
dan sedikit bakat teknik sudah cukuplah. Terutama karena
biasanya motif yang dikehendaki sudah disediakan pemesan di
kertas pola. Dengan pola itu para pembuat canting cap
menggunting lembaran tembaga, sesuai dengan lekuk-lekuk motif
yang dikehendaki.
Selanjutnya guntingan logam itu ditempa, dikikir sehingga
membentuk daun, bunga, garis dan titik. Lalu masing-masing
disambung dengan dipatri agar bagian yang satu tidak terlepas
dari yang lain. Proses berikutnya adalah merebus motif itu
dengan gondorukem, semacam getah. Akhirnya dikikir lagi dan
dipoles dengan arang supaya semuanya tampak halus.
Alat yang dipakai untuk membuat cap ini tidak banyak: gunting
kaleng supit, tang kecil, gergaji besi dan kikir.
"Kerja penuh santai dan tidak berbahaya," kata Sarmidi,
laki-laki lulusan STM yang telah mempunyai seorang anak.
Sebetulnya bagi Sarmidi membuat cap hanya kerja sementara, sebab
ia sedang menunggu jawaban lamaran bekerja di perusahaan
kontraktor bangunan.
Pembuatan batik tulis juga dengan canting. Tapi dengan canting
yang berbeda. Yaitu semacam sendok berbentuk cekung yang pada
pucuknya diberi berlubang sebagai saluran lilin mengalir ke
luar. Pada gagangnya diberi tangkai kayu.
Cara membuatnya lebih sederhana. Lembaran tembaga digunting
dengan lebar 5 cm dan panjang 50 cm. Untuk mendapatkan logam
yang lebih tipis, tembaga ditempa berulang-ulang. Selanjutnya
dipotong lebih kecil selebar 10 cm sebelum dibentuk.
Dalam proses mempatrinya, tembaga dengan timah putih dilebur
jadi satu. Kemudian ditumbuk hingga menjadi bubuk yang halus dan
harus dicampuri kotoran ular yang juga telah dihaluskan. Dengan
kotoran ular hasil patrian akan kuat.
Dalam sehari Ciptomartono, pembuat canting batik tulis di
Jogosuran, Solo, bisa menghasilkan 800 buah canting dengan
bantuan 7 orang pekerjanya. Harga canting batik tulis cukup
murah. Di 'pabrik' hanya Rp 45. Kalau sudah mencapai toko per
buah bisa sampai Rp 100. Hampir tiap hari berdatang an
bakul-bakul, pedagang wanita, dari Surabaya, Pekalongan dan
Yogyakarta ke rumah, sekaligus pabrik Ciptomartono di ogosuran.
Dicopet
Dari dulu bentuk canting batik tulis tidak pernah berubah.
Karena rupanya memang tak perlu diubah--seperti halnya mata
pena. Tapi untuk pemakaian yang berbeda-beda, canting batik
tulis bisa bermacam-macam: biasa, puton, lodong dan lorong.
Puton untuk membentuk titik-titik lembut. Sedang canting lodong
untuk membuat garis tebal pada kain batik.
Yan sulit bagi Ciptomartono adalah mencari kotoran ular. Untuk
itu ia harus berhubungan dengan pawang ular di Semarang,
Surabaya dan Kediri. Yang ia butuhkan hanya kotoran ulat besar.
"Ular kecil tak baik mutu kotorannya," kata Ciptomartono. Kalau
bahan solder tanpa kotoran ular, canting akan cepat bocor,
katanya pula.
Kotoran ular ia beli Rp 50 ribu tiap kg. Ia pernah pergi mencari
kotoran ular ke Surabaya. Di sana ia memperoleh 3 kg tahi
binatang melata itu. Dengan rapi ia bungkus dengan kertas koran
dan kantung plastik. Rupanya kemalangan sedang melanda dirinya.
"Di dalam bis kotoran ular dicopet orang," katanya kesal
mengingat pengalaman itu.
Di seluruh Kota Solo hanya ada 3 orang pengrajin canting. Tapi
Ciptomartono yang paling dikenal. Hal ini mungkin karena terbawa
oleh nama orang tuanya, yang juga beken sebagai pembuat canting.
Beberapa tahun silam ketika sedang laris-larisnya batik
Wonogiran, ayah 3 orang anak itu sampai kewalahan menerima
pesanan canting. Tapi setelah batik printing membanjir,
pekerjaan Cipto banyak berkurang. Padahal tiap hari ia harus
menggaji pembantunya masing-masing Rp 1.000. Berapa
penghasilannya? "Ya, cukup untuk makan dan menyekolahkan anak,"
katanya merendah. Yang pasti rumahnya terbuat dari tembok,
dihiasi pesawat radio dan televisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini