Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Canting-canting juga tersungkur

Karena serbuan batik printing, maka pesanan alat untuk membuat batik cap, terutama canting berkurang pula. suka duka para pembuat canting.

5 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI ruang seluas 5 x 6 meter terlihat beberapa orang sedang bekerja. Ada yang duduk dengan dada telanjang. Ada pula yang sambil bersila. Sesekali terdengar ketukan palu. Semua sedang asyik menekuni benda berukir terbuat dari potongan lempengan tembaga. Muzakir, 45 tahun, laki-laki berkaca mata kelahiran Karangkajen, Yogyakarta, termasuk salah seorang pembuat canting, sebuah alat untuk membuat kain batik cap. Di samping ia sebagai pekerja, Muzakir juga menjadi 'bos'para pembuat canting. Di rumahnya di Karangkajen, ayah dari 7 orang anak itu telah melakukan pekerjaannya sejak 1960. Waktu itu ia sarnpai kewalahan menerima pesanan cap. Bahkan pada tahun 1973 ia memiliki 25 orang pekerja. "Tapi sekarang tinggal 6 orang, katanya mengeluh. Terutama karena batik printing buatan pabrik makin mendesak batik tulis maupun batik cap. Apalagi sejak 2 tahun lalu beberapa perusahaan batik cap di Yogya tersungkur. Akibatnya pesanan alat untuk membuat batik cap, terutama canting, berkurang pula. Untuk mengecap selembar batik biasanya dipergunakan seperangkat canting yang terdiri dari 4 bilah, masing-masing berukuran 18 x 18 cm. Alat mengecap bermotif aneka ragam itu dikerjakan terus-menerus dalam 2 bulan. Harga jualnya Rp 90.000 komplit, tinggal pakai. Tapi bukan berarti Muzakir beruntung banyak. Canting-canting itu ia borongkan kepada anak buahnya dengan upah Rp 30.000 tiap set. Ini belum terhitung bahan-bahan seperti tembaga, timah solder dan alat penggosok lainnya yang harus disediakan Muzakir. "Keuntungan bersih paling-paling Rp 5.000," ungkap Muzakir terus terang. Tapi ia juga mengaku tidak pernah rugi. Karena pesanan dikerjakan berdasarkan order. Artinya, kalau tak ada pesanan, ia dan anak buahnya pun menganggur. Selama tak ada pesanan mereka bekerja apa saja. Seorang pembuat canting lainnya, Paidjo, 29 tahun, mengaku tidak pernah belajar khusus membuat alat membatik itu. "Dari melihat, ikut praktek, akhirnya bisa juga," kata laki-laki beranak 3 itu. Paidjo telah 13 tahun bekerja di tempat Muzakir. Ia agaknya cukup senang mempunyai kepandaian membuat canting batik. "Sebab hanya kutak-katik seperti montir radio," ucapnya tersenyum. Walaupun begitu ia sering pula merasa sedih. Karena pekerjaannya makin didesak banjirnya batik pabrik. Karena itu untuk menambah penghasilan, malam hari ia bekerja lagi sebagai penjaga malam di sebuah pabrik penyamakan kulit. Disediakan Pemesan Pekalongan sejak dulu beken sebayai gudang batik. Tentu juga sebagai peng hasil canting. Pada mulanya Pekalongan hanya membuat batik tulis. Baru pada akhir abad ke-19 daerah ini mulai mengenal batik cap. Konon kabarnya teknik pembuatan canting pertama kali ditemukan oleh para pedagang Tionghoa yang waktu itu memang menguasai sebagian besar pasaran batik. "Waktu itu perminuan dari Muangthai dan negeri sekitarnya cukup banyak," kata Wahyono, 42 tahun, seorang seniman dan perancang batik yang bermukim di kota itu. Membuat canting cap memang tidak sukar. Dengan modal ketelatenan dan sedikit bakat teknik sudah cukuplah. Terutama karena biasanya motif yang dikehendaki sudah disediakan pemesan di kertas pola. Dengan pola itu para pembuat canting cap menggunting lembaran tembaga, sesuai dengan lekuk-lekuk motif yang dikehendaki. Selanjutnya guntingan logam itu ditempa, dikikir sehingga membentuk daun, bunga, garis dan titik. Lalu masing-masing disambung dengan dipatri agar bagian yang satu tidak terlepas dari yang lain. Proses berikutnya adalah merebus motif itu dengan gondorukem, semacam getah. Akhirnya dikikir lagi dan dipoles dengan arang supaya semuanya tampak halus. Alat yang dipakai untuk membuat cap ini tidak banyak: gunting kaleng supit, tang kecil, gergaji besi dan kikir. "Kerja penuh santai dan tidak berbahaya," kata Sarmidi, laki-laki lulusan STM yang telah mempunyai seorang anak. Sebetulnya bagi Sarmidi membuat cap hanya kerja sementara, sebab ia sedang menunggu jawaban lamaran bekerja di perusahaan kontraktor bangunan. Pembuatan batik tulis juga dengan canting. Tapi dengan canting yang berbeda. Yaitu semacam sendok berbentuk cekung yang pada pucuknya diberi berlubang sebagai saluran lilin mengalir ke luar. Pada gagangnya diberi tangkai kayu. Cara membuatnya lebih sederhana. Lembaran tembaga digunting dengan lebar 5 cm dan panjang 50 cm. Untuk mendapatkan logam yang lebih tipis, tembaga ditempa berulang-ulang. Selanjutnya dipotong lebih kecil selebar 10 cm sebelum dibentuk. Dalam proses mempatrinya, tembaga dengan timah putih dilebur jadi satu. Kemudian ditumbuk hingga menjadi bubuk yang halus dan harus dicampuri kotoran ular yang juga telah dihaluskan. Dengan kotoran ular hasil patrian akan kuat. Dalam sehari Ciptomartono, pembuat canting batik tulis di Jogosuran, Solo, bisa menghasilkan 800 buah canting dengan bantuan 7 orang pekerjanya. Harga canting batik tulis cukup murah. Di 'pabrik' hanya Rp 45. Kalau sudah mencapai toko per buah bisa sampai Rp 100. Hampir tiap hari berdatang an bakul-bakul, pedagang wanita, dari Surabaya, Pekalongan dan Yogyakarta ke rumah, sekaligus pabrik Ciptomartono di ogosuran. Dicopet Dari dulu bentuk canting batik tulis tidak pernah berubah. Karena rupanya memang tak perlu diubah--seperti halnya mata pena. Tapi untuk pemakaian yang berbeda-beda, canting batik tulis bisa bermacam-macam: biasa, puton, lodong dan lorong. Puton untuk membentuk titik-titik lembut. Sedang canting lodong untuk membuat garis tebal pada kain batik. Yan sulit bagi Ciptomartono adalah mencari kotoran ular. Untuk itu ia harus berhubungan dengan pawang ular di Semarang, Surabaya dan Kediri. Yang ia butuhkan hanya kotoran ulat besar. "Ular kecil tak baik mutu kotorannya," kata Ciptomartono. Kalau bahan solder tanpa kotoran ular, canting akan cepat bocor, katanya pula. Kotoran ular ia beli Rp 50 ribu tiap kg. Ia pernah pergi mencari kotoran ular ke Surabaya. Di sana ia memperoleh 3 kg tahi binatang melata itu. Dengan rapi ia bungkus dengan kertas koran dan kantung plastik. Rupanya kemalangan sedang melanda dirinya. "Di dalam bis kotoran ular dicopet orang," katanya kesal mengingat pengalaman itu. Di seluruh Kota Solo hanya ada 3 orang pengrajin canting. Tapi Ciptomartono yang paling dikenal. Hal ini mungkin karena terbawa oleh nama orang tuanya, yang juga beken sebagai pembuat canting. Beberapa tahun silam ketika sedang laris-larisnya batik Wonogiran, ayah 3 orang anak itu sampai kewalahan menerima pesanan canting. Tapi setelah batik printing membanjir, pekerjaan Cipto banyak berkurang. Padahal tiap hari ia harus menggaji pembantunya masing-masing Rp 1.000. Berapa penghasilannya? "Ya, cukup untuk makan dan menyekolahkan anak," katanya merendah. Yang pasti rumahnya terbuat dari tembok, dihiasi pesawat radio dan televisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus