KONFLIK dalam perusahaan patungan tak cuma terjadi dalam PT
Indomilk. Beberapa saat setelah sengketa dalam perusahaan susu
PMA itu terungkap ke luar, muncul pula sengketa dalam PT
Velveteens Indonesia, patungan antara Fast India Export Company
Inc. milik Mohan Lalwani di New York, warganegara AS, (75%)
dengan Ny. Mary Advani (25%). Adapun nilai saham ketika
perusahaan patungan itu mulai beroperasi pada bulan September
1972, adalah US$ 400.000 -- sejumlah US$ 300.000 atas nama East
India. Sisanya atas nama Ny. Mary. Perusahaan tersebut khusus
memproduksikan kain beludru untuk bahan pembuat kopiah.
Keributan timbul pada akhir tahun 1979 ketika pihak asing
berniat menjual 25% dari sahamnya, agar mengikuti ketentuan dari
BKPM. Menurut Sunder Genomal, GM perusahaan Velveteens
Indonesia, Ny. Mary Advani diberi kesempatan yang cukup lama
untuk membeli saham tersebut. Tapi Ny. Mary kemudian menolaknya,
karena berpendapat jumlah yang disodorkan oleh partner asingnya
itu terlalu mahal.
"Kami menganggap Ny. Mary tak sanggup membelinya, maka kami
tawarkan saham itu kepada orang lain. Dan akhirnya pihak ketiga,
Wachju Muljadi, bersedia membeli sejumlah 80 saham seharga US$
800.000," kata Sunder Genomal.
Ny. Mary Advani rupanya tak tinggal diam, dan mengajukan
perkaranya ke pengadilan melalui pengacara Gautama. Sedang
pengacara Otto Cornelis Kaligis menjadi pembela partner asing.
Yang juga menarik adalah kasus perusahaan kayu Weyerhaeuser
dengan partner Indonesianya, PT All Truba Indah, salah satu anak
perusahaan PT Tri Usaha Bhakti, yang dulu dikenal punya Angkatan
Darat. Weyerhaeuser, perusahaan kayu raksasa yang berpusat di
Tacoma, AS, sudah memutuskan akan angkat kaki dari Indonesia
karena merasa rugi. Rupanya antara Weyerhaeuser dengan partner
Indonesianya yang kemudian bernama PT All Truba Inter telah lama
timbul ketidakcocokan, terutama soal isi perjanjian saham itu
sendiri yang baru belakangan dirasakan berat sebelah oleh pihak
All Truba (TEMPO, 10 Oktober).
Tapi ada juga yang berjalan tanpa sengketa ketika partner asing
menyatakan hendak menjual sahamnya. Itu terjadi pada PT Indo
Hinson Garment Factory, perusahaan pakaianjadi untuk ekspor di
Tanjungpriok, Jakarta.
Komposisi pemilikan sahamnya semula adalah 72% atas nama Hinson
Co. Ltd. Hongkong, dan 28% atas nama Sudirman, bekas Ketua PBSI,
dan istrinya. Sebelum sempat beroperasi timbul ketidakcocokan,
dan atas persetujuan kedua pihak, seluruh saham Sudirman dan
istri dijual kepada Abdul Halim, Letkol (Purn.), dan salah
seorang anggota Dewan Pimpinan Legiun Veteran RI. Dan Abdul
Halim, yang memang sudah lama bergerak dalam bisnis pakaian
jadi, akhirnya menguasai seluruh saham, karena pihak Hongkong
memang menyatakan ingin pergi.
Baru kemudian Abdul Halim mengetahui bahwa sesungguhnya
perusahaan Hinson sudah lama tak beroperasi di Hongkong. "Mereka
ternyata bangkrut," katanya. "Dan ini membuktikan bahwa
sesungguhnya sejak semula mereka tak punya cita-cita untuk
menanamkan modal berjangka panjang di Indonesia." Kini
perusahaan yang dipimpin perwira pensiunan itu berjalan lancar.
Atas saran BKPM pada akhir Juli 1979 perusahaan tersebut berubah
status menjadi PMDN.
Ada juga yang nampaknya berakhir dengan damai antara partner
asing dan Indonesia. Itu antara lain terjadi pada Wormal
International (Australia) yang belum lama berselang menjual
semua sahamnya kepada Bayu Santosa, partnernya. Bayu Santosa
smula adalah agen tunggal alat-alat pemadam kebakaran produksi
Australia, dan tahun 1974 diajak berpartner oleh Wormal yang
mendirikan pabrik di Surabaya. Investasi seluruhnya sekitar US$1
juta, dan Bayu pada mulanya mendapat 20% saham.
Kini setelah menguasai seluruh saham dan akan berubah status
menjadi PMDN, hubungan antara keduanya masih tetap akrab.
"Sampai sekarang kami tetap memperoleh hak pemasaran alatalat
pemadam kebakaran dan proteksi api untuk Asia Tenggara," kata
Bayu Santosa. Sejak tiga tahun ini alat-alat produksi Surabaya
itu memang sudah memperoleh pasaran di Filipina, Singapura dan
Malaysia. Sekalipun di dalam negeri ia dipaksa untuk membagi
pasar dengan merek Yamato dari Jepang.
Apakah pengalihan saham asing kepada partner Indonesia itu sudah
bisa dikatakan sebagai suatu trend (kecenderungan)? Beberapa
ahli hukum, yang mengikuti sengketa pengalihan saham dalam
perusahaan susu dan beludru PMA itu, telah dihubungi oleh TEMPO.
Pendapat mereka:
Prof. Dr. Gautama (Gouw Giok Siong), pengacara.
Munculnya kasus Indomilk dan kasus PT Velveteens Indonesia tak
bisa dijadikan ukuran adanya tren pengalihan saham dari partner
asin kepada partner Indonesia. Saya melihat itu terjadi dalam
rangka memenuhi ketentuan pemerintah. Beleid pemerintah adalah
agar dalam perusahaan patungan itu, setelah sepuluh tahun
mayoritas saham berada di pihak Indonesia.
Ketentuan dari pemerintah seperti itu wajar. Artinya, pada
bidang yang ternyata kemudian bisa ditangani sendiri oleh
partner Indonesia, ketentuan begitu memang seharusnya ada. Hanya
kalau terlalu ditekankan, modal dari luar negeri jadi
pikir-pikir dulu nantinya.
Mencari suatu penyelesaian yang adil memang bisa melalui suatu
appraisal (penilai) yang independen. Itu memang tak tercantum
dalam peraturan PMA, tapi ini beleid baru BKPM. Sebab kalau
tidak, pihak asing bisa mengajukan harga seenaknya. Sebaliknya
kalau tanpa penilai pihak Indonesia juga menginginkan harga yang
semurah-murahnya. Jadi tak bisa bertemu nantinya.
Tentang campur tangan pemerintah? BKPM punya hak untuk ikut
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh perusahaan
patungan. Sebab BKPM itu bertugas mengawasi seluruh kegiatan
penanaman modal di sini.
Nono Anwar Makarim, ari konsultan Makarim & Taira.
Pihak asing dalam suatu perusahaan patungan di Indonesia diikat
oleh tiga macam aturan main. Yang pertama adalah aturan main
yang ada dalam undang-undang. Ini menurut saya yang paling utama
di mana pun di duniai undang-undang menyatakan bahwa saham itu
adalah hak milik dari pemegangnya, dan tiada satu hal pun yang
dapat menghalang-halanginya untuk melaksanakan hak dan
kewajibannya sehubungan dengan pemilikan saham tersebut. Ini
prinsip.
Yang kedua adalah kebijaksanaan pemerintah. Di dalam perlakuan
terhadap modal asing pemerintah memberi inisiatif atau
perangsang yang tidak usah diberikan kalau yang mau diperlakukan
dalah undang-undang melulu. Di dunia ini tidak ada yang gratis.
Kalau pemerintak meMberi suatu anugerah istimewa, maka
pemerintah juga minta imbalan.
Apakah imbalan itu tidak sesuai dengan undang-undang, itu soal
kedua. Imbalan itu antara lain dalam bentuk harus mengalihkan
saham kepada partner Indonesia atau pihak nasional yang lain,
dengan persentase tertentu dari saham setelah beroperasi selama
periode tertentu.
Aturan permainan macam ketiga bersumber pada ketentuan dalam
anggaran dasar PT itu sendiri. Kalau dalam AD tak disebutkan
bahwa saham-saham harus ditawarkan terlebih duIu kepada partner
Indonesia, maka pihak asing bebas menjual kepada siapapun juga.
Kaiau dalam AD tidak ditetapkan cara untuk menentukan harga
saham apabila timbul cekcok tentang harga, maka yang berani
membeli dengan harga lebih tinggi sepatutnya diberikan hak untuk
membeli.
Tapi harus diingat: Kalau misalnya rumah senilai Rp 100 juta mau
diatur supaya dijual kepada tetangga dengan harga Rp 80 juta
tentu si pemilik rumah berontak. Di lain pihak, kalau rumah
senilai Rp 100 juta itu mau dibeli oleh saingan si tetangga
dengan harga Rp 150 juta sudah tentu semua orang curiga. Yang
penting adalah hukum, kewajaran dan fairness.
Intervensi pemerintah dalam hal-hal semacam itu hendaknya
dibatasi pada pemberian jalan agar para pihak menyerahkan
sengketa kepada wasit-wasit yang ahli dan obyektif dalam
penentuan nilai saham. Janganlah timbul kebudayaan "napsu
keroyok". Itu merugikan nama baik partner Indonesia, nama baik
pemerintah Indonesia dan nama baik dunia bisnis di Indonesia.
Orang bisnis itu biasanya tidak emosional. Semuanya ada
perhitungan. Kalau masih ada keuntungan yang lumayan, ya mereka
akan tetap bertahan. Tapi kalau sudah habis diperas, tentu akan
angkat kaki. Kalau ada beberapa investor asing yang mau angkat
kaki hendaknya jangan dianggap trend. Beberapa pengusaha angkat
kaki disebabkan oleh sikap ekstrim baik di pihak asingnya maupun
di pihak Indonesianya.
Di pihak asing ekstremitas itu mengambil bentuk kekakuan sikap
yang menjengkelkan semua pihak. Kekakuan ini tidak hanya
menyangkut masalah pengalihan saham, tapi juga masalah
manajemen, masalah bagi hasil, masalah buruh dan masalah
hubungan dengan partner Indonesia. Di pihak Indonesia
ekstremitas tersebut berbentuk keyakinan bahwa nasionalisme
diukur dari seberapa jauh pihak asing bisa diperas, dan dalam
pandangan bahwa setiap gerak pihak asing berlatar belakang
keinginan membodohi dan mengeksploatasi pihak Indonesia.
Yang penting adalah, apa pun kebijaksanaan pemerintah, ia harus
sudah dapat diperhitungkan sejak sebelum menanam modal. lni
namanya kepastian. Tanpa kepastian penanam modal tak mau ambil
risiko.
Tentang intervensi pemerintah? Yang terbaik tentunya tak usah
intervensi. Seluruh beleid Indonesianisasi itu sendiri harus
disadari kembali tujuannya. Jangan sampai dikesankan bahwa ia
adalah nasionalisasi oleh swasta dengan bantuan pemerintah.
Otto Cornelis Kaligis, pengacara.
Tindakan BKPM ikut campur dalam kasus Indomilk dan Velveteens,
berarti BKPM tidak menaati apa yang telah ditaati oleh kedua
pihak dalam perusahaan patungan. Setiap usaha patungan bukanlah
sesuatu yang berdasarkan perjanjian antara BKPM dengan penanam
modal. Fungsi BKPM di sini hanyalah mengawasi.
Jika hak membeli pertama telah diberikan kepada partner
Indonesia, dan yang memperoleh hak tersebut tak
mempergunakannya, maka kita harus kembali pada asas Contract
Vrijheid (Kebebasan untuk berkontrak) seperti tercantum dalam
pasal-pasal KUUH Perdata. Yaitu yang mengatur kebebasan dalam
hal membuat perjanjian.
Berdasarkan asas ini berarti pihak ketiga, termasuk pemerintah
dan aparatur-aparaturnya, tidak dapat campur tangan terhadap
suatu kontrak yang sudah dibuat oleh kedua pihak (asing dan
Indonesia) Misalnya memaksakan agar salah satu pihak melakukan
tindakan yang tidak tercantum dalam perjanjian dasar.
Sedang ketentuan untuk memakai penilai, sesuai dengan SK Menteri
Keuangan No. 1677 tahun 1976, hanya dikenakan kepada PMA yang
ingin memasyarakatkan sahamnya (go public).
Saya khawatir kalau dalam kasus Indomilk dan Velveteens ini
pemerintah salah langkah, efeknya bisa menimbulkan tanda tanya
bagi calon investor asing. Sebaiknya untuk mencari obyektivitas
nilai saham, digunakan sistem tender. Ini sekaligus akan
menghindarkan kesan pihak ketiga yang hendak membeli saham itu
dianggap sebagai orangnya pihak asing sendiri.
Gregory Churchill J.D. dari Pusat Dokumentasi Hukum FH-UI
Timbulnya kasus seperti Indomilk menunjukkan semua perusahaan
yang dibentuk sebagai PMA berada di bawah pembinaan BKPM. Jadi
tidak merupakan dunia svasta sebenarnya, tapi merupakan
perusahaan yang diarahkan BKPM. Ini agaknya kurang disadari
banyak orang. Dan keadaan ini saya kira perlu diperjelas.
Selama ini BKPM dianggap sebagai lembaga yang secara formal
mengurus modal asing masuk ke Indonesia. Tak pernah mereka
pikirkan bahwa dunia usaha PMA di Indonesia adalah sesuatu yang
khusus.
Harus diakui dunia usaha di Indonesia melayani berbagai
kepentingan: menciptakan dunia usaha yang sehat dan berbagai
kepentingan lain, seperti masalah tenaga kerja, penghasil
devisa, sekaligus membina wiraswasta dan modal dalam negeri.
Jadi banyak kepentingan yang membonceng pada penanaman modal.
Saya sendiri merasa sulit untuk menilai apakah beleid pemerintah
sekarang itu baik atau tidak.
Tapi dasar kebijaksanaan pemerintah adalah GBHN. Itu berarti
pemerintah bisa dan punya wewenang ikut campur dalam kegiatan
perekonomian nasional. Hendaknya peraturan-peraturan baru itu
tidak bertentangan dengan yang lama yang sudah berjalan. Yang
menimbulkan masalah biasanya adalah peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal atau lembaga seperti BKPM
yang status hukumnya lebih rendah dari undang-undang yang ada.
ADA contoh yang kini sedang dia bicarakan: Keppres No. 30 tahun
1981 yang menentukan wewenang BKPM. Semua departemen yang
mempunyai wewenang dalam bidang penanaman modal harus
melimpahkan wewenangnya kepada BK PM. Padahal wewenang
departemen itu atas dasar UU Penanaman Modal. Pihak yang tak
setuju menyatakan bahwa UU tak bisa dilangkahi dengan Keppres.
Pihak lain menyatakan ini bisa, karena hakekatnya seorang
Menteri itu adalah pembantu Presiden. Jadi mereka berada dalam
wewenang Presiden. Menurut saya yang terakhir ini kok lebih
realistis.
Dalam kasus Indomilk, kalau pihak ADC terbukti sengaja bermaksud
meniadakan hak Marison untuk membeli saham itu --yaitu dengan
sengaja menawarkan hara tinggi -- maka Marison berhak pula
menolaknya. Kenyataannya mereka pergi ke BKPM membawa masalah
jual beli itu. Tapi sebaliknya ADC juga berhak menentukan harga.
Dan hak itu menjadi lebih berdasar karena ada pihak ketiga yang
bersedia membayar harga yang ditawarkan itu.
Ketentuan Indonesianisasi yang baru dari BKPM bisa menimbulkan
kekhawatiran bahwa pelengkap hukum di Indonesia banyak yang
masih kabur. Yang pasti bisa diubah atau diganti dengan yang
baru, setiap saat. Ini bisa menimbulkan kesan, kalau ingin tanam
modal di Indonesia harus cepat cari keuntungan. Karena hanya
tersedia waktu sedikit untuk itu. Kalau benar demikian, ini sama
saja dengan memanggil perampok. Bukan mengajak masuk mereka yang
mau memikirkan yang jangka panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini