Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Partner indonesia & asing ...

Pengalihan saham asing kepada partner indonesia, ada yang berjalan lancar & ada juga terjadi sengketa pendapat beberapa ahli hukum tentang sengketa pengalihan saham asing kepada partner indonesia. (eb)

5 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONFLIK dalam perusahaan patungan tak cuma terjadi dalam PT Indomilk. Beberapa saat setelah sengketa dalam perusahaan susu PMA itu terungkap ke luar, muncul pula sengketa dalam PT Velveteens Indonesia, patungan antara Fast India Export Company Inc. milik Mohan Lalwani di New York, warganegara AS, (75%) dengan Ny. Mary Advani (25%). Adapun nilai saham ketika perusahaan patungan itu mulai beroperasi pada bulan September 1972, adalah US$ 400.000 -- sejumlah US$ 300.000 atas nama East India. Sisanya atas nama Ny. Mary. Perusahaan tersebut khusus memproduksikan kain beludru untuk bahan pembuat kopiah. Keributan timbul pada akhir tahun 1979 ketika pihak asing berniat menjual 25% dari sahamnya, agar mengikuti ketentuan dari BKPM. Menurut Sunder Genomal, GM perusahaan Velveteens Indonesia, Ny. Mary Advani diberi kesempatan yang cukup lama untuk membeli saham tersebut. Tapi Ny. Mary kemudian menolaknya, karena berpendapat jumlah yang disodorkan oleh partner asingnya itu terlalu mahal. "Kami menganggap Ny. Mary tak sanggup membelinya, maka kami tawarkan saham itu kepada orang lain. Dan akhirnya pihak ketiga, Wachju Muljadi, bersedia membeli sejumlah 80 saham seharga US$ 800.000," kata Sunder Genomal. Ny. Mary Advani rupanya tak tinggal diam, dan mengajukan perkaranya ke pengadilan melalui pengacara Gautama. Sedang pengacara Otto Cornelis Kaligis menjadi pembela partner asing. Yang juga menarik adalah kasus perusahaan kayu Weyerhaeuser dengan partner Indonesianya, PT All Truba Indah, salah satu anak perusahaan PT Tri Usaha Bhakti, yang dulu dikenal punya Angkatan Darat. Weyerhaeuser, perusahaan kayu raksasa yang berpusat di Tacoma, AS, sudah memutuskan akan angkat kaki dari Indonesia karena merasa rugi. Rupanya antara Weyerhaeuser dengan partner Indonesianya yang kemudian bernama PT All Truba Inter telah lama timbul ketidakcocokan, terutama soal isi perjanjian saham itu sendiri yang baru belakangan dirasakan berat sebelah oleh pihak All Truba (TEMPO, 10 Oktober). Tapi ada juga yang berjalan tanpa sengketa ketika partner asing menyatakan hendak menjual sahamnya. Itu terjadi pada PT Indo Hinson Garment Factory, perusahaan pakaianjadi untuk ekspor di Tanjungpriok, Jakarta. Komposisi pemilikan sahamnya semula adalah 72% atas nama Hinson Co. Ltd. Hongkong, dan 28% atas nama Sudirman, bekas Ketua PBSI, dan istrinya. Sebelum sempat beroperasi timbul ketidakcocokan, dan atas persetujuan kedua pihak, seluruh saham Sudirman dan istri dijual kepada Abdul Halim, Letkol (Purn.), dan salah seorang anggota Dewan Pimpinan Legiun Veteran RI. Dan Abdul Halim, yang memang sudah lama bergerak dalam bisnis pakaian jadi, akhirnya menguasai seluruh saham, karena pihak Hongkong memang menyatakan ingin pergi. Baru kemudian Abdul Halim mengetahui bahwa sesungguhnya perusahaan Hinson sudah lama tak beroperasi di Hongkong. "Mereka ternyata bangkrut," katanya. "Dan ini membuktikan bahwa sesungguhnya sejak semula mereka tak punya cita-cita untuk menanamkan modal berjangka panjang di Indonesia." Kini perusahaan yang dipimpin perwira pensiunan itu berjalan lancar. Atas saran BKPM pada akhir Juli 1979 perusahaan tersebut berubah status menjadi PMDN. Ada juga yang nampaknya berakhir dengan damai antara partner asing dan Indonesia. Itu antara lain terjadi pada Wormal International (Australia) yang belum lama berselang menjual semua sahamnya kepada Bayu Santosa, partnernya. Bayu Santosa smula adalah agen tunggal alat-alat pemadam kebakaran produksi Australia, dan tahun 1974 diajak berpartner oleh Wormal yang mendirikan pabrik di Surabaya. Investasi seluruhnya sekitar US$1 juta, dan Bayu pada mulanya mendapat 20% saham. Kini setelah menguasai seluruh saham dan akan berubah status menjadi PMDN, hubungan antara keduanya masih tetap akrab. "Sampai sekarang kami tetap memperoleh hak pemasaran alatalat pemadam kebakaran dan proteksi api untuk Asia Tenggara," kata Bayu Santosa. Sejak tiga tahun ini alat-alat produksi Surabaya itu memang sudah memperoleh pasaran di Filipina, Singapura dan Malaysia. Sekalipun di dalam negeri ia dipaksa untuk membagi pasar dengan merek Yamato dari Jepang. Apakah pengalihan saham asing kepada partner Indonesia itu sudah bisa dikatakan sebagai suatu trend (kecenderungan)? Beberapa ahli hukum, yang mengikuti sengketa pengalihan saham dalam perusahaan susu dan beludru PMA itu, telah dihubungi oleh TEMPO. Pendapat mereka: Prof. Dr. Gautama (Gouw Giok Siong), pengacara. Munculnya kasus Indomilk dan kasus PT Velveteens Indonesia tak bisa dijadikan ukuran adanya tren pengalihan saham dari partner asin kepada partner Indonesia. Saya melihat itu terjadi dalam rangka memenuhi ketentuan pemerintah. Beleid pemerintah adalah agar dalam perusahaan patungan itu, setelah sepuluh tahun mayoritas saham berada di pihak Indonesia. Ketentuan dari pemerintah seperti itu wajar. Artinya, pada bidang yang ternyata kemudian bisa ditangani sendiri oleh partner Indonesia, ketentuan begitu memang seharusnya ada. Hanya kalau terlalu ditekankan, modal dari luar negeri jadi pikir-pikir dulu nantinya. Mencari suatu penyelesaian yang adil memang bisa melalui suatu appraisal (penilai) yang independen. Itu memang tak tercantum dalam peraturan PMA, tapi ini beleid baru BKPM. Sebab kalau tidak, pihak asing bisa mengajukan harga seenaknya. Sebaliknya kalau tanpa penilai pihak Indonesia juga menginginkan harga yang semurah-murahnya. Jadi tak bisa bertemu nantinya. Tentang campur tangan pemerintah? BKPM punya hak untuk ikut menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh perusahaan patungan. Sebab BKPM itu bertugas mengawasi seluruh kegiatan penanaman modal di sini. Nono Anwar Makarim, ari konsultan Makarim & Taira. Pihak asing dalam suatu perusahaan patungan di Indonesia diikat oleh tiga macam aturan main. Yang pertama adalah aturan main yang ada dalam undang-undang. Ini menurut saya yang paling utama di mana pun di duniai undang-undang menyatakan bahwa saham itu adalah hak milik dari pemegangnya, dan tiada satu hal pun yang dapat menghalang-halanginya untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sehubungan dengan pemilikan saham tersebut. Ini prinsip. Yang kedua adalah kebijaksanaan pemerintah. Di dalam perlakuan terhadap modal asing pemerintah memberi inisiatif atau perangsang yang tidak usah diberikan kalau yang mau diperlakukan dalah undang-undang melulu. Di dunia ini tidak ada yang gratis. Kalau pemerintak meMberi suatu anugerah istimewa, maka pemerintah juga minta imbalan. Apakah imbalan itu tidak sesuai dengan undang-undang, itu soal kedua. Imbalan itu antara lain dalam bentuk harus mengalihkan saham kepada partner Indonesia atau pihak nasional yang lain, dengan persentase tertentu dari saham setelah beroperasi selama periode tertentu. Aturan permainan macam ketiga bersumber pada ketentuan dalam anggaran dasar PT itu sendiri. Kalau dalam AD tak disebutkan bahwa saham-saham harus ditawarkan terlebih duIu kepada partner Indonesia, maka pihak asing bebas menjual kepada siapapun juga. Kaiau dalam AD tidak ditetapkan cara untuk menentukan harga saham apabila timbul cekcok tentang harga, maka yang berani membeli dengan harga lebih tinggi sepatutnya diberikan hak untuk membeli. Tapi harus diingat: Kalau misalnya rumah senilai Rp 100 juta mau diatur supaya dijual kepada tetangga dengan harga Rp 80 juta tentu si pemilik rumah berontak. Di lain pihak, kalau rumah senilai Rp 100 juta itu mau dibeli oleh saingan si tetangga dengan harga Rp 150 juta sudah tentu semua orang curiga. Yang penting adalah hukum, kewajaran dan fairness. Intervensi pemerintah dalam hal-hal semacam itu hendaknya dibatasi pada pemberian jalan agar para pihak menyerahkan sengketa kepada wasit-wasit yang ahli dan obyektif dalam penentuan nilai saham. Janganlah timbul kebudayaan "napsu keroyok". Itu merugikan nama baik partner Indonesia, nama baik pemerintah Indonesia dan nama baik dunia bisnis di Indonesia. Orang bisnis itu biasanya tidak emosional. Semuanya ada perhitungan. Kalau masih ada keuntungan yang lumayan, ya mereka akan tetap bertahan. Tapi kalau sudah habis diperas, tentu akan angkat kaki. Kalau ada beberapa investor asing yang mau angkat kaki hendaknya jangan dianggap trend. Beberapa pengusaha angkat kaki disebabkan oleh sikap ekstrim baik di pihak asingnya maupun di pihak Indonesianya. Di pihak asing ekstremitas itu mengambil bentuk kekakuan sikap yang menjengkelkan semua pihak. Kekakuan ini tidak hanya menyangkut masalah pengalihan saham, tapi juga masalah manajemen, masalah bagi hasil, masalah buruh dan masalah hubungan dengan partner Indonesia. Di pihak Indonesia ekstremitas tersebut berbentuk keyakinan bahwa nasionalisme diukur dari seberapa jauh pihak asing bisa diperas, dan dalam pandangan bahwa setiap gerak pihak asing berlatar belakang keinginan membodohi dan mengeksploatasi pihak Indonesia. Yang penting adalah, apa pun kebijaksanaan pemerintah, ia harus sudah dapat diperhitungkan sejak sebelum menanam modal. lni namanya kepastian. Tanpa kepastian penanam modal tak mau ambil risiko. Tentang intervensi pemerintah? Yang terbaik tentunya tak usah intervensi. Seluruh beleid Indonesianisasi itu sendiri harus disadari kembali tujuannya. Jangan sampai dikesankan bahwa ia adalah nasionalisasi oleh swasta dengan bantuan pemerintah. Otto Cornelis Kaligis, pengacara. Tindakan BKPM ikut campur dalam kasus Indomilk dan Velveteens, berarti BKPM tidak menaati apa yang telah ditaati oleh kedua pihak dalam perusahaan patungan. Setiap usaha patungan bukanlah sesuatu yang berdasarkan perjanjian antara BKPM dengan penanam modal. Fungsi BKPM di sini hanyalah mengawasi. Jika hak membeli pertama telah diberikan kepada partner Indonesia, dan yang memperoleh hak tersebut tak mempergunakannya, maka kita harus kembali pada asas Contract Vrijheid (Kebebasan untuk berkontrak) seperti tercantum dalam pasal-pasal KUUH Perdata. Yaitu yang mengatur kebebasan dalam hal membuat perjanjian. Berdasarkan asas ini berarti pihak ketiga, termasuk pemerintah dan aparatur-aparaturnya, tidak dapat campur tangan terhadap suatu kontrak yang sudah dibuat oleh kedua pihak (asing dan Indonesia) Misalnya memaksakan agar salah satu pihak melakukan tindakan yang tidak tercantum dalam perjanjian dasar. Sedang ketentuan untuk memakai penilai, sesuai dengan SK Menteri Keuangan No. 1677 tahun 1976, hanya dikenakan kepada PMA yang ingin memasyarakatkan sahamnya (go public). Saya khawatir kalau dalam kasus Indomilk dan Velveteens ini pemerintah salah langkah, efeknya bisa menimbulkan tanda tanya bagi calon investor asing. Sebaiknya untuk mencari obyektivitas nilai saham, digunakan sistem tender. Ini sekaligus akan menghindarkan kesan pihak ketiga yang hendak membeli saham itu dianggap sebagai orangnya pihak asing sendiri. Gregory Churchill J.D. dari Pusat Dokumentasi Hukum FH-UI Timbulnya kasus seperti Indomilk menunjukkan semua perusahaan yang dibentuk sebagai PMA berada di bawah pembinaan BKPM. Jadi tidak merupakan dunia svasta sebenarnya, tapi merupakan perusahaan yang diarahkan BKPM. Ini agaknya kurang disadari banyak orang. Dan keadaan ini saya kira perlu diperjelas. Selama ini BKPM dianggap sebagai lembaga yang secara formal mengurus modal asing masuk ke Indonesia. Tak pernah mereka pikirkan bahwa dunia usaha PMA di Indonesia adalah sesuatu yang khusus. Harus diakui dunia usaha di Indonesia melayani berbagai kepentingan: menciptakan dunia usaha yang sehat dan berbagai kepentingan lain, seperti masalah tenaga kerja, penghasil devisa, sekaligus membina wiraswasta dan modal dalam negeri. Jadi banyak kepentingan yang membonceng pada penanaman modal. Saya sendiri merasa sulit untuk menilai apakah beleid pemerintah sekarang itu baik atau tidak. Tapi dasar kebijaksanaan pemerintah adalah GBHN. Itu berarti pemerintah bisa dan punya wewenang ikut campur dalam kegiatan perekonomian nasional. Hendaknya peraturan-peraturan baru itu tidak bertentangan dengan yang lama yang sudah berjalan. Yang menimbulkan masalah biasanya adalah peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal atau lembaga seperti BKPM yang status hukumnya lebih rendah dari undang-undang yang ada. ADA contoh yang kini sedang dia bicarakan: Keppres No. 30 tahun 1981 yang menentukan wewenang BKPM. Semua departemen yang mempunyai wewenang dalam bidang penanaman modal harus melimpahkan wewenangnya kepada BK PM. Padahal wewenang departemen itu atas dasar UU Penanaman Modal. Pihak yang tak setuju menyatakan bahwa UU tak bisa dilangkahi dengan Keppres. Pihak lain menyatakan ini bisa, karena hakekatnya seorang Menteri itu adalah pembantu Presiden. Jadi mereka berada dalam wewenang Presiden. Menurut saya yang terakhir ini kok lebih realistis. Dalam kasus Indomilk, kalau pihak ADC terbukti sengaja bermaksud meniadakan hak Marison untuk membeli saham itu --yaitu dengan sengaja menawarkan hara tinggi -- maka Marison berhak pula menolaknya. Kenyataannya mereka pergi ke BKPM membawa masalah jual beli itu. Tapi sebaliknya ADC juga berhak menentukan harga. Dan hak itu menjadi lebih berdasar karena ada pihak ketiga yang bersedia membayar harga yang ditawarkan itu. Ketentuan Indonesianisasi yang baru dari BKPM bisa menimbulkan kekhawatiran bahwa pelengkap hukum di Indonesia banyak yang masih kabur. Yang pasti bisa diubah atau diganti dengan yang baru, setiap saat. Ini bisa menimbulkan kesan, kalau ingin tanam modal di Indonesia harus cepat cari keuntungan. Karena hanya tersedia waktu sedikit untuk itu. Kalau benar demikian, ini sama saja dengan memanggil perampok. Bukan mengajak masuk mereka yang mau memikirkan yang jangka panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus