Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Cara lama untuk kb

Peranan obat tradisional untuk kb dibicarakan pada kongres obat-obatan tradisional se asia, di seoul, korea selatan. indonesia sudah lebih dulu mengenal beberapa jenis tanaman untuk kb. (ksh)

10 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH konperensi mengenai obat-obatan tradisionil se Asia akhir Agustus berlangsung di Seoul, Korea Selatan. Peranan obat-obatan yang bahan bakunya murni dipetik dari alam ini ada yang berkhasiat untuk menjarangkan angka kelahiran anak. Ada juga yang belguna untuk menolong mereka yang belum dianugerahi anak dalam perkawinan yang sudah cukup lama. Peranan obat tradisionil untuk KB dibicarakan dalam pertemuan tersebut. Indonesia juga ikut menyumbangkan buah Pikiran. Beberapa daerah di Indonesia, seperti Irian Jaya, Jawa Barat dan beberapa daerah lainnya mengenal beberapa jenis tanaman yang bisa menjarangkan lahirnya anak. Ambil contoh dari daerah Jawa Barat. Penduduk Tasikmalaya, seperti kata drs Zainal Alim, "sudah sejak zaman nenek moyang mereka faham benar bagairnana cara menjarangkan kelahiran dengan menggunakan ramuan tradisionil. Hingga rata-rata orang Ciampana Tasikmalaya hanya punya 3 orang anak saja." Zainal adalah Ketua Jurusan Farmasi FIPPA Universitas Pajajaran Bandung yang ikut mempersiapkan bahan untuk delegasi Indonesia ke pertemuan Seoul tersebut. Zainal juga menemukan hal yang sama ada orang-orang Buahdua Sumedang serta di Margacinta, Cijulang Ciamis Selatan. "Hanya bahan yang mereka pergunakan sebagai obat menjarangkan kelahiran itu tidak sama," katanya. Buahdua, umumnya dipergunakan buah cariu, sejenis polongan besar yang merambat di hutan-hutan. Dulu, cariu ini termasuk salah satu kacang-kacangan yang harus terdapat pada hidangan pahinuman, yakni semacam hidangan terdiri dari berbagai kacang-kacangan serta diberikan kepada seorang ibu, 40 hari setelah ia melahirkan anaknya. Kacang-kacangan itu sendiri dimaksudkan sebagai pengganti gizi makanan lain yang dianggap tabu bagi seorang ibu. Tapi tampaknya secara tidak langsung cariu itu bertujuan menjarangkan kelahiran. Sayang, pahinuman itu sekarang hampir tidak ada lagi. Bahkan buah cariu itu sendiri sudah sangat sukar didapat. Dilarang Dokter Orang Margacinta di Ciamis Selatan ternyata tidak mengenal cariu. Untuk menjarangkan kelahiran, mereka menggunakan jantung pisang Ambon yang ternyata berbeda dengan pisang Ambon di tempat lain. "Jantung itu dipepes sampai layu," kata Zainal yang pernah datang ke sana. Kemudian diperas, diambil airnya. Sementara ampasnya dipakai sebagai "poko" pada perut, maka airnya diminum aleh perempuan yang baru melahirkan. "Tapi ada batasnya," kata Zainal, "sebab kalau diminum terus-terusan melewati waktu yang ditentukan, yang minumnya tidak akan punya anak lagi." Menurut catatan drs Sidik yang sekarang menjadi Kepala Laboratorium Fitokimia pada jurusan Farmasi FIPPA Unpad, ada sekitar 2000 tanaman yang punya potensi sebagai obat. Sidik bersama yang lain sedang menulis Buku "Materia Medika Indonesia" sebanyak 7 jilid dan akan diterbitkan oleh Depkes. "Tapi dalam buku itu baru akan dicantumkan sekitar 200 macam tanaman saja" tambahnya. Ia yang ikut berangkat ke Seoul pernah pula meneliti pembikinan jamu di beberapa pabrik. "Yang sedang kami kumpulkan sekarang ini adalah data-data obat tradisionil itu" kata Sidik, "sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah." "Obat asli Indonesia lebih dekat dengan rakyat ketimbang dengan para medisi atau ahli-ahli farmasi," urainya. Karena itu, kendati khasiat jamu itu sendiri sudah dikenal orang, banyak juga dokter yang tidak menganjurkannya, atau bahkan melarangnya. "Alasannya memang ada," kata Sidik. Dalam simposium obat tradisionil di Semarang tahun lalu misalnya, dikemukakan bahwa "jamu itu positif mengandung jamur." Hanya sampai di mana bahayanya jamur tersebut, belum dipersoalkan. Kurang Penelitian Kendati diketahui proses pembuatan jamu sampai sekarang masih tidak terkontrol, tapi Sidik mencatat bahwa produksi jamu ternyata tidak kecil. Perusahaan Air Mancur saja memerlukan 5 ton bahan setiap bulan terdiri dari 150 macam tanaman. Sementara Nyonya Meneer juga memerlukan bahan sebanyak itu, kendati macamnya hanya 100 saja. "Dengan kapasitas pabrik sebesar itu," kata Sidik, "bisa dibayangkan bagaimana sulitnya dilakukan kontrol." Padahal dari mulai ditanam, dipupuk sampai kemudian dipetik sebagai bahan ramuan obat, ada ketentuannya. Karena pabrik mendapatkan bahan dari tengkulak, maka terjadilah semacam perburuan liar terhadap tanaman obat, di mana tengkulak membeli dari rakyat, dan rakyatlah yang akhirnya mencari tanaman tersebut demi uang. "Tanaman purwoceng yang dulu banyak tumbuh di dataran tinggi Dieng," kata Sidik "sekarang tidak ada lagi." Purwoceng atau pimpinella alpina molk ini ternyata mengandung khasiat tonika karena mengandung zat-zat turunan kumorin, bahkan akarnya sering pula dipergunakan sebagai bahan rokok. Ternyata, orang hanya bernafsu membabatnya saja sementara tak seorang pun yang mau menanamnya. "Kalau begitu terus, lama-lama tanaman obat kita akan habis," kata Sidik. Kelestarian lingkungan jadi terancam. Sidik, yang sepulangnya nanti dari Seoul akan mampir pula ke Tokyo dan Paipei, berharap akan memperoleh tamhahan pengalaman dari ahli-ahli di sana terutama dalam masalah obat-obat tradisionil Cina. Kendati untuk itu dia akan menemukan kesulitan. "Karena mereka memakai nama sendiri untuk tiap tanaman," ujarnya. "Selain itu obat-obat asli Cina banyak menggunakan binatang," sambungnya lagi. Di Indonesia tanamanlah yang banyak dipakai. Tapi, sekarang ini baru satuua macam saja yang berhasil diteliti. Antara lain kumis kucing dan sambiloto. Sambiloto ini dapat menurunkan kadar gula, tapi ada pula efek sampingannya: gigi bisa rontok. Masih banyak yang belum terungkapkan dari obat-obat asli, sedang penelitian masih terlalu sedikit. Agaknya karena sudah tersedianya dalam jumlah banyak obat obat kimiawi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus