SEBUAH konperensi mengenai obat-obatan tradisionil se Asia akhir
Agustus berlangsung di Seoul, Korea Selatan. Peranan obat-obatan
yang bahan bakunya murni dipetik dari alam ini ada yang
berkhasiat untuk menjarangkan angka kelahiran anak. Ada juga
yang belguna untuk menolong mereka yang belum dianugerahi anak
dalam perkawinan yang sudah cukup lama. Peranan obat tradisionil
untuk KB dibicarakan dalam pertemuan tersebut. Indonesia juga
ikut menyumbangkan buah Pikiran.
Beberapa daerah di Indonesia, seperti Irian Jaya, Jawa Barat dan
beberapa daerah lainnya mengenal beberapa jenis tanaman yang
bisa menjarangkan lahirnya anak. Ambil contoh dari daerah Jawa
Barat. Penduduk Tasikmalaya, seperti kata drs Zainal Alim,
"sudah sejak zaman nenek moyang mereka faham benar bagairnana
cara menjarangkan kelahiran dengan menggunakan ramuan
tradisionil. Hingga rata-rata orang Ciampana Tasikmalaya hanya
punya 3 orang anak saja." Zainal adalah Ketua Jurusan Farmasi
FIPPA Universitas Pajajaran Bandung yang ikut mempersiapkan
bahan untuk delegasi Indonesia ke pertemuan Seoul tersebut.
Zainal juga menemukan hal yang sama ada orang-orang Buahdua
Sumedang serta di Margacinta, Cijulang Ciamis Selatan. "Hanya
bahan yang mereka pergunakan sebagai obat menjarangkan kelahiran
itu tidak sama," katanya. Buahdua, umumnya dipergunakan buah
cariu, sejenis polongan besar yang merambat di hutan-hutan.
Dulu, cariu ini termasuk salah satu kacang-kacangan yang harus
terdapat pada hidangan pahinuman, yakni semacam hidangan terdiri
dari berbagai kacang-kacangan serta diberikan kepada seorang
ibu, 40 hari setelah ia melahirkan anaknya. Kacang-kacangan itu
sendiri dimaksudkan sebagai pengganti gizi makanan lain yang
dianggap tabu bagi seorang ibu. Tapi tampaknya secara tidak
langsung cariu itu bertujuan menjarangkan kelahiran. Sayang,
pahinuman itu sekarang hampir tidak ada lagi. Bahkan buah cariu
itu sendiri sudah sangat sukar didapat.
Dilarang Dokter
Orang Margacinta di Ciamis Selatan ternyata tidak mengenal
cariu. Untuk menjarangkan kelahiran, mereka menggunakan jantung
pisang Ambon yang ternyata berbeda dengan pisang Ambon di tempat
lain. "Jantung itu dipepes sampai layu," kata Zainal yang pernah
datang ke sana. Kemudian diperas, diambil airnya. Sementara
ampasnya dipakai sebagai "poko" pada perut, maka airnya diminum
aleh perempuan yang baru melahirkan. "Tapi ada batasnya," kata
Zainal, "sebab kalau diminum terus-terusan melewati waktu yang
ditentukan, yang minumnya tidak akan punya anak lagi."
Menurut catatan drs Sidik yang sekarang menjadi Kepala
Laboratorium Fitokimia pada jurusan Farmasi FIPPA Unpad, ada
sekitar 2000 tanaman yang punya potensi sebagai obat. Sidik
bersama yang lain sedang menulis Buku "Materia Medika Indonesia"
sebanyak 7 jilid dan akan diterbitkan oleh Depkes. "Tapi dalam
buku itu baru akan dicantumkan sekitar 200 macam tanaman saja"
tambahnya. Ia yang ikut berangkat ke Seoul pernah pula meneliti
pembikinan jamu di beberapa pabrik. "Yang sedang kami kumpulkan
sekarang ini adalah data-data obat tradisionil itu" kata Sidik,
"sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah." "Obat asli
Indonesia lebih dekat dengan rakyat ketimbang dengan para medisi
atau ahli-ahli farmasi," urainya. Karena itu, kendati khasiat
jamu itu sendiri sudah dikenal orang, banyak juga dokter yang
tidak menganjurkannya, atau bahkan melarangnya. "Alasannya
memang ada," kata Sidik. Dalam simposium obat tradisionil di
Semarang tahun lalu misalnya, dikemukakan bahwa "jamu itu
positif mengandung jamur." Hanya sampai di mana bahayanya jamur
tersebut, belum dipersoalkan.
Kurang Penelitian
Kendati diketahui proses pembuatan jamu sampai sekarang masih
tidak terkontrol, tapi Sidik mencatat bahwa produksi jamu
ternyata tidak kecil. Perusahaan Air Mancur saja memerlukan 5
ton bahan setiap bulan terdiri dari 150 macam tanaman. Sementara
Nyonya Meneer juga memerlukan bahan sebanyak itu, kendati
macamnya hanya 100 saja. "Dengan kapasitas pabrik sebesar itu,"
kata Sidik, "bisa dibayangkan bagaimana sulitnya dilakukan
kontrol." Padahal dari mulai ditanam, dipupuk sampai kemudian
dipetik sebagai bahan ramuan obat, ada ketentuannya.
Karena pabrik mendapatkan bahan dari tengkulak, maka terjadilah
semacam perburuan liar terhadap tanaman obat, di mana tengkulak
membeli dari rakyat, dan rakyatlah yang akhirnya mencari tanaman
tersebut demi uang. "Tanaman purwoceng yang dulu banyak tumbuh
di dataran tinggi Dieng," kata Sidik "sekarang tidak ada lagi."
Purwoceng atau pimpinella alpina molk ini ternyata mengandung
khasiat tonika karena mengandung zat-zat turunan kumorin, bahkan
akarnya sering pula dipergunakan sebagai bahan rokok. Ternyata,
orang hanya bernafsu membabatnya saja sementara tak seorang pun
yang mau menanamnya. "Kalau begitu terus, lama-lama tanaman
obat kita akan habis," kata Sidik. Kelestarian lingkungan jadi
terancam.
Sidik, yang sepulangnya nanti dari Seoul akan mampir pula ke
Tokyo dan Paipei, berharap akan memperoleh tamhahan pengalaman
dari ahli-ahli di sana terutama dalam masalah obat-obat
tradisionil Cina. Kendati untuk itu dia akan menemukan
kesulitan. "Karena mereka memakai nama sendiri untuk tiap
tanaman," ujarnya. "Selain itu obat-obat asli Cina banyak
menggunakan binatang," sambungnya lagi. Di Indonesia tanamanlah
yang banyak dipakai. Tapi, sekarang ini baru satuua macam saja
yang berhasil diteliti. Antara lain kumis kucing dan sambiloto.
Sambiloto ini dapat menurunkan kadar gula, tapi ada pula efek
sampingannya: gigi bisa rontok.
Masih banyak yang belum terungkapkan dari obat-obat asli, sedang
penelitian masih terlalu sedikit. Agaknya karena sudah
tersedianya dalam jumlah banyak obat obat kimiawi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini