Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Cerdas Berkat Ujung Terakhir

Asupan makanan mengandung asam lemak tak jenuh amat perlu untuk perkembangan otak anak. Banyak terdapat dalam ASI dan ikan.

11 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sungguh Chadijah, 30 tahun, seorang ibu sungguhan. Setiap hari ia rajin membeli satu kilogram ikan untuk santapan keluarga. Lauk itu terutama digemari Azka Mazaya, anaknya yang baru berusia 3 tahun 10 bulan. Sang anak bisa melahap setengah kilogram ikan dalam sehari. "Kalau pakai ikan, makannya pasti banyak," kata Chadijah. Saking sukanya, Azka kerap menggado ikan tanpa nasi.

Azka biasa menyantap ikan sejak berusia enam bulan. Dulu tiga hari sekali Chadijah membeli ikan salmon. Kini tiada hari tanpa lauk ikan di rumahnya. "Ikan menyehatkan dan mengandung Omega 3," katanya. Sepengetahuannya, zat itu dibutuhkan untuk membantu perkembangan otak anak.

Chadijah tak salah. Menurut Prof Ali Khomsan, guru besar ilmu pangan dan gizi di Institut Pertanian Bogor, Omega 3 adalah asam lemak tak jenuh yang penting bagi perkembangan otak anak. Ia bermanfaat sebagai bahan penyusun lemak struktural yang membangun 60 persen bagian otak manusia. Otak sendiri tersusun atas asam lemak dan kolesterol.

Kekurangan asam lemak esensial bisa mengakibatkan premature senile dementia. Artinya, kehilangan daya ingat pada usia menengah serta menurunnya fungsi otak secara drastis.

Kekurangan asupan gizi semasa anak di bawah usia 2 tahun, kata Ali, bisa menyebabkan anak-anak mengalami hambatan kecerdasan. Soalnya, pada usia itu pertumbuhan otak anak bisa mencapai 85-90 persen ukuran otak dewasa. "Penting bagi anak-anak mengkonsumsi pangan yang kaya Omega 3, Omega 6, dan kolesterol," ujar Ali.

Omega berasal dari bahasa Latin. Maknanya adalah ujung netral atau terakhir. Disebut Omega 3 karena asam lemak ini mempunyai ikatan rangkap pada gugus karbon ke-3 dihitung dari ikatan metil. Omega 3 ada yang memiliki atom karbon 20 yang disebut EPA (eicosapentaenoic). Ada pula yang memiliki atom karbon 22 yang disebut DHA (docosahexaenoic acid). "Omega 3 itu bahan mentahnya. Setelah diproses dalam tubuh, menjadi DHA," kata Dwi Putro, spesialis saraf anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Prof Craij Jensen, guru besar bagian anak dari Baylor College of Medicine, Houston, Texas, Amerika, menerangkan asupan DHA bersama ARA (asam lemak arakhodinat)—yang dihasilkan dari Omega 6—bisa meningkatkan penglihatan dan pembentukan saraf anak.

Berbicara dalam Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak ke-13, pekan lalu di Bandung, Jawa Barat, Jensen menjelaskan manfaat DHA dan ARA. Salah satunya, anak yang diberi asupan kedua jenis asam lemak itu memiliki penglihatan yang lebih tajam dibandingkan dengan anak yang tidak mendapat asupan.

Yang menggembirakan, Omega 3 ternyata sudah ada dalam air susu ibu (ASI) dalam bentuk DHA. Tak mengherankan bila Ikatan Dokter Anak Indonesia menyarankan para ibu memberikan ASI eksklusif selama enam bulan. "Jadi, tak perlu susah-susah mencari asupan dari luar," kata Dwi Putro. Jika ibu tak bisa memberi ASI, dianjurkan untuk memberikan susu formula yang mengandung DHA dan ARA.

Selain dari ASI, Omega 3 bisa diperoleh dari sayur-sayuran hijau, telur, dan ikan. Terutama ikan dari laut dalam seperti salmon, tuna, dan mackerel. Sumber lain adalah produk-produk olahan seperti suplemen minyak ikan dan susu formula.

Penelitian tentang suplemen minyak ikan yang mengandung Omega 3 pernah dilakukan Alexandra Richardson dan Paul Montgomery dari Universitas Oxford, Inggris. Mereka melihat perkembangan membaca, mengeja, dan perilaku anak setelah diberi suplemen minyak ikan secara reguler. Penelitian itu melibatkan 117 anak berusia 5 hingga 12 tahun dan telah dipublikasikan 5 Mei 2005 di jurnal Pediatrics.

Anak-anak yang diteliti itu sebelumnya mengalami masalah belajar dan perilaku. Kemudian mereka diberi suplemen minyak ikan selama enam bulan. Hasilnya, mereka mengalami kemajuan dalam kemampuan membaca, mengeja, dan perilakunya menjadi lebih baik.

Namun, Ali Khomsan meragukan hasil penelitian itu. Alasannya, pada anak usia 5-12 tahun, "otak sudah sempurna terbentuk." Otak memang tumbuh berkembang secara cepat pada dua tahun pertama, lalu melambat sampai usia 5 tahun. Sedangkan pada anak usia 5-12 tahun, yang lebih diperlukan adalah mengasah keterampilan dan kemampuan otak.

Sekadar makanan bergizi pun tak cukup. Kecerdasan anak juga harus ditunjang dengan rangsangan. "Kalau anaknya tidak distimulasi, tetap tidak terlalu bermanfaat," kata Rahmitha Soendjojo, seorang psikolog anak. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kecerdasan anak adalah situasi rumah, kedekatan dengan lingkungan, dan kondisi emosional anak.

Chadijah rupanya menyadari hal itu. Maka, ia juga rajin memberi stimulasi pada Azka. Contohnya dengan menempelkan gambar-gambar angka dan huruf di kamar si kecil. Hasilnya cukup manjur. Azka, yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak, selalu memperoleh nilai 10 untuk matematika.

Lis Yuliawati, Rana Akbari Fitriawan (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus