Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Butir Keenam yang Mengganjal

LBH Jakarta meminta para korban "peristiwa 1965" dan eks tahanan politik dalam waktu dua bulan menyatakan sikap atas gugatan class action mereka di pengadilan.

11 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN lembar kertas tersusun rapi di sebuah meja di ruang tunggu kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta. "Itu notifikasi untuk para korban peristiwa 1965 dan eks tapol terhadap gugatan class action mereka di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," ujar Gatot, salah seorang pengacara LBH, menunjuk tumpukan kertas di atas meja itu.

Notifikasi (pemberitahuan) itu adalah kelanjutan dari penetapan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 18 Mei lalu. Ketika itu pengadilan menyatakan menerima class action (gugatan perwakilan) yang diajukan LBH mewakili para eks tapol (tahanan politik). Namun, pengadilan memberi batas waktu dua bulan kepada LBH untuk mengumpulkan data para eks tapol yang diklaim lembaga hukum itu jumlahnya 20 juta orang. "Notifikasi itu berakhir pada 20 Juli ini," ujar Gatot.

Notifikasi tersebut berisi pemberitahuan kepada para korban "peristiwa 65" dan eks tapol tentang gugatan ganti rugi atas stigma tuduhan terlibat G30S atau Partai Komunis Indonesia. Selain itu, notifikasi tersebut juga memberitahukan adanya 16 orang yang ditunjuk sebagai wakil kelompok dalam gugatan. Kategori pengelompokan itu, eks tapol yang menjadi korban penelitian khusus dipaksa mengundurkan diri dari jabatan atau pekerjaannya, dan dirampas tanah atau rumahnya.

Pada notifikasi ini juga dicantumkan nilai tuntutan ganti rugi tiap-tiap kelompok. Besarnya dari ratusan juta hingga miliaran rupiah. Menurut butir keenam notifikasi itu, "jika dalam jangka waktu dua bulan sejak penetapan pengadilan tidak memberikan pernyataan keluar sebagai anggota kelompok, maka dianggap terikat dan tunduk pada putusan hakim."

Butir keenam inilah yang membuat kecewa dan jengkel Oey Hay Djoen, 77 tahun, bekas tapol yang pernah mendekam di Pulau Buru selama 14 tahun. "Apakah jika ada seorang eks tapol dalam dua bulan tidak mengetahui adanya notifikasi, lalu diam saja, lantas itu dianggap setuju?" ujar penerjemah buku Das Kapital yang laris di pasaran itu.

Oey mencontohkan dirinya sendiri. Menurut pria yang bebas dari Pulau Buru pada 1979 itu, selama ini dirinya tidak pernah ikut sebagai anggota kelompok atau meminta orang lain mewakili dirinya mengajukan gugatan. "Tak satu pun dari mereka datang untuk merundingkan apakah saya mau ikut atau tidak," ujar bekas anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) itu.

Oey mengaku dirinya tidak akan menghalangi rekan-rekannya, para eks tapol, mengajukan gugatan. Hanya, di mata dia, jika tuntutan ganti rugi itu berupa uang, itu terlalu menyederhanakan masalah. "Gugatan itu seakan-akan mengerdilkan persoalan yang dialami eks tapol," ujarnya. Menurut dia, masalah yang menimpa para eks tapol adalah kejahatan negara terhadap sebagian rakyatnya. "Yang terpenting dituntut adalah pengakuan bahwa negara telah menganiaya sebagian rakyatnya," ujarnya.

Tapi, keberatan Oey terhadap adanya notifikasi itu dianggap tak beralasan oleh Gatot. Menurut Gatot, memang demikian mekanisme yang diatur Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2002 tentang Tata Cara Gugatan Perwakilan. "Jadi, jika para korban peristiwa 1965 itu dalam dua bulan tidak memberikan pernyataan keluar sebagai anggota kelompok, maka mereka tunduk pada putusan pengadilan," kata Gatot. LBH sendiri telah menyebarkan notifikasi itu lewat media cetak dan elektronik.

Adapun data jumlah eks tapol sebanyak 20 juta itu, menurut Gatot, diambil, antara lain, data dari mantan Perdana Menteri Soebandrio dan laporan majalah Tempo.

Gatot menduga, munculnya keberatan seperti Oey itu lebih karena kurangnya informasi. Menurut dia, selain menuntut ganti rugi, pihaknya juga menuntut pemerintah supaya meminta maaf dan merehabilitasi korban peristiwa 1965. "Masuknya tuntutan ganti rugi adalah syarat untuk mengajukan gugatan class action sebagai gugatan perbuatan melawan hukum," ujarnya.

Menurut Wakil Direktur LBH Jakarta, Erna Ratnaningsih, pengajuan gugatan perwakilan itu berawal dari banyaknya gugatan serupa yang disampaikan lewat LBH Jakarta sejak 1980-an. Para korban peristiwa 1965 itu, meminta hak-hak perdatanya dikembalikan. LBH lalu memperjuangkannya ke pengadilan. "Tapi banyak yang gagal," ujarnya.

Musim berganti, tahun berubah. Pada 2002, muncullah peraturan Mahkamah Agung yang mengatur tata cara gugatan perwakilan. LBH pun menyambar kesempatan itu. "Kami lalu mengumpulkan database yang kami miliki tentang peristiwa 1965 itu," kata Erna. Lantas, gugatan pun mereka lemparkan ke pengadilan.

Sukma N. Loppies

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus