Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Cincin Penjinak ’Pembuat Janda’

Teknik nonbedah untuk mengatasi penyempitan pembuluh serambi kiri jantung kian berkembang. Masih jarang dokter yang mempraktekkannya.

7 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HENNY Hidayat beruntung bertemu dengan Muhammad Munawar, ahli jantung dari Rumah Sakit Jantung Binawaluya, Jakarta Timur. Perempuan 67 tahun itu bisa lepas dari ”ancaman” operasi bypass untuk mengatasi penyempitan pangkal arteri koroner kiri (left main coronary artery) jantung yang dia derita. Sebab, Munawar adalah satu dari segelintir ahli jantung yang mampu melakukan intervensi perkutan (percutaneous intervention) dengan pemasangan cincin (stent) pada pembuluh serambi kiri (left main) jantung.

Hasilnya nyata benar. Menurut anaknya, Lisa Herviana, tiga bulan setelah tindakan, Henny sudah mampu berolahraga ringan. Wajahnya pun sudah segar merona. Dan bukan hanya Henny yang diselamatkan Munawar dari operasi bedah pintas jantung (coronary arterial bypass graf), yang memang menjadi standar penanganan kasus penyumbatan arteri di serambi kiri. ”Beberapa pasien dengan gangguan penyumbatan pada left main yang sudah berobat di rumah sakit Singapura, tapi takut operasi, datang kemari,” kata Munawar kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu.

Tindakan pemasangan cincin ini lebih praktis. Prosesnya hanya dua jam. Esoknya, si pasien sudah bisa pulang. Namun tantangannya bagi dokter sangat besar, sehingga ahli intervensi jantung seperti Munawar—meski sudah memasang stent di serambi kiri sejak 10 tahun lalu—harus selalu menambah ilmu agar mendapat informasi terbaru tentang teknologi stent. Pada Mei lalu, misalnya, Munawar bersama sekitar 20 dokter dari Indonesia mendatangi konferensi tentang stenting se-Asia Pasifik di Korea Selatan. ”Ada sesi khusus soal stent untuk left main,” katanya.

Dalam pembahasan soal stent untuk mengatasi penyumbatan serambi kiri, dibicarakan soal teknologi cincin yang makin aman. Bahkan kini sedang dikembangkan stent yang bisa larut, tidak lagi tetap bersarang dalam pembuluh darah. ”Korea Selatan memang leading soal stenting. Sedangkan di Indonesia belum pernah ada seminar terbuka skala besar yang membahas stenting untuk left main,” katanya.

Teknologi cincin memang krusial bagi penderita penyumbatan pembuluh serambi kiri. Sebab, kasus penyumbatan pembuluh pada serambi kiri ini dikenal sebagai varian penyakit jantung yang paling mematikan. Orang sering menyebutnya widow maker atau ”pembuat janda”—karena penderitanya mayoritas laki-laki. Jika masih hidup, si pasien berisiko mengalami gagal jantung atau sering masuk rumah sakit dengan keluhan sesak napas dan cepat letih.

Risiko besar dari penyumbatan itu disebabkan oleh peran vital serambi kiri. Sesuai dengan struktur organ jantung, ada dua pembuluh arteri yang memberikan pasokan oksigen ke otot jantung, satu ke kanan (right coronary artery) dan satu ke kiri (left coronary artery). Left main adalah salah satu komponen utama left coronary artery. Serambi kiri memasok aliran darah yang kaya oksigen dan nutrisi ke 80 persen otot jantung kiri. Jika pasokan tersumbat, otot jantung pun rusak. Pasokan darah ke dan dari jantung otomatis terganggu.

Gangguan pada serambi kiri paling sering disebabkan oleh bertumpuknya lemak (plak) atau zat lain pada pembuluh arteri, sehingga kian lama kian menyempit (arteriosclerosis). Selanjutnya bisa terjadi penyumbatan total yang mendadak akibat pecahnya plak atau terjadi serangan jantung.

Pemasangan cincin untuk menangani gangguan left main menjadi proses mendebarkan bagi dokter mengingat vitalnya fungsi bagian jantung tersebut. Sebab, saat intervensi dilakukan, ada saat terhentinya aliran udara sesaat, sekitar 20 detik, yaitu ketika balon pada stent dikembangkan. Sebagai perbandingan, bila darah tidak dialiri oksigen selama lima menit, saraf dan organ tubuh akan lumpuh.

Risiko lain terletak pada teknologi stent. Pada 1990-an, cincin yang dipasang masih tanpa obat sehingga berisiko terjadi penyempitan kembali pembuluh darah. Setelah itu, muncul stent dengan obat pencegah penyempitan. Masalahnya, polimer, zat untuk merekatkan obat ke stent, sulit diserap tubuh, sehingga memicu penggumpalan darah.

Tindakan pemasangan cincin sejak 2000-an dibarengi dengan obat antipenggumpalan darah, seperti aspirin dan clopidogrel. Tapi, dengan obat pencegahan pengentalan darah ini, pasien tidak boleh dioperasi atau berdarah selama setahun. ”Cabut gigi saja dilarang, bisa perdarahan parah,” kata Munawar.

Nah, kini telah berkembang teknologi stent berikut antipenggumpalan dalam kurun waktu lebih singkat, dari setahun menjadi setengah tahun. Perkembangan itu memungkinkan polimer terserap lebih cepat. Teknologi ini sudah dipraktekkan di Indonesia sekitar setahun terakhir, termasuk yang diterapkan pada Henny. Capaian itu dilengkapi dengan terobosan balon bersalut obat tanpa stent untuk jaga-jaga jika terjadi penyempitan pembuluh darah.

Stent sendiri dipasang melalui jalur pembuluh darah. Awalnya, jarum ditusukkan di tungkai atau lengan sampai menemukan pembuluh darah. Selanjutnya, selang kecil (kateter) yang lentur dimasukkan dan diarahkan ke sumbatan. Selang yang dipasangi balon bersalut obat pada ujungnya ditiup untuk melebarkan bagian pembuluh yang menyempit. Stent dan obat ini membuat pembuluh tetap terbuka.

Kini pemasangan stent untuk kasus penyumbatan serambi kiri kian mudah dilakukan. ”Tapi masih belum banyak, perlu perubahan mindset dokter,” kata Munawar. Sebab, berdasarkan acuan asosiasi jantung internasional 1990-an, secara eksplisit direkomendasikan tindakan operasi bypass untuk mengatasi penyumbatan serambi kiri.

Dokter yang seperti Munawar memang langka karena, meskipun teknologi stent sudah maju, tak banyak yang berani melakukan tindakan ini. Dari sekitar 460 dokter spesialis jantung di Indonesia, ahli stent tidak sampai 50 orang. Dari sejumlah ini, yang melakukan pemasangan stent untuk mengatasi sumbatan serambi kiri masih bisa dihitung dengan jari tangan. ”Tapi sekarang dokter-dokter muda mulai mencoba. Saya selalu bilang it’s not difficult,” kata anggota tim dokter kepresidenan era Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono itu.

Menurut catatannya, kini pemasangan stent untuk kasus left main rata-rata dua kali dalam sebulan. Jumlah ini sekitar tiga persen dari total kateterisasi untuk penyakit jantung. Dalam tiga tahun terakhir, sekitar 200 hasil penelitian menunjukkan stenting pada kasus left main memiliki hasil yang tak kalah dengan operasi bypass. Meski demikian, bedah masih menjadi pilihan di beberapa kasus, misalnya kasus left main yang disertai penyempitan pada pembuluh darah lain dan penyumbatan 100 persen sehingga secara teknis menyulitkan, atau adanya pengapuran yang tebal. ”Untung, keadaan ini sangat sedikit.”

Sejauh ini, angka keberhasilan pemasangan cincin untuk penyumbatan pembuluh left main cukup tinggi, lebih dari 95 persen. Angka kematian yang diakibatkannya mendekati nol persen.

Harun Mahbub

  1. Stent dipasang melalui jalur pembuluh darah. Jarum ditusukkan di tungkai atau lengan sampai menemukan pembuluh darah.
  2. Selanjutnya, selang kecil (kateter) yang lentur dimasukkan dan diarahkan ke sumbatan.
  3. Selang dipasangi balon bersalut obat yang ditiup untuk melebarkan bagian pembuluh yang menyempit. Stent dan obat ini membuat pembuluh tetap terbuka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus