Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGIN di pengujung musim dingin yang bertiup dari arah Danau Jenewa membawa hawa yang makin menggigilkan kompleks perkantoran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tak jauh dari sana, di ruangan Geneva International Conference Center, udara dingin di luar punah oleh hangatnya suasana. Mata hadirin tertuju pada panelis in absentia di layar video. Nestor Rodriguez Lobaina, pembangkang Kuba yang tak mendapat izin keluar dari negara itu, sedang menyampaikan pikirannya kepada forum.
”Mungkin, ketika Anda sedang menyaksikan tayangan ini, saya sedang ditahan lagi, melengkapi lebih dari 200 penangkapan sewenang-wenang yang saya alami selama lebih dari 20 tahun perjuangan untuk kebebasan dan hak-hak sipil dari rakyat Kuba,” kata Nestor membuka pidatonya.
Nestor satu-satunya panelis yang hadir secara maya dalam pertemuan Geneva Summit for Human Rights yang diselenggarakan UN Watch, koalisi lembaga swadaya masyarakat yang menjadi semacam watchdog bagi tindak-tanduk PBB. Panelis lainnya: pejuang hak asasi manusia dan pembangkang politik dari berbagai negara. Mereka ini, walaupun dapat hadir secara fisik, juga dengan upaya tertentu. Sebagian mencari izin melalui negara ketiga, dan masih bertanya-tanya apakah ketika pulang akan ditangkap oleh penguasa. Sebagian lagi memang sudah menjadi eksil, berjuang dari luar negara mereka.
Kehadiran nonfisik Nestor, sebetulnya, menyiratkan kecenderungan yang relatif baru dalam perjuangan hak asasi manusia, yaitu penggunaan media digital. Di Indonesia kita mengenal kecenderungan baru melalui, misalnya, perjuangan untuk Prita Mulyasari, saat keluhannya terhadap Rumah Sakit Omni diadili dengan dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transmisi Elektronik. Dukungan datang antara lain melalui Facebook.
Kecenderungan baru yang sering disebut sebagai ”digital people power” ini secara tak sengaja dibahas cukup tuntas dalam satu wadah dalam summit kali ini. David Suurland, ahli kebebasan ekspresi di Internet yang membantu penyediaan teknologi untuk para aktivis di Iran, bermitra dengan Caspian Makan. Yang disebut terakhir adalah tunangan Neda Agha-Soltan, aktivis Iran yang tewas ditembak saat berdemonstrasi memprotes hasil pemilihan umum di sana. Video penembakan Neda yang dramatis beredar di situs YouTube dan ditonton tak kurang dari 850 ribu pemirsa.
Namun, seperti perang propaganda di media tradisional, di media digital pun sering terjadi pengaburan informasi. Beberapa pejabat Iran sempat mengembuskan isu penembakan Neda didalangi CIA, Dinas Intelijen Amerika Serikat. Toh, Neda kemudian menjadi ikon perjuangan prodemokrasi di Iran.
Momentum perjuangan Iran di ranah digital kemudian, berkat bantuan sekelompok ahli teknologi informasi, disebarluaskan ke seluruh dunia dengan penyediaan perangkat keras dan sistemnya. Satu sisi yang diperbaiki dalam model pemberitaan bawah tanah seperti ini adalah sistem filtrasi untuk menjaga keakuratan foto, video, ataupun teks yang terunggah.
Dari Burma, aktivitas media prodemokrasi di ranah digital nyaris memboyong Piala Oscar melalui film dokumenter Burma VJ (baca ”Gambar Berguncang Mengejutkan Dunia”). Inilah film yang menuturkan peliputan televisi perjuangan bawah tanah terhadap—terutama—aksi protes besar-besaran yang melibatkan biksu pada 2007. Para VJ, dengan handycam sederhana, merekam adegan-adegan penindasan oleh junta militer yang berkuasa dengan taktis. Hasil rekaman digital itu dikirimkan ke Thailand. Melalui koordinasi kantor pusat Democratic Voice of Burma di Oslo, Norwegia, mereka menyiarkan hasil rekaman itu balik ke Burma.
Begitulah, di kalangan aktivis, teknologi informasi, terutama Internet, memang sedang mendapat tempat. Di akhir pertemuan, mereka mengeluarkan Deklarasi untuk Kebebasan Internet. Intinya, akses Internet merupakan bagian dari hak asasi manusia—yang mulai dianggap berbahaya oleh rezim tertentu. Keberadaannya tak boleh dibatasi atau dihalangi pihak mana pun.
Paparan mengenai kecenderungan pengutamaan teknologi digital dalam penyebarluasan informasi dan advokasi hak asasi manusia mendapat warna lain ketika Robert Boorstin, Direktur Komunikasi Korporat dan Kebijakan Google, sang raksasa Internet, ikut menyumbangkan pengalaman. Perusahaan bernilai miliaran dolar Amerika ini dengan fasih memposisikan dirinya sebagai bagian dari perjuangan hak asasi manusia universal.
Google, walau bergerak di dunia maya yang bersifat global, tetap saja dalam batas-batas otoritas negara dapat menjadi sasaran tindakan antikebebasan informasi di Internet. Boorstin bercerita bagaimana pegawai Google di Italia sempat diproses pidana oleh pemerintah setempat karena ada video yang terunggah di situs video mereka berisi adegan penyiksaan seorang anak autis. Google juga, sebagaimana kita ketahui, tak berdaya mengatasi sensor ketat di Cina, yang menjadi salah satu sebab mereka akhirnya harus hengkang dari negara itu.
Sebagai salah satu wakil dari entitas terbesar di dunia Internet, Boorstin menekankan aspek-aspek penting kehadiran Internet sebagai media yang dapat dipakai untuk menyuarakan demokrasi dengan ”d” kecil. Inilah demokrasi yang disuarakan orang per orang pengguna Internet yang dapat terakumulasi menjadi gelombang besar. Namun di pengujung presentasinya ia juga menekankan bahwa Internet pada akhirnya adalah bagian dari media, alat penyampai pesan. Untuk memperjuangkan keadilan, kebebasan, dan demokrasi, akhirnya ada pada kenyataan di lapangan.
Dia benar adanya. Kebebasan di Internet bagaimanapun tak akan membawa kebebasan senyatanya. Atau belum tentu. Apa yang terjadi di alam maya tak selalu ada di alam nyata. Ajakannya adalah siapa pun sebaiknya tak terbuai oleh terminologi ”utopia teknologi”. Seperti kasus Prita di Indonesia. Simpati boleh setinggi langit di dunia maya, tapi apakah keadilan sudah ditegakkan di dunia nyata?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo