SEKITAR 125 ribu lulusan SLTA pekan depan ini akan menempuh
masuk perguruan tinggi. Sementara nasib mereka masih tanda
tanya, ada sekitar 1500 rekan mereka yang telah dipastikan
diterima. Yang sedikit itu memang telah diusulkan oleh kepala
sekolah masing-masing untuk diterima di PT tanpa tes.
Istilahnya: dengan "panduan bakat".
Gagasan ini muncul pertama kali di Institut Pertanian Bogor
(IPB), 1976 "IPB termasuk sekolah kering, tak seperti kedokteran
atau teknik," tutur Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution, Rektor
IPB yang sampai sekarang mengurus calon mahasiswa tanpa tes ini.
"Anak-anak yang pintar biasanya tak mau jadi sarjana pertanian."
Sementara itu tak semua anak pintar mempunyai biaya untuk
melanjutkan belajar di Perguruan Tini.
Dengan pertimbanan tersebut, tercetuslah sistem "panduan bakat"
di IPB. Calon mahasiswa tak perlu menempuh tes masuk. Tapi tak
berarti mudah: dia harus termasuk kelompok berprestasi di
sekolahnya. Angka rapornya selama kelas I, II dan III minimal
rata-rata 7,5. Dan ia memang dipandang oleh para gurunya punya
potensi berkembang terus.
Lebih Meyakinkan
Pihak Perguruan Tinggi kemudian memang beruntung mendapat
mahasiswa yang benar-benar punya kemungkinan berkembang. Dan
pihak calon mahasiswa mendapat fasilitas pula tak perlu
berpayah-payah ikut tes. Sedangkan mereka yang tak mampu untuk
membiayai kuliah, akan mendapat pertolongan sekedarnya.
Sistem penerimaan mahasiswa tanpa tes ini kemudian menular ke
universitas lain, -- khusus untuk jurusan "kering". Tahun lalu
FMIPA (Fak. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) di ITB
melaksanakan sistem ini. Juga Fak. Ilmu Pasti dan Alam di
Universitas Gajah Mada (UGM).
Hasilnya memang ada. IPB mencatat kenaikan tingkat langsung.
Sebelum ada mahasiswa tanpa tes ini, kenaikan hanya berkisar
antara 40-57%. Kini menjadi 60-64%. Bahkan dalam wisuda sarjana
Maret 1980 yang lalu yang juga merupakan wisuda sarjana pertama
bagi mahasiswa tanpa tes sebagian besar datang dan angkatan
1976. Artinya mereka hanya memerlukan waktu 4 tahun persis dari
212 sarjana itu, 107 berasal dari yang bebas ujian saringan
masuk," kata Andi Hakim.
Juga di ITB ada perbedaan, meski baru setahun. Prof. Dr.
Sudarwati, Ketua Jurusan Biologi, mencatat: "Mahaiswa FMIPA
yang lewat tes hanya 25% saja yang memperoleh nilai baik sekali,
baik dan cukup. Yang tanpa tes mencapai 40%. "
Di UGM belum jelas benar hasilnya. Tapi Drs. Soemantri, anggota
panitia penyeleksian mahasiswa yang tanpa tes, dengan nada pasti
mengatakan "Mahasiswa yang diseleksi lewat perkembangannya
selama di SLTA, lebih meyakinkan ketimbang yang hanya diuji
lewat tes."
Tahun ini UI pun ikut serta. 116 calon mahasiswa telah
ditentukan boleh masuk tanpa tes. "Ini menguntungkan," kata
Prof. Dr. Somadikarta, Dekan FIPIA UI. "Dulu, fakultas saya ini
mengambil calon mahasiswa sampai ranking yang amat rendah,
karena peminatnya memang sedikit. Sekarang seleksi lewat tes
bisa lebih ketat."
Tapi penyeleksian tanpa tes ini belum menjamin si calon pasti
masuk. Menurut Andi Hakim, dari sejumlah siswa yang sudah
terpilih ternyata hampir 2% tak lulus ujian akhir SLTA. Ini
memang agak merepotkan, karena keputusan diterima atau tidak
lewat tes diadakan sebelum hasil EBTA (Evaluasi Belajar Tahap
Akhir) diumumkan. Tahun ini misalnya diumumkan April lalu,
sementara hasil EBTA baru diumumkan awal bulan ini.
Mungkin juga itu karena seleksi tanpa tes tak hanya melihat
prestasi belajar. "Juga aktivitas siswa seperti karate,
organisasi siswa atau palang merah ikut dipertimbangkan," tutur
Andi Hakim.
Yang menarik, latar belakang sosial siswa juga ditilik. Dengan
prestasi yan kurang lebih setingkat, siswa dari kalangan kurang
mampu akan mendapat prioritas pertama. Alasan: Yang mampu 'kan
bisa saja ikut tes.
Hasilnya: 10% mahasiswa tanpa tes ternyata datang dari keluarga
yang kurang mampu. Tak jarang mereka datang ke IPB saja
diongkosi guru-gurunya. Setelah itu tentulah dengan usaha mereka
sendiri, atau dengan bantuan PT, mereka mencari beasiswa.
Kota Lebih Unggul
Tentu saja, seleksi berdasar prestasi selama belajar di SLTA ini
bukannya tanpa kelemahan. Misalnya SLTA yang bersangkutan
memberikan informasi keliru atau berlebihan. "Memang pernah
terjadi, ada angka rapor yang meragukan," cerita Andi Hakim.
"Setelah dicek, ternyata memang dipalsukan. Kami kirim surat
kepada gubernur dan kepala sekolahnya digeser."
Toh, Andi Hakim menjamin hal semacam itu tipis sekali
kemungkinannya. IPB, sebagai pusat penyeleksian calon mahasiswa
tanpa tes ini, telah memonitor SLTA seluruh Indonesia dalam
perkara bonafiditas dan kualitasnya.
Yang unik adalah di Universitas Ujungpandang Unhas, meski tak
termasuk kelompok perguruan tinggi yang menyeleksi mahasiswa
tanpa tes, sejak 1976 telah menerima mahasiswa tanpa tes.
Tujuan utamanya: pemerataan kesempatan pendidikan. Unhas
mengambil siswa berprestasi terbaik sekitar 2-10% (berdasar
kualitas SLTA-nya) dari seluruh SLTA di Sul-Sel.
Kata Anwar Arifin, Kepala Humas Unhas, kebijaksanaan itu diambil
karena kalau harus sama-sama menempuh tes masuk, "jelas lulusan
SLTA di kota akan lebih unggul." Padahal, menurut pengamatan
Unhas, mereka yang datang dari SLTA kurang berkembang, setelah
setahun di Unhas, ternyata berprestasi baik juga.
Meskipun fasilitas tanpa tes ini kelihatannya menarik, tak semua
siswa datang memenuhi panggilan. Itu karena mereka kemudian
ternyata tak menyukai jurusan yang disediakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini