Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mereka Yang Diterima Tanpa Tes

Institut pertanian bogor sejak 1976 menerapkan penyeleksian calon mahasiswa tanpa tes itb, ugm, dan ui meniru, khusus untuk jurusan "kering" hasilnya: menggembirakan.

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 125 ribu lulusan SLTA pekan depan ini akan menempuh masuk perguruan tinggi. Sementara nasib mereka masih tanda tanya, ada sekitar 1500 rekan mereka yang telah dipastikan diterima. Yang sedikit itu memang telah diusulkan oleh kepala sekolah masing-masing untuk diterima di PT tanpa tes. Istilahnya: dengan "panduan bakat". Gagasan ini muncul pertama kali di Institut Pertanian Bogor (IPB), 1976 "IPB termasuk sekolah kering, tak seperti kedokteran atau teknik," tutur Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution, Rektor IPB yang sampai sekarang mengurus calon mahasiswa tanpa tes ini. "Anak-anak yang pintar biasanya tak mau jadi sarjana pertanian." Sementara itu tak semua anak pintar mempunyai biaya untuk melanjutkan belajar di Perguruan Tini. Dengan pertimbanan tersebut, tercetuslah sistem "panduan bakat" di IPB. Calon mahasiswa tak perlu menempuh tes masuk. Tapi tak berarti mudah: dia harus termasuk kelompok berprestasi di sekolahnya. Angka rapornya selama kelas I, II dan III minimal rata-rata 7,5. Dan ia memang dipandang oleh para gurunya punya potensi berkembang terus. Lebih Meyakinkan Pihak Perguruan Tinggi kemudian memang beruntung mendapat mahasiswa yang benar-benar punya kemungkinan berkembang. Dan pihak calon mahasiswa mendapat fasilitas pula tak perlu berpayah-payah ikut tes. Sedangkan mereka yang tak mampu untuk membiayai kuliah, akan mendapat pertolongan sekedarnya. Sistem penerimaan mahasiswa tanpa tes ini kemudian menular ke universitas lain, -- khusus untuk jurusan "kering". Tahun lalu FMIPA (Fak. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) di ITB melaksanakan sistem ini. Juga Fak. Ilmu Pasti dan Alam di Universitas Gajah Mada (UGM). Hasilnya memang ada. IPB mencatat kenaikan tingkat langsung. Sebelum ada mahasiswa tanpa tes ini, kenaikan hanya berkisar antara 40-57%. Kini menjadi 60-64%. Bahkan dalam wisuda sarjana Maret 1980 yang lalu yang juga merupakan wisuda sarjana pertama bagi mahasiswa tanpa tes sebagian besar datang dan angkatan 1976. Artinya mereka hanya memerlukan waktu 4 tahun persis dari 212 sarjana itu, 107 berasal dari yang bebas ujian saringan masuk," kata Andi Hakim. Juga di ITB ada perbedaan, meski baru setahun. Prof. Dr. Sudarwati, Ketua Jurusan Biologi, mencatat: "Mahaiswa FMIPA yang lewat tes hanya 25% saja yang memperoleh nilai baik sekali, baik dan cukup. Yang tanpa tes mencapai 40%. " Di UGM belum jelas benar hasilnya. Tapi Drs. Soemantri, anggota panitia penyeleksian mahasiswa yang tanpa tes, dengan nada pasti mengatakan "Mahasiswa yang diseleksi lewat perkembangannya selama di SLTA, lebih meyakinkan ketimbang yang hanya diuji lewat tes." Tahun ini UI pun ikut serta. 116 calon mahasiswa telah ditentukan boleh masuk tanpa tes. "Ini menguntungkan," kata Prof. Dr. Somadikarta, Dekan FIPIA UI. "Dulu, fakultas saya ini mengambil calon mahasiswa sampai ranking yang amat rendah, karena peminatnya memang sedikit. Sekarang seleksi lewat tes bisa lebih ketat." Tapi penyeleksian tanpa tes ini belum menjamin si calon pasti masuk. Menurut Andi Hakim, dari sejumlah siswa yang sudah terpilih ternyata hampir 2% tak lulus ujian akhir SLTA. Ini memang agak merepotkan, karena keputusan diterima atau tidak lewat tes diadakan sebelum hasil EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) diumumkan. Tahun ini misalnya diumumkan April lalu, sementara hasil EBTA baru diumumkan awal bulan ini. Mungkin juga itu karena seleksi tanpa tes tak hanya melihat prestasi belajar. "Juga aktivitas siswa seperti karate, organisasi siswa atau palang merah ikut dipertimbangkan," tutur Andi Hakim. Yang menarik, latar belakang sosial siswa juga ditilik. Dengan prestasi yan kurang lebih setingkat, siswa dari kalangan kurang mampu akan mendapat prioritas pertama. Alasan: Yang mampu 'kan bisa saja ikut tes. Hasilnya: 10% mahasiswa tanpa tes ternyata datang dari keluarga yang kurang mampu. Tak jarang mereka datang ke IPB saja diongkosi guru-gurunya. Setelah itu tentulah dengan usaha mereka sendiri, atau dengan bantuan PT, mereka mencari beasiswa. Kota Lebih Unggul Tentu saja, seleksi berdasar prestasi selama belajar di SLTA ini bukannya tanpa kelemahan. Misalnya SLTA yang bersangkutan memberikan informasi keliru atau berlebihan. "Memang pernah terjadi, ada angka rapor yang meragukan," cerita Andi Hakim. "Setelah dicek, ternyata memang dipalsukan. Kami kirim surat kepada gubernur dan kepala sekolahnya digeser." Toh, Andi Hakim menjamin hal semacam itu tipis sekali kemungkinannya. IPB, sebagai pusat penyeleksian calon mahasiswa tanpa tes ini, telah memonitor SLTA seluruh Indonesia dalam perkara bonafiditas dan kualitasnya. Yang unik adalah di Universitas Ujungpandang Unhas, meski tak termasuk kelompok perguruan tinggi yang menyeleksi mahasiswa tanpa tes, sejak 1976 telah menerima mahasiswa tanpa tes. Tujuan utamanya: pemerataan kesempatan pendidikan. Unhas mengambil siswa berprestasi terbaik sekitar 2-10% (berdasar kualitas SLTA-nya) dari seluruh SLTA di Sul-Sel. Kata Anwar Arifin, Kepala Humas Unhas, kebijaksanaan itu diambil karena kalau harus sama-sama menempuh tes masuk, "jelas lulusan SLTA di kota akan lebih unggul." Padahal, menurut pengamatan Unhas, mereka yang datang dari SLTA kurang berkembang, setelah setahun di Unhas, ternyata berprestasi baik juga. Meskipun fasilitas tanpa tes ini kelihatannya menarik, tak semua siswa datang memenuhi panggilan. Itu karena mereka kemudian ternyata tak menyukai jurusan yang disediakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus