Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MTV menerobos ruang keluarga tiap hari, memboyong musik yang sepenuhnya "industri". Dangdut, yang dulu sudah untung diselipkan di berbagai variety show, kini naik kelas lewat acaranya sendiri, di semua stasiun televisi, hampir tiap hari pula. Lalu musik dance dan house yang mekanis tapi mendominasi klub-klub malam. Di belantara itu, di mana jazz? Jazz? Ya, musik penuh improvisasi yang berderak pada 1920-an, zaman kebingungan yang mendorong F. Scott Fitzgerald, novelis terbesar Amerika Serikat yang menghasilkan The Great Gatsby (1925), untuk menulis cerpen-cerpen yang lalu dikumpulkan dalam Tales of the Jazz Age (1922); jazz yang melahirkan Count Basie, Billie Holiday, Ella Fitzgerald, Dizzy Gillespie, Louis Armstrong, atau yang lebih "modern" lagi Miles Davis. "Sebenarnya jazz masih ada, tapi memang hanya di tempat-tempat tertentu dan luput dari perhatian orang banyak," kata Riza Arshad, pemain keyboard kelompok musik jazz Simak Dialog.
Di Jakarta, salah satu tempat itu adalah Klub 45, sebuah kafe di Jalan Mahakam, Jakarta Selatan. Di tempat yang menyajikan jazz dari Tjut Nyak Deviana Daudsjah dan kawan-kawan setiap hari Minggu malam itulah Beben Supendi Mulyana, 36 tahun, bertandang jika punya kesempatan. Bagi programer komputer di BII ini, kafe yang memasang foto-foto heroik hitam putih dari masa 1930-an atau 1940-an itu adalah oase yang memungkinkannya menikmati jazz di luar rumah, membuatnya bisa lepas dari dahaga akan pentas jazz. "Saya paling suka di sini karena yang dimainkan adalah jazz standar," katanya.
Dalam jazz, istilah standar digunakan untuk merujuk gaya musik jazz "lama", yang populer terutama pada 1930-an hingga 1950-an. Termasuk ke dalam kategori ini adalah swing dan bebop.
Beben menggemari jazz sejak 1981. Dari mula-mula tak tahu apa itu jazz, kini pria kelahiran Jakarta yang juga mengajar musik ini mempunyai daftar pemusik jazz favorit yang berderet-deret, dari berbagai kategori instrumen dan masaantara lain ada gitaris Wes Montgomery, pemain bas Jaco Pastorius, pemain trumpet Miles Davis, saksofonis Charlie Parker, dan pianis Bob James. Album-album rekaman jazz menjadi bagian dari 2.000-an kaset dan 400-an compact disc (CD) koleksinya. Karena memahami jazz, bahkan kadang memainkannya, wajar jika ia tahu benar tempat-tempat yang memungkinkan orang menikmati jazz. Selain Klub 45, ada Jamz yang sudah tergolong lama, lobi beberapa hotel, beberapa food court, Pasar Seni (setiap Jumat), berbagai festival, juga JakJazz yang, "Sayang sudah tidak ada," katanya.
Ia juga melihat di kalangan komunitas jazz sendiri ada perbedaan kecenderungan: ada yang lebih menyukai musik yang bernuansa fusion atau acid jazz, sebagian lebih menyukai yang beraliran standar, dan ada juga yang dapat menikmati keduanya, yang penting jazz. "Perbedaan juga dapat disebabkan persepsi atau pengetahuan mereka tentang jazz berbeda-beda. Dan akhirnya nanti juga dapat terlihat mana penikmat atau pengunjung yang datang ke kafe yang cenderung live music-nya fusion, dan mana yang lebih condong ke kafe yang live music-nya lebih ke standar," ujarnya.
Karakteristik seperti itu pulalah yang mendasari siasat Jazz Bar and Grille di Sanur, Bali, untuk lebih longgar dalam menyajikan jazz. Salah satu dari dua tempat hiburan di Bali yang menyuguhkan jazz ini tak sungkan-sungkan menyelipkan dalam programnya aliran musik lain tapi tetap jazzy. "Peminat jazz masih terbatas," Made Maha Adnyana, Manajer Jazz Bar and Grille, beralasan.
Di restoran yang dibuka pertama kali pada 1999 itu program jazz berlangsung empat kali dalam sepekan. Tiga hari selebihnya adalah giliran untuk oldies 1960-an dan 1970-an, serta top 40lagu-lagu masa kini yang menjadi hit di radio-radio. Semuanya tetap bernuansa jazz. "Kami mengemasnya sesuai dengan pasar yang ada," ujar Adnyana.
Pasar yang ada itu membuat All Tones Band, yang tampil Rabu malam pekan lalu di Jazz Bar and Grille, rileks saja beralih dari This Masquarade dengan versi aransemen yang cenderung "berat" ke lagu-lagu yang lebih "enteng" dan sebenarnya tergolong bukan jazz,seperti Still A Friend of Mine dari Incognito, dan sebaliknya dari nomor-nomor smooth ke nomor-nomor standar. Suara Hans, vokalisnya, membelai telinga pengunjung restoran sehingga seolah lupa pada mendung dan gerimis yang menyelimuti kawasan Sanurtapi mereka pasti melihat beberapa kali Hans mengelap kepalanya yang gundul seusai melantunkan lagu.
Di antara pengunjung malam itu ada Jehnsen, 48 tahun. Warga Denpasar yang menyebut jazz sudah menjadi bagian hidupnya ini mengaku biasa nongkrong berjam-jam di situ, menyantap makanan sambil mendengarkan musik yang dimainkan, tiap hari. "Saya menyukai jazz karena ada kebebasan berekspresi di dalamnya," katanya. Selain itu, "Di dalamnya ada proses belajar, karena ada yang baru sehingga mengharuskan untuk belajar, belajar," katanya pula.
Belajar adalah hal yang juga disebut oleh Beben, juga Riza. Dengan belajar baru jazz bisa dipahami. Hanya dengan adanya kalanganpara penggemaryang memahami, jazz bisa bertahan. Menurut Riza, di sinilah pentingnya peran venue (tempat pertunjukan), musisi, dan media. Di tempat pertunjukan peminat jazz bisa langsung menyimak musiknya, juga permainan para pemusiknya. Tapi, tanpa kesediaan pemusik untuk berbagi cerita tentang musik yang dimainkannya, peminat juga tak akan mendapatkan apa-apa kecuali mendengar sesuatu yang mungkin masih asing. "Di Indonesia, memberikan pengantar sebelum memainkan musik itu perlu, karena tidak semua orang punya pengetahuan (tentang musik jazz)," kata Riza. Media, menurut dia, bisa menjadi jembatan. Di Internet kini ada mailing list (milis), forum diskusi maya, misalnya IndoJazz, dan portal khusus seperti WartaJazz.com (www.wartajazz.com) dan Horizon-line.com (www.horizon-line.com).
Di Bandung malah ada KLCBS, radio yang khusus menyiarkan lagu jazz. Radio yang berkantor di Jalan Karang Layung 10 ini didirikan pada 1982. Waktu itu, menurut Nazar A.T. Noe'man, pemiliknya, ada idealisme untuk memunculkan radio alternatif yang berbeda dari radio-radio lain yang "sangat remaja dan sangat hiburan". Musik jazz dipilih, kata Nazar, "Karena di sini banyak mahasiswa dan universitas yang ekspresi dan minat musiknya waktu itu condong ke jazz." Dua puluh tahun lebih sejak itu radio pertama di Bandung yang menggunakan frekuensi FM ini masih setia melayani pendengarnya. Rahasianya? "Kami konsisten dalam berkomitmen pada audience pencinta jazz, sehingga terus dipercaya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kami juga konsisten dengan segmentasi kami," kata Nazar lagi.
Segmentasi yang berhasil berarti memang ada "khalayak" jazz dalam jumlah yang bukan saja terhitung cukup tapi juga mengerti dan selalu merindukan jazz. Hal inilah yang, menurut Heru Nugroho, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada yang menggemari jazz, belum ada di Yogyakarta. Menurut Heru, penggemar jazz di Yogyakarta belum semelek masyarakat di Jakarta, Bandung, dan Bali. Ia mengakui beberapa hotel dan restoran secara berkala menampilkan jazz, misalnya Restoran Gajah Wong di Jalan Gejayan. Tapi kebanyakan hanya jazz yang cenderung ngepop, belum memainkan jazz yang benar. Radio pun hanya ada satu yang punya program jazz, mengudara tiap Sabtu malam, yaitu Geronimo. Mengherankan karena Yogyakarta gudang seniman dan masyarakat terpelajar. "Mungkin karena sosialisasi musik jazz standar belum begitu bagus di Yogya," ujarnya.
Karena itu, Heru melihat pentingnya klub, forum yang menghimpun penggemar dan pemusik. "Inisiatif harus datang dari anak-anak muda Yogya," katanya. Klub itu sebenarnya sudah ada, dipelopori oleh Ajie Wartono, namanya Yogya Jazz Club. Anggota resminya 50-an orang, sebagian besar pemusik. Tapi Ajie, yang ikut mendukung pengelolaan WartaJazz.com, mengakui kegiatan klub itu belum serius, meski ada manfaat yang sudah dirasakan oleh anggotanya, seperti gelar juara bagi band yang dikirim ke beberapa ajang kompetisi.
Seperti halnya Heru, banyak yang percaya bahwa klub, atau forum yang berfungsi serupa, bisa berperan menyebarkan setidaknya pengetahuan tentang jazz. Karena itulah, di berbagai kota dengan penggemar jazz yang cukup, bermunculan inisiatif untuk membentuk forum itu. Di Bali, misalnya, ada Bali Jazz Forum yang tergolong aktif. Selain menyebarkan informasi, kegiatan rutin Bali Jazz Forum adalah menyelenggarakan workshop dan jam session. Wadah yang diketuai oleh Arief Budiman inilah yang pada 30 Agustus lalu menggelar parade jazz yang diberi nama Jazz Merah Putih 2003. Berlangsung di Amphi Theatre, Mal Bali Galleria, acara itu bukan saja berisi pertunjukan jazz, tapi juga kolaborasi seni dan jazz, pameran poster, foto, artwork jazz, dan bazar pernak-pernik serba jazz. Rencananya, Bali Jazz Forum akan mengadakan festival berkala internasional pada 2005. "Kami sedang menyusun konsep festival itu," kata Arief.
Jangan bayangkan festival itu bakal seperti, misalnya, North Sea Jazz Festival, yang tiap tahun digelar di Den Haag, Belandasebuah festival akbar yang sudah berusia 27 tahun. Perlu kerja keras terus-menerus dan tempaan waktu yang panjang untuk bisa menyamainya. Bagaimanapun, penggemar jazz patut menaruh harapan pada rencana penyelenggaraannya. Siapa tahu berhasil dan bisa mendorong penyelenggaraan festival sejenis di tempat lain, atau setidaknya menjadi pengganti JakJazz, yang sudah lama tak terdengar lagi. Siapa tahu pula, dengan begitu, penggemar jazz bisa mencintai musik itu di dalam riuh sebagaimana halnya dengan penggemar musik yang lain. Syukur-syukur bisa mengilhami orang untuk menulis cerpen, atau malah novel, seperti Fitzgerald.
Purwanto Setiadi, Alit Kertaraharja (Denpasar), Hambali Batubara (Bandung), dan Heru C. Nugroho (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo