PUKUL 6 pagi di Bendungan Jago, Kemayoran, Jakarta. Linda Herawati, 32 tahun, berdandan. Suaminya, Slamet Sukotjo, 35 tahun, yang biasanya bercelana pendeh, mengenakan pantalon. Ke mana ? Ternyata, mereka berdua masuk ke kamar lagi -- sambil membawa botol kecil. Klek. Pintu ditutup rapat. Hari itu mereka ditunggu-tunggu. Kira-kira 7 km dari rumah mereka, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dokter Enud dan Dokter Soegiharto, menunggu "hasil kerja" mereka. Yaitu sperma Slamet. Produksi tak mudah bagi Slamet di pagi itu. "Karena disuruh dokter, saya jadi tegang sekali," tutur Slamet kemudian. "Akhirnya nggak bisa ke luar melulu." Di luar, anak mereka, yang berumur 6 tahun, (lahir dari Linda dengan suaminya yang pertama, yang sudah bercerai) ikut mengganggu konsentrasi. Andri mengetuk-ngetuk pintu, "Ibu, ngapain, sih. Jadi pergi nggak?" Yang di dalam kamar makin terbahak, bercampur kesal. Tapi mereka tetap mencoba. Sebuah ronde yang panjang. Namun, akhirnya, berhasil. Dan dan kamar itu mereka berangkatlah ke RSCM. Mereka telat dua jam dari janji. Tapi semboyan hari itu adalah biar lambat, asal selamat. Sebab, hari itu hari penting bagi lembaran cerita terjadinya seorang anak yang istimewa: dialah bayi tabung pertama yang diproses di Indonesia. Kisahnya bermula di tahun 1986. Slamet menikah dengan Linda. Sebulan lewat, benih tumbuh di rahim Linda yang bertubuh besar itu. Ini kehamilan yang ketiga buat wanita itu. Pertama, ketika ia mengandung Andri, tiga bulan sesudah menikah dengan suami pertama, seorang Surabaya yang kemudian bercerai darinya karena punya bini muda. Menyusul kehamilan kedua, selagi Andi baru berumur tiga bulan. Bayi lahir, tapi cuma berumur enam bulan. "Empedunya bocor sejak lahir," Linda mengenang. Kehamilan ketiga sekitar Maret 1986. Sayang, kandungan berusia sebulan itu gugur. "Mungkin karena saya kecapekan," katanya. Linda memang pantang menggaji pembantu. Mengepel lantai, mencuci, dan memasak, lebih baik dikerjakannya sendiri. "Biar nggak manja," kata perempuan berdarah Tionghoa ini. Keguguran itu punya efek panjang Linda merasa sangat kesakitan ketika jabang bayinya dikuret di sebuah rumah sakit. Dari rahimnya, darah terus mengalir selama empat minggu. Linda dibawa ke dokter kandungan di dekat rumah. Rahimnya kembali dibersihkan. Dokter bilang, rahim itu kena infeksi. Menyadari kondisi istrinya, Slamet enggan bercampur. Baginya, waktu itu, tak segera punya anak tak apa jadi soal. Hobi, dan sekaligus pekerjaannya -- mengutak-atik bis Metromini -- suka membuatnya lupa waktu. "Kalau sudah ketemu Metromini, saya bisa kerja dari jam 7 sampai 11 malam," kata pengusaha lima buah bis mini ini. Tapi Linda punya alasan. Menurut Slamet, istrinya takut kalau tak buru-buru punya anak. "Takut saya kain lagi," tutur Slamet. "Kalau punya anak 'kan ada ikatan." Rupanya, Linda memang "ngebet" betul. Atas petunjuk dokter langganannya itu, Linda dikirim ke ahli ginekologi dr. Enud Surjana. Akhir Mei, sperma Slamet diperiksa. Hasilnya, Slamet, yang punya 10 saudara kandung, dinilai "cukup subur". Tapi perut Linda belum juga berisi benih. "Abis dia kurang rajin, sih," kata Linda, ketawa cekikikan, sambil mencolek suaminya yang kalem dan sedikit lebih kecil itu. Pendeknya, masa subur lewat tanpa pembuahan. Dari dr. Enud, pengobatan lebih intensif dilakukan stafnya, dr. Soegiharto. "Kata dokter, rahim saya seperti balon yang sudah lama enggak ditiup. Karena pernah kena infeksi, jadi 'nempel," kata Linda, menirukan ucapan dokternya. Setelah memeriksakan darah, untuk mengetahui status hormonalnya, dan diobati, Linda kembali yakin ia akan bisa punya anak lagi. Alasannya: ia pernah hamil. Ia akhirnya memang hamil, tapi caranya luar biasa. Tanggal 1 Desember 1986, Linda dan Slamet diminta datang ke RSCM untuk menjalani "operasi". Sebenarnya, untuk mempertemukan sel telur dan jantan dengan metode GIFT. Slamet bercerita, sebenarnya operasi itu tanpa persetujuannya. Tapi Lindalah yang bertekad. Segala upayanya selama tujuh bulan itu atas kemauannya sendiri. Harapannya terkabul, dan membuat sejarah. Ahad pekan lalu, di rumah seluas 150 m2 itu, penghuni baru lahir. Andri punya adik. Siapa namanya, Andri ? "Akmal -- anak mahal," jawab si kakak dengan lantang. Menurut ibunya, si anak mahal lahir setelah ia menghabiskan Rp 2 juta. Bunga Surawijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini