TAK mengherankan kalau ada yang punya hobi mengumpulkan ular.
"Ular bukan binatang yang menjijikkan atau patut ditakuti. Apa
salah ular? Dia binatang yang sabar dan tak pantas dibunuh,"
kata Mohamad Hardi (29 tahun) dari Jakarta.
Hardi, yang dua bulan lalu dilantik menjadi sarjana geologi
pertambangan (Universitas Heidelberg - Jerman Barat), sudah
sejak 13 tahun yang lalu akrab dengan ular. Yaitu sejak ia
berkenalan dengan Leon Leopard, yang mengajarkannya untuk tidak
takut pada satwa melata itu. "Ular tak akan menggigit kalau tak
diganggu," ujarnya. Ia mahir menangkap ular tanpa jampi-jampi.
Modalnya adalah keberanian dan insting. Untuk menangkap ular
berbisa kadangkala ia masih memakai sarung tangan kulit.
"Asalkan tidak sembrono pasti selamat," ujarnya.
Kesukaan Hardi pada ular barangkali juga menurun dari ayahnya,
H. Hasyim Mohammad Alwi, yang kini menjabat Ketua Indonesian
Fauna Exporter. Hardi sendiri sejak masih belajar di Jerman
sudah memelihara beberapa ular piton di apartemennya. Binatang
itu ditaruh di dalam terarium--ruangan kaca yang berukuran
sekitar 1 m3. Diberi santapan 3 - 4 ekor ayam atau tikus putih
setiap 2 minggu. Setelah kenyang ular itu hanya melingkar,
bertapa kata orang. "Dalam keadaan begitu lebih baik jangan
diganggu, ia bisa galak, ketika menjalar justru berkurang
keagresifannya," kata Hardi.
Hardi tak mau disebut pawang. Ia menamakan dirinya penyayang
binatang. Ia selalu asyik menyaksikan binatang piaraannya
melahap mangsanya. Yang lebih mengasyikkan lagi adalah tatkala
ular berganti sisik. "Dengan sabar dia menggosok-gosokkan
tubuhnya ke ranting, begitu kulitnya mengelupas, kulitnya yang
baru nampak bercahaya," ujarnya.
Sebagai penyayang ular, Hardi marah kalau melihat orang
membunuh binatang tersebut. Bahkan kalau kepergok bangkai ular
di jalan ia merasa punya kewajiban moral untuk menguburkannya.
Kabarnya kalau tidak, ilmu menjinakkan ular akan sirna? Bagi
Hardi kewajiban itu hanya karena dorongan cinta.
Di Jerman menurut Hardi ada 5 ribu penggemar ular. Mereka
bergabung dalam sebuah klub yang bertemu dua bulan sekali. Ada
diskusi, ceramah atau tukar menukar koleksi. Ular piton
Indonesia yang panjangnya 2 - 3 meter sangat disukai.
Keistimewaannya karena kulit ular tersebut menjadi kuning
setelah berusia 3 bulan dan berubah lagi jadi hijau dalam umur 8
bulan. Harganya Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu.
Endin (68 tahun), dengan kemahirannya menangkap dan menjinakkan
ular di Bandung, juga tak mau disebut pawang. "Orang lain yang
menyebut pawang," katanya dengan merendahkan diri. "Pekerjaan
saya bisa dipelajari oleh siapa pun," katanya menambahkan.
Menurut Endin binatang punya perasaan seperti manusia bila
diganggu pasti membalas, kalau dibiarkan tidak akan menyerang.
"Binatang sebenarnya lebih takut kepada manusia," katanya lagi.
Selama bergaul dengan binatang ini Endin punya banyak
pengalaman. Apalagi ia bekerja di kebun binatang di Bandung
sejak 1935. Dari bawah kopiah hitamnya ia menceritakan bahwa
binatang mampu menangkap maksud manusia dengan nalurinya.
Omongan jorok pun bisa ia rasakan. Menurutnya binatang-binatang
buas tidak senang bila berhadapan dengan orang yang ragu-ragu.
Ia menasihatkan, bila sedang tidak pas, bimbang atau ragu,
apalagi takut, jangan dekat dengan binatang buas.
Suatu ketika ia kena naas. Waktu itu ia sedang bimbang. Tapi
dipaksakan juga mengambil ular cobra yang akan dipinjam untuk
latihan Wanadri (kelompok pencinta alam di Bandung). Tiba-tiba
si cobra mematuk tangannya. Ia langsung diangkat ke rumah sakit.
Hampir saja nyawanya melayang. Setelah dapat suntikan 118 kali
ia baru pulih. Dan tidak kapok. "Pengalaman justru menambah
pengetahuan saya," ungkapnya sambil memperlihatkan tangannya
yang kena patuk.
Berbeda dengan Endin dan Hardi, Alex S. dari Yogya (37 tahun)
adalah seorang pawang. Tidak saja akrab dengan ular, ia juga
"dekat" dengan harimau. Ia pandai pula menyembuhkan orang yang
kena patuk ular. Kepintaran ini pada mulanya adalah kesenangan
biasa. Pada usia 8 tahun ia merasa sudah senang ular. Fnam tahun
kemudian ia memperdalam ilmu ular dari seorang guru yang bernama
"S" yang tinggal di Gunung Semin di wilayah Gunung Kidul.
Mula-mula Alex diberi minum air putih yang sudah dijampi-jampi
oleh gurunya Setelah 4 kali datang, ia dites. Mula-mula ia
dicoba dengan gigitan ular yang tak berbisa. "Rasanya pedih dan
2 hari kemudian terasa gatal-gatal," kata Alex mengingat-ingat
pengalamannya. Itu dilakukan berulangkali sampai 9 tahun. Baru
di tahun 1965 Alex kebal. Digigit cobra pun ia tidak mempan kini
sudah 7 orang muridnya.
Dorongan utama memperdalam ilmu perpawangan itu, katanya, ingin
menolong orang yang digigit ular. "Karena saya tahu dokter sulit
mengobatinya" katanya lebih lanjut. Di Jalan Kemitan 9 Yogya
setiap hari ada saja yang datang untuk berobat. Gratis. "Sudah
menjadi sumpah saya: kalau orang datang minta tolong saya harus
datang ke rumah pasien walau pun ada di puncak gunung, malam
atau siang, hujan atau tidak," katanya dengan gagah.
Untuk itu, Alex hanya minta sebuah surat pernyataan sembuh yang
ditandatangani lurah. Itu, bagi Alex, harganya lebih dari Rp 10
ribu. "Saya sudah tak bisa menghitung berapa surat pernyataan
yang saya simpan sekarang dan semua itu untuk kebanggaan
anak-anak saya di kemudian hari," ucapnya.
Alex bukan orang mampu. Rumahnya berdinding gedek. Di rumahnya
banyak ular. Bahkan sampai jenis yang tak ada di kebun binatang
Gembira Loka. Empat dari 5 anaknya sudah dididik bergaul dengan
ular. Hanya istri dan anak perempuannya yang tidak ikut -- tapi
tak mengganggu kesenangan Alex itu.
Alex, yang hanya berpendidikan SMP, hidup dari profesi pawang.
Ia bekerja sebagai pawang ular di kebun binatang sejak 1975
dengan gaji Rp 50 ribu sebulan. Sejak 5 bulan ini ia juga
merangkap sebagai pawang harimau.
F.X. Soetono lain lagi. "Sahabat" para ular ini berasal dari
Tlawah (Purwodadi). Lahir, 29 Desember 1929, dan ketika usianya
10 tahun eyangnya menurunkan ilmu dengan cara yang luar biasa.
"Mulut saya diludahi dan disuruhnya menelan," katanya pada
TEMPO. Tapi waktu itu Soetono masih belum menyadari maksud sang
eyang. Sampai suatu ketika ia memperoleh tawaran untuk 'ndalang
wayang kulit di Desa Gemuk.
Dalam perjalanan mendadak Soetono dipatuk oleh seekor King
Cobra. Semunang jadi panik. Untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan kemudian dicari seorang dalang lagi yang
swaktu-waktu bisa menggantikan. Anehnya sampai pertunjukan
selesai, Soetono tetap segar bugar. Peristiwa itu memanggil
kenangan Soetono. Barulah sadar bahwa ia pernah ditulari kebal
ular dari eyangnya.
Sejak peristiwa itu Soetono memanfaatkan ilmunya. Di menangkap
bermacam-macam ular. Mula-mula sebagai koleksi, dirawat dan
disayangi. Banyak orang memperhatiknnya. Dan diamdiam kemudian
dia telah menjadi guru dari beberapa orang murid. Lalu ikut
dalam film Beranak Dalam Kubur. Sukses. Sejak itu sampai
sekarang tak kurang dari 48 buah film yang sudah dikutinya.
Soetono sebenarnya adalah tentara. Tentu saja sering sulit untuk
mengombinasikan kegiatan film dan tugas prajurit. Akhirnya ia
memilih. Kodam VII Diponegoro, yang sudah dihuninya sejak 23
tahun, terpaksa ditinggalkannya. Taman Hiburan Rakyat
Tegalwareng (Semarang) buru-buru menangkap dan memberinya
jabatan kepala Kebun binatang. Dan semua itu kembali gara-gara
kepintarannya memegang ular.
Pada 1975 ia membentuk sendratari ular--menari dengan ular-ular
bergelantungan di tubuh. Usaha ini pun sukses. Dengan sendratari
itu ia berhasil menjelajahi 193 buah kota di seluruh Indonesia
Bahkan sempat melompat ke mancanegara antara lain ke Australia,
Singapura, Malaysia, Bangkok, Hongkong, Taiwan, Jepang, India
dan Pakistan.
Di Singapura, Soetono pernah dicomot oleh Kaiyo Reptile Products
PTE Ltd, yang berlokasi di Lorong Jodoh 2 A. Di situ ada 800
ekor buaya. Soetono tidak takut. Dengan tenang ia memasuki
gelanggang dan mendemonstrasikan kebolehannya menaklukkan buaya.
Sukses lagi. Langsung disodori kontrak. Ia ditawar untuk bekerja
di situ dengan gaji Rp 400 ribu setiap bulan. Tapi dasar cinta
sama tanah air, lelaki jagoan ini hanya berkata "Akan saya pikir
dulu." Sebab berat juga meninggalkan Semarang Apalagi ia punya
mimpi baru ingin membuat kebun ular bertingkat internasional.
"Tapi itu baru akan terwujud kira-kira 3 tahun lagi," ujarnya.
Anehnya Soetono juga ogah disebut pawang. Ia sendiri tidak
mengerti mengapa bisa ular yang membahayakan dapat ditawarkan
oleh tubuhnya. "Bahkan telah menjadikan saya awet muda," ujar
lelaki yang berusia 51 tahun dan nampak kukuh itu Mukanya
memang tampak lebih muda dari usianya. Rupanya bisa ular memang
punya khasiat. Sampai-sampai banyak keluarga dan rekan-rekannya
meminta darahnya. Sebab darahnya sudah dianggap punya kekuatan
tertentu karena bercampur dengn macam-macam bisa ular.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini