Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dan Ular-Ular Pun Takut...

Para penyayang binatang ular/pawang ular bergaul dengan ular. ular adalah binatang yang lemah, pemalu dan sangat perasa. ular sebenarnya lebih takut pada manusia.

12 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK mengherankan kalau ada yang punya hobi mengumpulkan ular. "Ular bukan binatang yang menjijikkan atau patut ditakuti. Apa salah ular? Dia binatang yang sabar dan tak pantas dibunuh," kata Mohamad Hardi (29 tahun) dari Jakarta. Hardi, yang dua bulan lalu dilantik menjadi sarjana geologi pertambangan (Universitas Heidelberg - Jerman Barat), sudah sejak 13 tahun yang lalu akrab dengan ular. Yaitu sejak ia berkenalan dengan Leon Leopard, yang mengajarkannya untuk tidak takut pada satwa melata itu. "Ular tak akan menggigit kalau tak diganggu," ujarnya. Ia mahir menangkap ular tanpa jampi-jampi. Modalnya adalah keberanian dan insting. Untuk menangkap ular berbisa kadangkala ia masih memakai sarung tangan kulit. "Asalkan tidak sembrono pasti selamat," ujarnya. Kesukaan Hardi pada ular barangkali juga menurun dari ayahnya, H. Hasyim Mohammad Alwi, yang kini menjabat Ketua Indonesian Fauna Exporter. Hardi sendiri sejak masih belajar di Jerman sudah memelihara beberapa ular piton di apartemennya. Binatang itu ditaruh di dalam terarium--ruangan kaca yang berukuran sekitar 1 m3. Diberi santapan 3 - 4 ekor ayam atau tikus putih setiap 2 minggu. Setelah kenyang ular itu hanya melingkar, bertapa kata orang. "Dalam keadaan begitu lebih baik jangan diganggu, ia bisa galak, ketika menjalar justru berkurang keagresifannya," kata Hardi. Hardi tak mau disebut pawang. Ia menamakan dirinya penyayang binatang. Ia selalu asyik menyaksikan binatang piaraannya melahap mangsanya. Yang lebih mengasyikkan lagi adalah tatkala ular berganti sisik. "Dengan sabar dia menggosok-gosokkan tubuhnya ke ranting, begitu kulitnya mengelupas, kulitnya yang baru nampak bercahaya," ujarnya. Sebagai penyayang ular, Hardi marah kalau melihat orang membunuh binatang tersebut. Bahkan kalau kepergok bangkai ular di jalan ia merasa punya kewajiban moral untuk menguburkannya. Kabarnya kalau tidak, ilmu menjinakkan ular akan sirna? Bagi Hardi kewajiban itu hanya karena dorongan cinta. Di Jerman menurut Hardi ada 5 ribu penggemar ular. Mereka bergabung dalam sebuah klub yang bertemu dua bulan sekali. Ada diskusi, ceramah atau tukar menukar koleksi. Ular piton Indonesia yang panjangnya 2 - 3 meter sangat disukai. Keistimewaannya karena kulit ular tersebut menjadi kuning setelah berusia 3 bulan dan berubah lagi jadi hijau dalam umur 8 bulan. Harganya Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu. Endin (68 tahun), dengan kemahirannya menangkap dan menjinakkan ular di Bandung, juga tak mau disebut pawang. "Orang lain yang menyebut pawang," katanya dengan merendahkan diri. "Pekerjaan saya bisa dipelajari oleh siapa pun," katanya menambahkan. Menurut Endin binatang punya perasaan seperti manusia bila diganggu pasti membalas, kalau dibiarkan tidak akan menyerang. "Binatang sebenarnya lebih takut kepada manusia," katanya lagi. Selama bergaul dengan binatang ini Endin punya banyak pengalaman. Apalagi ia bekerja di kebun binatang di Bandung sejak 1935. Dari bawah kopiah hitamnya ia menceritakan bahwa binatang mampu menangkap maksud manusia dengan nalurinya. Omongan jorok pun bisa ia rasakan. Menurutnya binatang-binatang buas tidak senang bila berhadapan dengan orang yang ragu-ragu. Ia menasihatkan, bila sedang tidak pas, bimbang atau ragu, apalagi takut, jangan dekat dengan binatang buas. Suatu ketika ia kena naas. Waktu itu ia sedang bimbang. Tapi dipaksakan juga mengambil ular cobra yang akan dipinjam untuk latihan Wanadri (kelompok pencinta alam di Bandung). Tiba-tiba si cobra mematuk tangannya. Ia langsung diangkat ke rumah sakit. Hampir saja nyawanya melayang. Setelah dapat suntikan 118 kali ia baru pulih. Dan tidak kapok. "Pengalaman justru menambah pengetahuan saya," ungkapnya sambil memperlihatkan tangannya yang kena patuk. Berbeda dengan Endin dan Hardi, Alex S. dari Yogya (37 tahun) adalah seorang pawang. Tidak saja akrab dengan ular, ia juga "dekat" dengan harimau. Ia pandai pula menyembuhkan orang yang kena patuk ular. Kepintaran ini pada mulanya adalah kesenangan biasa. Pada usia 8 tahun ia merasa sudah senang ular. Fnam tahun kemudian ia memperdalam ilmu ular dari seorang guru yang bernama "S" yang tinggal di Gunung Semin di wilayah Gunung Kidul. Mula-mula Alex diberi minum air putih yang sudah dijampi-jampi oleh gurunya Setelah 4 kali datang, ia dites. Mula-mula ia dicoba dengan gigitan ular yang tak berbisa. "Rasanya pedih dan 2 hari kemudian terasa gatal-gatal," kata Alex mengingat-ingat pengalamannya. Itu dilakukan berulangkali sampai 9 tahun. Baru di tahun 1965 Alex kebal. Digigit cobra pun ia tidak mempan kini sudah 7 orang muridnya. Dorongan utama memperdalam ilmu perpawangan itu, katanya, ingin menolong orang yang digigit ular. "Karena saya tahu dokter sulit mengobatinya" katanya lebih lanjut. Di Jalan Kemitan 9 Yogya setiap hari ada saja yang datang untuk berobat. Gratis. "Sudah menjadi sumpah saya: kalau orang datang minta tolong saya harus datang ke rumah pasien walau pun ada di puncak gunung, malam atau siang, hujan atau tidak," katanya dengan gagah. Untuk itu, Alex hanya minta sebuah surat pernyataan sembuh yang ditandatangani lurah. Itu, bagi Alex, harganya lebih dari Rp 10 ribu. "Saya sudah tak bisa menghitung berapa surat pernyataan yang saya simpan sekarang dan semua itu untuk kebanggaan anak-anak saya di kemudian hari," ucapnya. Alex bukan orang mampu. Rumahnya berdinding gedek. Di rumahnya banyak ular. Bahkan sampai jenis yang tak ada di kebun binatang Gembira Loka. Empat dari 5 anaknya sudah dididik bergaul dengan ular. Hanya istri dan anak perempuannya yang tidak ikut -- tapi tak mengganggu kesenangan Alex itu. Alex, yang hanya berpendidikan SMP, hidup dari profesi pawang. Ia bekerja sebagai pawang ular di kebun binatang sejak 1975 dengan gaji Rp 50 ribu sebulan. Sejak 5 bulan ini ia juga merangkap sebagai pawang harimau. F.X. Soetono lain lagi. "Sahabat" para ular ini berasal dari Tlawah (Purwodadi). Lahir, 29 Desember 1929, dan ketika usianya 10 tahun eyangnya menurunkan ilmu dengan cara yang luar biasa. "Mulut saya diludahi dan disuruhnya menelan," katanya pada TEMPO. Tapi waktu itu Soetono masih belum menyadari maksud sang eyang. Sampai suatu ketika ia memperoleh tawaran untuk 'ndalang wayang kulit di Desa Gemuk. Dalam perjalanan mendadak Soetono dipatuk oleh seekor King Cobra. Semunang jadi panik. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan kemudian dicari seorang dalang lagi yang swaktu-waktu bisa menggantikan. Anehnya sampai pertunjukan selesai, Soetono tetap segar bugar. Peristiwa itu memanggil kenangan Soetono. Barulah sadar bahwa ia pernah ditulari kebal ular dari eyangnya. Sejak peristiwa itu Soetono memanfaatkan ilmunya. Di menangkap bermacam-macam ular. Mula-mula sebagai koleksi, dirawat dan disayangi. Banyak orang memperhatiknnya. Dan diamdiam kemudian dia telah menjadi guru dari beberapa orang murid. Lalu ikut dalam film Beranak Dalam Kubur. Sukses. Sejak itu sampai sekarang tak kurang dari 48 buah film yang sudah dikutinya. Soetono sebenarnya adalah tentara. Tentu saja sering sulit untuk mengombinasikan kegiatan film dan tugas prajurit. Akhirnya ia memilih. Kodam VII Diponegoro, yang sudah dihuninya sejak 23 tahun, terpaksa ditinggalkannya. Taman Hiburan Rakyat Tegalwareng (Semarang) buru-buru menangkap dan memberinya jabatan kepala Kebun binatang. Dan semua itu kembali gara-gara kepintarannya memegang ular. Pada 1975 ia membentuk sendratari ular--menari dengan ular-ular bergelantungan di tubuh. Usaha ini pun sukses. Dengan sendratari itu ia berhasil menjelajahi 193 buah kota di seluruh Indonesia Bahkan sempat melompat ke mancanegara antara lain ke Australia, Singapura, Malaysia, Bangkok, Hongkong, Taiwan, Jepang, India dan Pakistan. Di Singapura, Soetono pernah dicomot oleh Kaiyo Reptile Products PTE Ltd, yang berlokasi di Lorong Jodoh 2 A. Di situ ada 800 ekor buaya. Soetono tidak takut. Dengan tenang ia memasuki gelanggang dan mendemonstrasikan kebolehannya menaklukkan buaya. Sukses lagi. Langsung disodori kontrak. Ia ditawar untuk bekerja di situ dengan gaji Rp 400 ribu setiap bulan. Tapi dasar cinta sama tanah air, lelaki jagoan ini hanya berkata "Akan saya pikir dulu." Sebab berat juga meninggalkan Semarang Apalagi ia punya mimpi baru ingin membuat kebun ular bertingkat internasional. "Tapi itu baru akan terwujud kira-kira 3 tahun lagi," ujarnya. Anehnya Soetono juga ogah disebut pawang. Ia sendiri tidak mengerti mengapa bisa ular yang membahayakan dapat ditawarkan oleh tubuhnya. "Bahkan telah menjadikan saya awet muda," ujar lelaki yang berusia 51 tahun dan nampak kukuh itu Mukanya memang tampak lebih muda dari usianya. Rupanya bisa ular memang punya khasiat. Sampai-sampai banyak keluarga dan rekan-rekannya meminta darahnya. Sebab darahnya sudah dianggap punya kekuatan tertentu karena bercampur dengn macam-macam bisa ular.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus