MAJELIS Pertimbangan Pajak (MPP) masih saja santai. Kantornya di
tingkat 4 "Gedung Pajak", Jalan Gatot Subroto, Jakarta, sepi.
Tak banyak dikunjungi pencari keadilan, tak terdengar misalnya
teriakan protes para pengusaha yang merasa dipajak terlalu
tinggi. Tapi sejak diaktifkannya kembali MPP, 24 Juni yang
lalu, lembaga perwasitan antara kantor pajak dan pengusaha ini
mendapat sambutan cukup.
Berdasarkan undang-undang MPP terdiri dari seorang ketua, 2
orang anggota wakil Mahkamah Agung, 2 orang wakil Kadin
Indonesia dan seorang sekretaris dari Ditjen Pajak, dengan masa
jabatan 2 tahun. Di samping itu, keempa anggota mempunyai
anggota pengganti yang berfungsi jika anggota tetap berhalangan.
Untuk sekarang ini, sesuai dengan Keppres No. 84 tanggal 24
Juni, Presiden menunjuk Suryono Sastrohadikusumo sebagai ketua.
Sedang para anggotanya adalah Ny. Martini Notowidagdo SH dan Ny.
Poerbowati Djoko Soedomo (keduanya dari Mahkamah Agung). Yang
mewakili Kadin adalah Toto Bachri dan .dr. Rosita Syofyan Noor.
Sebagai anggota pengganti dari MA adalah Parmanto SH dan
Soekotjo SH. Anggota pengganti dari Kadin: H. Noer Amin dan
Chalil Baridjambek.
Daftar itu cukup mewakili. Paling sedikit, "aktifnya MPP, akan
banyak membantu para wajib pajak maupun pemerintah," komentar
seorang akuntan publik di Jakarta, awal pekan ini, penuh harap.
Antara wajib pajak dengan petugas pajak (fiskus) memang sering
terjadi saling tuding. Laporan keuangan perusahaan, dengan
alasan "diragukan kebenarannya," bisa ditolak oleh Kantor
Inspeksi Pajak (KIP). Kalau pun alasannya benar, wajib pajak
tetap berada di pihak yang kalah, si petugas pajak berpegang
pada pola klasik: "pungut dulu urusan belakangan." Atau timbul
saling mengerti yang disebut kompromi. Artinya pengusaha
membayar lebih rendah dari semestinya. Si petugas dapat
"amplop".
Menumpuk
Tak semua wajib pajak suka menempuh jalan kompromi. Mereka yang
menggunakan jasa akuntan publik--untuk memperoleh ksaksian
tentang benarnya pembukuan dan perhitungan laba--bisa membayar
pajak secara beres. Meskipun besar. Tapi tak semua perusahaan
mau (atau mampu) menggunakan jasa akuntan publik. Bila pajak
yang harus dibayarnya dianggapnya terlalu tinggi, ia bisa
menolak dan langsung mengadukannya ke Majelis Pertimbangan
Pajak.
Dapatkah dalam praktek lembaga peradilan pajak ini bekerja
lancar, setelah diaktifkan kembali? Bagi ketua MPP yang baru,
Suryono Sastrohadikusumo, serta para anggotanya, tugas berat
jelas sudah menanti. Sekitar 6.000 bundel map permohonan
banding kini menumpuk di sekretariat DPP. Begitu banyakya
hingga tidak cuma disimpan dalam limari, tapi juga di tas
meja-tulis yang dilayani cuma 3 orang pegawai plus seorang
sekretaris. "Sebagian besar tentang kasus Pajak Pendapatan
PPd), Pajak Perseroan (PPs) dan Pajak Penjualan (PPn)," kata Li
Badjuri, Sekretaris MPP lama yang diangkat kembali. Katanya lagi
"Kini rata-rata 100 berkas permohonan banding masuk setiap
bulannya."
Tidak diketahui berapa jumlah pajak yang jadi sengketa itu.
Menurut Badjuri "angka yang menjadi perselisihan itu berkisar
antara ratusan ribu sampai belasan juta rupiah." Namun sebelum
perkaranya diputus MPP, umumnya mereka itu menangguhkan
pembayaran pajak tahun berikutnya. Akibatnya bisa mengurangi
pendapatan pemerintah dari sektor pajak. Atau para wajib pajak
terus merasa diuber-uber.
Keluhan terhadap petugas pajak memang bukan hal baru. Misalnya
dari kasus PPd yang masuk ke sekretariat MPP, ala perusahaan
yang volume bisnisnya tetap. Jumlah dan gaji karyawannya pun tak
banyak bertambah, tapi petugas pajak menetapkan PPd 2-3 kali
lebih besar dari tahun sebelumnya. Bahkan, kata sebuah sumber
TEMPO, eksportir yang seharusnya tidak kena PPn berganda, toh
kena. Malah menurut sekretaris MPP, ada juga karena salah tulis.
Dari Koran
Dalam berurusan seperti itu, apa yang harus dilakukan? Sampai
akhir pekan lalu, ketua MPP dengan para anggotanya masih belum
berkenalan. "Bahkan surat pengangkatan saja belum saya terima.
Dan saya baru tahu dari koran," tutur dr. Rosita Syofyan Noor,
seorang pengusaha impor-ekspor dan distributor yang duduk di MPP
mewakili Kadin Indonesia.
Rosita sendiri, seorang dokter yang bisa muncul sebagai wanita
bisnis dan sekaligus model, merasa siap untuk bertugas. Tapi
katanya: jika perlu mengangkat tenaga profesional yang mengelola
lembaga setiap hari.
Nampaknya dianggap penting pula adanya batas waktu dalam memutus
perkara. Bahkan seorang anggota MPP menyarankan, untuk lancarnya
MPP dan tidak bertele-telenya sidang, jika perlu majelis
mengambil keputusan berdasarkan pemungutan suara.
Dapat dimengerti saran itu. Dari tumpukan perkara yang terbenam
di sekretariat MPP itu misalnya ada yang masuk tahun 1972, namun
sampai kini belum diputus. Seorang anggota yang baru diangkat
juga mengusulkan agar MPP dibenarkan untuk memintakan
pemberhentian atau mutasi terhadap fiskus yang melakukan
kesalahan 3 kali. Sebaliknya juga wajib pajak yang mengadu
secara tidak benar perlu dihukum. Untuk ini hendaknya MPP juga
diberi hak saran kepada Departemen Perdagangan dan Koperasi
untuk mencabut izin perusahaan yang seperti itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini