Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

"Kerukunan Yang Bukan Kepentingan"

Wadah musyawarah antar umat beragama dibentuk. kebutuhan dialog sewaktu-waktu dirasakan, tapi dipertimbangkan kemungkinan dirugikan.

12 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA sebenarnya yang dikhawatirkan kalangan pemuka Islam, dalam hal pembentukan sebuah lembaga antar agama? Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama, 30 Juni kemarin diresmikan Menteri Agama di Jakarta-dengan tanda tangan para wakil dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), Majelis Waligereja Indonesia (MAWI), Parisadha Hindu Dharma dan Walubi (Perwalian Umat Budha Indonesia). Dalam acara di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto itu, Menteri tak lupa menyinggung dipilihnya nama 'wadah' --dan bukan 'badan'. Dan meski Alamsyah mengharap hal itu "tidak akan mengurangi eksistensi dan integritas majelis-majelis agama", namun kelihatan bahwa itulah hasil terjauh yang bisa dicapai, setelah segala pendekatan selama ini: sebuah tempat yang longgar, bukan sebuah organisasi yang berpengurus, sedang para wakilnya tidak dihargai berdasar besar-kecil jumlah pengikut. Tugas para wakil itu pun, juga disebut dalam Pedoman Dasar, hanya mengadakan pertemuan sewaktu-waktu bila diperlukan, "baik atas undangan Menteri Agama maupun atas permintaan salah satu atau lebih Majelis Agama." Kekhawatiran terhadap bentuk yang lebih "mengikat" dari wadah semacam di atas, sudah beberapa hari sebelumnya didengar. Misalnya dari kalangan NU dan Muhammadiyah--dua golongan keagamaan Islam yang paling besar -- juga dari Partai Persatuan Pembangunan. Baik Muhammadiyah maupun NU hanya bisa menerima sebuah wadah yang bersifat melulu konsultatif, dan tidak permanen. Juga hanya ada di Pusat. Tentang yang terakhir ini Sekjen PBNU, H.M. Munasir, mengingatkan kemungkinan pembentukan wadah tersebut di daerah-daerah hanya bisa menimbulkan masalah yang peka. Jalan pikirannya, seperti disiarkan Pelita: bisa terjadi, suatu agama yang di satu daerah tak ada pemeluknya, atau minoritas yang tak berarti, diwakili juga dalam wadah seperti itu. Namun, seperti dikatakan KH Syukri Gozali, Ketua I MUI yang menandatangani pembentukan wadah tersebut, betapa pun "PB NU tak menghalangi terbentuknya wadah itu." Ini bisa berarti bahwa mereka bukan sama sekali menolak sebuah jembatan antar agama -- walaupun, seperti dikatakan Tengku Saleh dari Fraksi PP, "untuk itu sebenarnya sudah ada Departemen Agama." Ketua I MUI tersebut memang mengakui adanya anggapan, bahwa dengan wadah tersebut seakan score untuk umat Islam adalah 1:4," katanya kepada TEMPO. Ia sendiri mengucap syukur,bahwa "masih ada umat Islam yang mengkhawatirkan hal itu." Tapi juga menyanggah: "Sesungguhnya tidak begitu. Dalam tata tertib yang ditandatangani, dalam pengambilan keputusan, bila tak ada kesepakatan maka keputusan diundur. Dan tidak ada voting.' Sebaliknya, Syukri menunjukkan pentingnya wadah ini--juga dipandang dari ajaran Islam: "untuk kepentingan umum, untuk kesatuan bangsa." Itikad baik seperti itulah yang tentunya juga dimiliki majelis agama-agama lainnya. Sehingga seperti dikatakan Dr. Riberu, Kepala Bagian Riset Majelis Agung Waligereja Indonesia, wadah tersebut "bukan organisasi yang dibuat-buat." Sambil mengingatkan bahwa Menteri Agama hanyalah "meresmikan", ia menunjuk perlunya sebagai forum pengembangan dialog yang lebih efisien. "Sehingga praduga-praduga yang sering timbul--dan selalu tak tepat-bisa dijernihkan." Atau, seperti dikatakan Suparto Hs. dari Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi): "Masalah yang pasti ada itu bisa dicarikan titik temunya." Kode Etik Bahkan Ridwan Saidi, anggota DPR dari FPP, mengingatkan bahwa tidak seharusnya wadah antar agama ditolak secara apriori--lebih-lebih bila sifatnya akan menjadi semacam Dewan Kehormatan Pers, yang terutama berurusan dengan kode etik. Sebab, katanya, sejak 1963 hubungan antar agama memang mengalami beberapa gangguan yang berhubungan dengan masalah etik, sedang "masyarakat tidak mampu menemukan konsensus atas konflik-konflik yang terjadi dalam tubuhnya sendiri. Apa boleh buat, usaha penyelesaian akhirnya diambil-alih oleh birokrasi." Meski begitu, mengomentari pernyataan NU dan Muhammadiyah, ia dapat memahami kekhawatiran terhadap dibentuknya wadah tersebut di daerah. "orang melihat dari pengalaman," katanya, "bahwa lembaga yang tadinya dikatakan hanya dibentuk di Pusat, akhirnya toh didirikan juga di pelosok." Tapi mengapa kalau begitu? "Umat Islam akan lebih merasa bahwa mereka hanya dianggap 1/5." Mungkin, memang, hal itu tak baru terjadi bila persoalan disadari sejak dini betapa pun, seperti dikatakan Dr. S.A.E. Nababan, Sekjen DGI yang turut menandatangani pembentukan wadah tersebut, "para pemimpin agama itulah nanti yang tak membuktikan pentingnya wadah itu bagi kerukunan bersama. Dengan kata. Lain, seperti disebut Syukri Gozali: asal "manfaatnya bisa tumbuh, kalau wadah tersebut bukan untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus