APA sebenarnya yang dikhawatirkan kalangan pemuka Islam, dalam
hal pembentukan sebuah lembaga antar agama? Wadah Musyawarah
Antar Umat Beragama, 30 Juni kemarin diresmikan Menteri Agama di
Jakarta-dengan tanda tangan para wakil dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), Majelis
Waligereja Indonesia (MAWI), Parisadha Hindu Dharma dan Walubi
(Perwalian Umat Budha Indonesia).
Dalam acara di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto itu, Menteri
tak lupa menyinggung dipilihnya nama 'wadah' --dan bukan
'badan'. Dan meski Alamsyah mengharap hal itu "tidak akan
mengurangi eksistensi dan integritas majelis-majelis agama",
namun kelihatan bahwa itulah hasil terjauh yang bisa dicapai,
setelah segala pendekatan selama ini: sebuah tempat yang
longgar, bukan sebuah organisasi yang berpengurus, sedang para
wakilnya tidak dihargai berdasar besar-kecil jumlah pengikut.
Tugas para wakil itu pun, juga disebut dalam Pedoman Dasar,
hanya mengadakan pertemuan sewaktu-waktu bila diperlukan, "baik
atas undangan Menteri Agama maupun atas permintaan salah satu
atau lebih Majelis Agama."
Kekhawatiran terhadap bentuk yang lebih "mengikat" dari wadah
semacam di atas, sudah beberapa hari sebelumnya didengar.
Misalnya dari kalangan NU dan Muhammadiyah--dua golongan
keagamaan Islam yang paling besar -- juga dari Partai Persatuan
Pembangunan. Baik Muhammadiyah maupun NU hanya bisa menerima
sebuah wadah yang bersifat melulu konsultatif, dan tidak
permanen. Juga hanya ada di Pusat. Tentang yang terakhir ini
Sekjen PBNU, H.M. Munasir, mengingatkan kemungkinan pembentukan
wadah tersebut di daerah-daerah hanya bisa menimbulkan masalah
yang peka. Jalan pikirannya, seperti disiarkan Pelita: bisa
terjadi, suatu agama yang di satu daerah tak ada pemeluknya,
atau minoritas yang tak berarti, diwakili juga dalam wadah
seperti itu.
Namun, seperti dikatakan KH Syukri Gozali, Ketua I MUI yang
menandatangani pembentukan wadah tersebut, betapa pun "PB NU tak
menghalangi terbentuknya wadah itu." Ini bisa berarti bahwa
mereka bukan sama sekali menolak sebuah jembatan antar agama --
walaupun, seperti dikatakan Tengku Saleh dari Fraksi PP, "untuk
itu sebenarnya sudah ada Departemen Agama."
Ketua I MUI tersebut memang mengakui adanya anggapan, bahwa
dengan wadah tersebut seakan score untuk umat Islam adalah
1:4," katanya kepada TEMPO. Ia sendiri mengucap syukur,bahwa
"masih ada umat Islam yang mengkhawatirkan hal itu." Tapi juga
menyanggah: "Sesungguhnya tidak begitu. Dalam tata tertib yang
ditandatangani, dalam pengambilan keputusan, bila tak ada
kesepakatan maka keputusan diundur. Dan tidak ada voting.'
Sebaliknya, Syukri menunjukkan pentingnya wadah ini--juga
dipandang dari ajaran Islam: "untuk kepentingan umum, untuk
kesatuan bangsa."
Itikad baik seperti itulah yang tentunya juga dimiliki majelis
agama-agama lainnya. Sehingga seperti dikatakan Dr. Riberu,
Kepala Bagian Riset Majelis Agung Waligereja Indonesia, wadah
tersebut "bukan organisasi yang dibuat-buat." Sambil
mengingatkan bahwa Menteri Agama hanyalah "meresmikan", ia
menunjuk perlunya sebagai forum pengembangan dialog yang lebih
efisien. "Sehingga praduga-praduga yang sering timbul--dan
selalu tak tepat-bisa dijernihkan." Atau, seperti dikatakan
Suparto Hs. dari Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi):
"Masalah yang pasti ada itu bisa dicarikan titik temunya."
Kode Etik
Bahkan Ridwan Saidi, anggota DPR dari FPP, mengingatkan bahwa
tidak seharusnya wadah antar agama ditolak secara
apriori--lebih-lebih bila sifatnya akan menjadi semacam Dewan
Kehormatan Pers, yang terutama berurusan dengan kode etik.
Sebab, katanya, sejak 1963 hubungan antar agama memang mengalami
beberapa gangguan yang berhubungan dengan masalah etik, sedang
"masyarakat tidak mampu menemukan konsensus atas konflik-konflik
yang terjadi dalam tubuhnya sendiri. Apa boleh buat, usaha
penyelesaian akhirnya diambil-alih oleh birokrasi."
Meski begitu, mengomentari pernyataan NU dan Muhammadiyah, ia
dapat memahami kekhawatiran terhadap dibentuknya wadah tersebut
di daerah. "orang melihat dari pengalaman," katanya, "bahwa
lembaga yang tadinya dikatakan hanya dibentuk di Pusat, akhirnya
toh didirikan juga di pelosok." Tapi mengapa kalau begitu? "Umat
Islam akan lebih merasa bahwa mereka hanya dianggap 1/5."
Mungkin, memang, hal itu tak baru terjadi bila persoalan
disadari sejak dini betapa pun, seperti dikatakan Dr. S.A.E.
Nababan, Sekjen DGI yang turut menandatangani pembentukan
wadah tersebut, "para pemimpin agama itulah nanti yang tak
membuktikan pentingnya wadah itu bagi kerukunan bersama.
Dengan kata. Lain, seperti disebut Syukri Gozali: asal
"manfaatnya bisa tumbuh, kalau wadah tersebut bukan untuk
memperjuangkan kepentingan masing-masing."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini