Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Daya Penghidu Berkurang, Pikun Datang

Penelitian terbaru tentang alzheimer menemukan bahwa deteksi awal penyakit degeneratif bisa dilakukan melalui indra penciuman. Bila daya pengendus seseorang berkurang, ada kemungkinan hal itu merupakan awal dari alzheimer. Deteksi dini penyakit kepikunan itu penting karena dalam dua dasawarsa mendatang penyakit ini diperkirakan menjadi pembunuh nomor empat.

25 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang kawan pulang ke rumah dari sebuah pesta perkawinan. Di rumah, dia tak menjumpai istrinya. Dia langsung mengontak telepon seluler bini­nya. Terjadilah dialog.

”Ma, kamu di mana?” katanya.
”Aku di pesta perkawinan. Kamu lagi di mana?”
”Pesta perkawinan siapa? Aku di rumah, nih.”
”Lo?” istrinya bingung.

Maklum, suami-istri itu sebelumnya pergi berdua ke pesta tersebut.

Guyonan seperti ini beredar di kalangan dokter spesialis saraf, terutama yang biasa mengurusi alzheimer. ”Peristiwa tersebut tanda-tanda seseorang terserang penyakit alzheimer,” kata dokter spesialis saraf Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta, Samino.

Masalahnya, lupa semacam itu sering dianggap sepele. Orang menganggap hal itu sebagai lupa biasa. Bahkan ada yang merasa lupa itu keren—karena orang yang banyak urusanlah yang bisa lupa ini dan itu, sehingga dibutuhkan seorang sekretaris untuk mengingatkan setiap aktivitasnya.

Nah, untuk menambah kewaspadaan apakah ”lupa” seseorang itu meng­arah ke alzheimer, riset terbaru Da­niel W. Wesson dari New York University School of Medicine dan Nathan S. Kline dari Institute for Psychiatric Research New York memberikan jawaban. Penelitian yang dimuat Journal of Neuro­science bulan ini tersebut membuktikan bahwa memburuknya indra penciuman merupakan gejala awal penyakit itu.

”Masuk akal, karena saraf penciuman adalah garda depan yang berhubungan ke retina, lalu ke pusat otak,” ujar Samino, yang juga Ketua Asosiasi Alzheimer Indonesia, kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Terganggunya penciuman adalah akibat terjadinya gumpalan sel-sel protein amiloid (plak amiloid) yang kemudian mengakibatkan kerusakan sel-sel saraf itu. Karena plak amiloid tersebut, indra penciuman kesulitan membedakan bau-bauan atau membutuhkan waktu cukup lama untuk mengendus dan mengingatnya.

Sensasi penghiduan atau penciuman tersebut diperantarai oleh stimulasi sel bernama nervus olfaktorius. Untuk menggerakkan sel saraf tersebut, molekul yang terdapat di dalam udara harus mengalir melalui rongga hi­dung dengan arus udara yang cukup turbulensinya. Nah, plak amiloid terjadi, antara lain, karena asupan nutrisi yang tak cukup mampu memenuhi kebutuhan daya gerak sel saraf. ”Merokok, menenggak minum­an alkohol, dan kurang olahraga juga menyebabkan sel saraf pada indra penciuman membunuh dirinya sendiri,” ujar bekas Direktur Rumah Sakit Cipto ­Ma­ngunkusumo, Jakarta, itu.

Di dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor sel. Sel olfaktorius bersifat unik karena secara terus-menerus dihasil­kan sel-sel basal yang terletak di bawahnya, kurang-lebih setiap 30-60 hari. Jika mati, saraf memori makin tak dapat diandalkan. ”Akibatnya, terjadi percepatan serangan alzheimer,” ujar dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.

Alzheimer, menurut Samino lagi, umumnya terjadi pada orang berusia 60 tahun ke atas. Penyakit itu ditandai dengan menurunnya daya ingat serta daya pikir. ”Jika seseorang begitu mudah melupakan hal-hal yang baru dilakukannya, bisa jadi itu merupakan gejala alzheimer,” katanya. Kalau tidak segera ditangani, ini akan berentet ke gangguan fungsi kognitif lain, yang di dalam otak terletak di bagian depan (frontal), misalnya fungsi berbahasa dan berbicara, pengambilan keputusan, serta fungsi kejiwaan dan perilaku.

Biasanya penderita tak menyadari kepikunannya itu. ”Maka keluarga atau orang ­terdekatnya yang harus was­pada,” ujarnya. Lupa ingatan pada penderita ­alzheimer biasanya pada peristiwa yang baru saja terjadi. ”Kalau ingatan lama, biasanya masih tersimpan dengan baik dan bisa di-recall kembali,” ujarnya.

Dokter Samino pernah punya pasien penderita alzhei­mer berat berusia 67 tahun. Mereka baru saja bertemu di ruang pasien, tapi saat ke luar ruang­an dan Samino segera menyusul­-nya, si pasien sudah lupa. ”Sel-selnya sudah rusak, padahal untuk usia seperti itu seharusnya belum separah itu,” katanya.

Umumnya, penderita alzhei­mer dimulai pada usia 60-65 tahun—sembilan persen penduduk Indonesia. Dari semua penduduk usia itu, yang terkena kepikunan 1,3 persen. Makin tua, risiko alzheimer meningkat menjadi tiga kali lipat. Pada 2030, penderita alzheimer di Indonesia akan menempati urutan keempat dunia, setelah India. Badan Kesehatan Dunia (WHO) merilis, pada 2050, alzheimer menjadi pembunuh nomor empat di dunia.

Penderita alzheimer kebanyakan perempuan. Diduga penyebabnya adalah faktor hormon estrogen yang berhenti diproduksi pada masa menopause. ”Menopause perempuan bisa dibandingkan dengan andropause pada laki-laki,” katanya. Namun, dibanding pada penderita perempuan, alzheimer pada laki-laki lebih cepat berakibat kematian.

Jika alzheimer terjangkit pada orang yang berusia kurang dari 60 tahun, biasanya itu karena keturunan. ”Setelah ditelusuri dalam hierarki keluarganya, ada penderita alzheimer,” ujar Samino. Kepikunan di usia muda juga bisa dipicu keracunan logam berat, seperti aluminium, merkuri, dan pupuk kimia. Logam berat itu berperan pada kematian sel-sel saraf.

Mengejar target dan dalam tekanan stres terus-menerus juga menjadi salah satu faktor penyebab alzheimer. Pene­litian Samino terhadap tingkat stres seseorang membuktikan bahwa semakin tinggi stres semakin mengganggu pertumbuhan sel. Stres yang menekan terus-menerus mengakibatkan perkembangan serabut sel-selnya pendek, sedangkan sel yang tidak sering mengalami stres tumbuh dengan sehat.

Alzheimer juga bisa terjadi bila se­seorang sudah terkena penyakit lain, seperti stroke, hipertensi, diabetes, trauma, dan cedera otak. Menurut dokter spesialis saraf Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading. F. Yudiarta, agar alzheimer tidak terjadi, penyakit penyebab itulah yang disembuhkan atau ditangani. ”Kalau stroke, ya stroke-nya dulu yang diobati,” ujarnya.

Di rumah sakit tempat Yudiarta berpraktek, setiap tahun hanya ada sepuluh pasien alzheimer ”murni”. ”Selama tujuh tahun di sini, banyak pasien alzheimer karena penyakit lain,” ujar dokter lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung, itu.

Untuk menjaga agar alzheimer tidak merambat terlalu jauh ke kemampuan otak lain, obat yang diberikan masih bersifat simtomatik, yaitu menahan gejala dan menghambat kematian sel-sel terlalu cepat. Sedangkan terapi bukan obat (nonfarmakologis) bisa dilakukan dengan memberikan asupan nutrisi seperti buah, sayur yang mengandung antioksidan, vitamin C dan A, serta ikan yang mengandung omega 3, misalnya tuna atau salmon. Terapi lain adalah merangsang otak dengan membaca, menulis intisari yang di­baca, main catur, main petak umpet, mendengarkan musik klasik, berdansa, melukis, dan sebagainya.

Cara lain untuk mencegah alzheimer, menurut Samino, melalui saraf penciuman, yaitu dengan menghidu aroma terapi dengan bau tertentu. Samino pernah ikut konferensi dokter spesialis saraf di Singapura, yang memperkenalkan terapi menghirup bau tertentu untuk mencegah alzhei­mer. ”Sederhana, air hangat dicampur cairan aroma terapi tertentu, lalu kepala kita dikru­kup sambil ­menghi­rup uap aroma itu,” ujarnya.

Baik Yudiarta maupun Samino sepakat, gaya hidup sehat dan menggunakan otak lebih bijak akan mencegah datangnya alzheimer lebih awal.

Ahmad Taufik

Dari Hidung Sampai ke Otak

1. Dari hidung—nervus olfaktorius—penciuman dimulai, masuk dan menjalar ke arah saraf di bagian retina mata, lalu tersambung pada pusat saraf memori di hippocampus.

2. Jika tak digunakan dengan bijak, akan menjalar dan merusak bagian otak depan (frontal) tempat fungsi kognitif (berbicara, berbahasa, mengambil keputusan, dan sebagainya).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus