Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahasa Indonesia pada dasarnya adalah bahasa yang kaku, agak formalistik, dan kurang santai. Pada era Orde Baru, bahasa Indonesia yang tak santai ini makin gerah karena dibebani feodalisme yang membedakan penggunaan bahasa bagi mantan menteri dengan bagi bekas tukang parkir, mantan pejabat dengan bekas penjahat. Srimulat selalu menggunakan campuran bahasa daerah dalam banyolan mereka untuk menciptakan suasana santai. Kalau ingin memancing tawa, mereka menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, karena di tangan mereka, formalitas bahasa Indonesia jadi benar-benar menggelikan.
Untuk membuat pergaulan menjadi lebih nyaman, dimunculkanlah ”bahasa gaul”. Dalam tempo singkat, bahasa gaul merebak di mana-mana berkat peran para selebritas sebagai pengguna utamanya. Selebritas di Indonesia menempati posisi penting lebih dari selebritas di berbagai negara lain. Setinggi dan sedalam apa pun ilmu sang ulama, mereka cuma dijadikan figuran dalam acara TV bulan Ramadan dibanding selebritas. Berbagai penyuluhan mulai kesehatan, keluarga berencana, hukum, lalu lintas, hingga demokrasi pun, diamanatkan tidak lain tidak bukan di pundak para selebritas. Dengan posisi ”selebritas uber alles” tersebut, tak mengherankan jika bahasa gaul segera mendominasi cara berbahasa di Indonesia, hingga orang Flores yang bahasa Indonesianya indah, baik, dan benar melebihi kemampuan berbahasa kebanyakan politikus itu kini tampak keder dan merasa terkucil ketinggalan zaman. Beberapa pejabat dan pengamat ini-itu bahkan mulai gemar menggunakan ragam bahasa gaul dalam talk show mereka.
Memang bahasa gaul jauh lebih santai dan nyaman dalam komunikasi. Sayangnya, ia tidak dapat digunakan untuk berpikir, merenung, dan berimajinasi. Cobalah menyadur teks filsafat, teks sastra, atau teks ilmu pengetahuan dengan bahasa gaul dan lihat sendiri hasilnya!
Bahasa gaul semacam subversi bagi formalitas bahasa baku. Kaum kulit hitam Amerika atau peranakan India awalnya memang gagap berbahasa Inggris baku sehingga sering dilecehkan dan ditertawakan. Namun kini mereka yang menguasai dengan baik bahasa Inggris baku pun kerap dengan sengaja melakukan subversi pada bahasa Inggris resmi. Beberapa menghasilkan pencapaian yang mencengangkan, sebagaimana ditunjukkan oleh Toni Morrison, penulis Afro-Amerika, dan V.S. Naipaul, penulis peranakan India. Keduanya mendapat Hadiah Nobel di bidang sastra.
Hal yang sama terjadi dengan bahasa Belanda yang digunakan kaum Indo di masa kolonial. Bahasa Belanda mereka yang ”aneh” dan sama sekali tak baku itu dinamai bahasa Petjoek. Penggunaan bahasa Petjoek di kalangan Indo jelas menjadi bahan ejekan dan tertawaan orang-orang Belanda tulen, baik karena logatnya maupun karena struktur bahasanya yang nekat dan dianggap norak. Dengar saja lagu Tante Lien, Geef Mij Maar Nasi Goreng, yang luar biasa populer di kalangan Indo Belanda.
Namun Tjalie Robinson (nama aslinya Jan Boon, nama samarannya yang lain Vincent Mahieu) justru tidak menyembunyikan identitasnya sebagai orang Indo. Di majalah Orientatie ia bahkan mengakui dirinya sebagai ”Si Tjalie Anak Betawi”. Selain menulis cerpen-cerpen dalam bahasa Belanda baku, ia menulis master piece-nya justru dalam bahasa Petjoek, yakni Piekerans van een straatslijper (Pikiran-pikiran seorang tukang kluyuran). Orang-orang Belanda terpukau dan tak lagi bisa tertawa sinis atau melecehkannya.
Sejauh ini sulit dibayangkan para selebritas akan bersusah payah memperjuangkan bahasa gaul melalui pencapaian seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Lagi pula, kalau seorang pemain sinetron atau pelawak jauh lebih makmur, dihormati, dan dipercaya mengemban urusan besar dibanding para guru besar, ilmuwan, dan peneliti, mengapa pula mereka harus berpikir keras dan mendalam, yang di Indonesia jelas tak membawa manfaat.
Lahirnya bahasa gaul sendiri merupakan gejala yang sehat. Ia memaksa bahasa baku untuk mawas diri. Namun ia menjadi tidak sehat ketika mulai mendominasi penggunaan berbahasa bahkan di forum-forum yang tidak patut menggunakan bahasa gaul. Ia juga menjadi tidak sehat manakala masyarakat di berbagai pelosok Indonesia mulai dipaksa tergopoh-gopoh memahami dan menggunakan bahasa gaul yang jauh dari pengalaman batin mereka. Penggunaan bahasa gaul yang kelewat dominan akan membuat penggunanya menjadi enggan berpikir, merenung, dan berimajinasi. Bagaimana jika bangsa Indonesia didominasi oleh tuturan yang membuat orang tidak berpikir, enggan merenung, malas berimajinasi? Khazanah bahasa gaul memiliki jawabannya: ”Emangnya gue pikirin!”
Masihkah kita berharap dan memimpikan sebuah bahasa Indonesia yang anggun dan luas terbuka sebagai wahana perenungan, pemikiran, dan berimajinasi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo