Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Naga Bonar dari Kinayungan

Karier militer jenderal nyentrik ini tak begitu bersinar. Ia jaya sebagai pengusaha.

25 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMBOK Rumah Sakit Mitra Kemayoran, Jakarta, tak bisa mengungkung hasrat berburu Herman Sarens Soediro. Kendati masih terbaring lemah karena penyakit ginjal dan darah tinggi, pensiunan jenderal bintang satu TNI itu mengaku yakin mampu melakoni hobinya itu. ”Kalau sekarang diizinkan, saya siap berburu,” kata Herman kepada Tempo, yang menjenguknya pada Jumat pekan lalu.

Di usianya yang menjelang kepala delapan, Herman seharusnya hidup tenang bersama 16 cucunya. Namun ia justru kesandung masalah hukum karena dituduh menyalahgunakan wewenang pengadaan tanah di Jalan Warung Buncit 301, Jakarta Selatan. Ketika itu, pada 1966, dia menjabat Komandan Brigade Satuan Tugas Angkatan Darat. Selasa pekan lalu, ia dijemput paksa oleh polisi militer di rumah putrinya di Serpong, Tangerang.

Lahir dari ayah tentara, Herman menapak karier militer di Tentara Pelajar Siliwangi sebelum kemerdekaan. Di kompi ini, pria kelahiran Pandeglang itu bertemu dengan sahabatnya, Solihin Gautama Poerwanegara. Menurut Solihin, Herman pernah bergabung memerangi pemberontakan DI/TII dan PKI Madiun 1948. Keduanya terakhir bertugas bersama di Kodam Siliwangi, Jawa Barat, pada 1950.

Herman mengenang, selama menjadi prajurit, ia kerap menyantap nasi tim ikan peda. Saking seringnya, menu itu akhirnya justru menjadi makanan favorit. ”Karier saya cepat, umur 15 sudah letnan,” katanya. Di tanah Parahyangan ini, Herman bertemu Rieke Riehana, putri wedana Cianjur. Dari hasil pernikahannya dengan Rieke, Herman dikaruniai tiga anak. Namun, pada 1957, keduanya bercerai. Belum genap setahun, Herman menikah lagi dengan Tianawati, perempuan blasteran Jerman Belanda, dan mendapat satu anak.

Karier militernya makin kinclong setelah ia dipindah ke Jakarta. Herman pernah menjadi Asisten Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Achmad Yani. Kala itu ia juga dekat dengan Soeharto. Ketika Gerakan 30 September meletus, Letnan Kolonel Herman diutus Soeharto menemui Komandan Kostrad, Sarwo Edhie Wibowo. Dalam wawancara Tempo pada awal Oktober 1978, Sarwo Edhie mengatakan, Herman datang mengendarai tank dan memakai topi baja. ”Karena curiga, saya lucuti dia,” katanya.

Ketika Soeharto menjadi pejabat Presiden RI, Herman diminta menyiapkan istal untuk 100 kuda yang dibeli Soeharto dari Pakistan. Nah, dibelilah tanah di Warung Buncit itu. Di sana juga dibangun fasilitas olahraga ABRI yang diberi nama Satria Kinayungan. Atas jasanya itu, Herman dipromosikan menjadi brigadir jenderal. Pada 1967, Herman menikahi janda kedua Achmad Yani, Khadijah.

Hubungannya dengan Soeharto renggang ketika Herman mengkritik pembebasan tahanan PKI di Pulau Buru. Sejak itu kariernya redup. Pada 1974, ia ”dibuang” menjadi Duta Besar Madagaskar, Afrika Selatan. Empat tahun di sana, Herman sering melakoni hobi berburu. Tak lama setelah menjadi duta besar, Herman pensiun.

Setelah purnawirawan, Herman menjadi promotor tinju. Ia mendirikan sasana tinju di Kinayungan. Petinju pertama yang ia promotori adalah Saoul Mamby, yang saat itu akan bertanding dengan juara dunia tinju kelas ringan WBC dari Amerika, Thomas Americo. ”Ellyas Pical juga besar di Kinayungan,” katanya. Aktif di olahraga, ia pun dekat dengan Adhyaksa Dault, mantan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.

Kesibukan Herman yang lain adalah menjadi bintang film. Pada akhir 1980-an, ia sudah membintangi 12 film. ”Pendapatannya lumayan, satu film Rp 5 juta,” katanya. Herman juga aktif sebagai ketua dewan penasihat paguyuban artis. Di sini Herman mengenal Theresia Blezinsky, kakak Tamara Blezinsky. Sempat beredar kabar, keduanya menikah. Namun hal itu dibantah Herman. ”Dia saudara,” katanya.

Di kalangan artis, Herman dikenal sebagai pribadi nyentrik. Dengan dandanan ala koboi, ia kerap dijuluki Jenderal Naga Bonar. Solihin juga punya cerita tentang kenyentrikan Herman. Dalam acara peringatan penculikan Bung Karno, Herman berseragam serdadu Jepang bersamurai.

Di dunia otomotif, namanya juga tenar sebagai kolektor mobil antik. Herman paling suka mengoleksi jip, terutama Wilis Utility M 38, yang pernah dipakai dalam Perang Dunia Kedua. Puluhan mobil antiknya masih tersimpan di garasi bawah tanah rumahnya di Jalan Daksa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, berdampingan dengan koleksi mobil mewahnya, Hammer, Jaguar, dan Alphard. Di rumah itu juga, Herman menyimpan empat Harley Davidson jenis Zypan, Sportster, Petboy, dan Electra. Selain di Daksa, Herman juga memiliki rumah mewah di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Ia juga memiliki 80 buah senjata berizin. ”Saya juga punya pistol emas dari Israel. Hanya saya dan Saddam Hussein yang punya,” katanya. Punya hobi seperti itu, tentu saja Herman harus berkocek tebal. Selain dari Kinayungan—ditutup pada 1995 karena disita TNI—pundi-pundi uangnya diperoleh dari bisnis perhotelan. Herman memiliki hotel dan cottage di Pelabuhan Ratu, Anyer, dan Bali.

Anton Aprianto, Erick P. Hardi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus