Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bumi Kedua

Para ahli ilmu falak menemukan planet di luar tata surya yang memiliki elemen penting pendukung kehidupan. Dengan teknologi pendeteksian mutakhir, penemuan planet mirip bumi sudah di depan mata. Manusia tidak sendirian?

25 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bayangkan sebuah planet­ di luar tata surya yang me­nyimpan kehidupan, seperti fiksi film Hollywood. Di sana ada manusia atau makhluk apa pun dengan inteligensia yang sama bahkan melebihi penghuni bumi. Lupakan letaknya yang teramat sangat jauh—mencapai ratusan triliun kilometer—padahal wahana tercepat buatan manusia saat ini ”cuma” mampu melaju 250 ribu kilometer per jam. Tak perlu menunggu lama, dalam lima tahun ke depan kita akan mencapai masa itu: ketika para astronom memastikan bahwa kita tak sendirian, bahwa bumi bukan satu-satunya tempat hidup di alam semesta ini.

Kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi tak pernah menjadi topik basi di antara para astronom. Tak terkecuali dalam pertemuan Masyarakat Astronomi Amerika di Washington, dua pekan lalu. Tiga ribu astronom yang hadir sepakat bahwa sejumlah temuan sepanjang 2009 memperkuat bukti ada­nya kehidupan di luar sana, atau seti­daknya ada planet yang bisa dihuni manusia. ”Apakah kita sendirian? Untuk pertama kali, kami optimistis menjawab soal mendasar ini. Saya bertaruh kita tidak sendiri,” kata Simon Worden, Ketua Ames Research Center, lembaga penelitian milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA).

Hanya berjarak dua pekan sebelum pertemuan di Washington itu, tim astronom dari Universitas Harvard menemukan planet yang dipastikan memiliki air dan atmosfer. Temuan tim yang dipimpin David Charbonneau itu dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature, Rabu, 16 Desember 2009.

Planet itu diberi nama GJ 1214 b. Planet dengan massa 6,5 kali bumi ini mengitari bintang utama bintang kerdil GJ 1214, yang kekuatan cahayanya setara dengan 0,3 persen matahari. Sekitar 75 persen massa planet merupakan air, dan sisanya bebatuan. Itu sebabnya, GJ 1214 b juga disebut planet samudra, karena diperkirakan tak memiliki daratan.

Penemuan air di luar bumi merupakan pencapaian fenomenal dalam setiap penelitian ilmu falak. Bersama oksigen, air merupakan syarat terpenting maujudnya kehidupan. Air (H2O) merupakan bentukan hidrogen (H) dan oksigen (O). Tak pelak, temuan ini kian menggugah rasa penasaran pakar dan peminat ilmu falak. ”Kegembiraan terbesar adalah karena kami menemukan sebuah dunia dengan kandungan air. Planet yang mengitari bintang yang sangat kecil,” kata David. Meskipun planet ini terbilang sangat jauh letaknya, 40 tahun cahaya dari bumi (satu tahun perjalanan cahaya setara dengan 9,46 triliun kilometer).

Meski mengitari bintang kerdil seperlima ukuran matahari bukan berarti GJ 1214 b planet yang sejuk atau hangat untuk didiami manusia. Pla­net ini hanya berjarak 0,014 astronomical unit (1 AU sama dengan jarak bumi ke matahari, yaitu 148 juta kilometer). ”Sudah jelas yang ada di planet itu akan terpanggang,” kata Johny Setiawan, astronom Indonesia di Max-Planck Institut fur Astronomie (MPIA), Jerman. Johny mengatakan, planet samudra yang mengitari bintang induknya dengan selang waktu kurang dari dua hari ini juga membuat makhluk hidup kesulitan beradaptasi dengan waktu yang sangat singkat.

Zachory Berta, anggota tim astronom yang pertama kali mendeteksi keberadaan planet ini, mengatakan cuaca di permukaan GJ 1214 b memang tergolong ekstrem, yaitu 200 derajat Celsius. Tapi, dibanding planet lain di luar tata surya yang sudah ditemukan, planet samudra dengan kedalaman mencapai 15 ribu kilometer ini tetap lebih ”sejuk”.

Penyelidikan lebih lanjut, dengan teropong yang lebih canggih seperti Kepler, diperlukan untuk memastikan apakah atmosfer di planet ini mengandung oksigen, dan bisa mengurangi efek panas dari bintang induknya, yang dicitrakan kemerahan seperti matahari tenggelam.

Kalaupun GJ 1214 b ternyata bukan tempat yang cocok untuk dihuni manusia, para astronom yakin bahwa penemuan planet yang mirip dengan bumi di luar tata surya sudah di depan mata. ”Mungkin akan kita temukan pada akhir tahun ini,” kata Simon Worden.

Selain temuan air dan atmosfer di sejumlah planet, Worden menunjuk kian banyaknya penemuan planet belakangan ini. Tahun 2009 bahkan tercatat sebagai tahun tersubur penyelidikan planet di luar tata surya, karena jumlah temuan mencapai 85 planet. Jumlah ini melebihi seperlima total planet yang ditemukan sejak penemuan pertama pada 1989.

Kian banyaknya planet yang ditemukan tak lepas dari teknologi pencarian yang makin canggih, dibanding ketika pertama kali upaya peneropongan planet di luar tata surya atau ekstrasolar dilakukan. Dulu masih menggunakan cara ”tradisional” (pengukuran kecepatan radial), saat ini sudah ada teleskop ruang angkasa yang dikhususkan hanya untuk mencari planet ekstrasolar. Teropong Kepler adalah salah satu alat yang menjadi tumpuan untuk mewujudkan impian para astronom itu. Teropong yang mulai mengorbit pada 7 Maret 2009 ini telah mendeteksi delapan planet, enam di antaranya terdeteksi pada pekan pertama bulan ini.

Meski planet yang ditemukan teropong Kepler rata-rata seukuran Yupi­ter atau Neptunus, alat ini sedianya dirancang untuk mencari sasaran seukuran bumi. ”Yang pertama kami temukan memang planet besar, karena sinyalnya mudah dideteksi. Penemuan pla­net besar sekaligus untuk menguji apakah alat-alat pada Kepler bekerja dengan benar,” kata William Cochran, astronom yang menganalisis temuan teropong NASA itu. Penemuan pla­net se­ukuran bumi akan memperbesar peluang menemukan kemiripan ciri-ciri pada planet itu dengan bumi. ”Kita akan sampai ke sana dengan presisi yang sangat tinggi,” kata Cochran.

Berbeda dengan planet raksasa yang umumnya merupakan planet gas dengan suhu ekstrem, mencapai ribuan derajat Celsius, planet kecil yang ukur­annya tak jauh dari bumi rata-rata terbentuk dari bebatuan. Sejauh ini planet di luar tata surya yang ukurannya paling mendekati bumi adalah Gliese 581 e. Planet yang mengitari bintang kerdil Gliese 581 ini berukuran 1,9 kali bumi, dan jaraknya 20,5 tahun cahaya. Planet ini pertama kali terdeteksi pada 21 April tahun lalu oleh Michel Mayor, astronom La Silla Observatory, Cile. Tapi planet ini tak memiliki atmosfer karena suhu permukaannya yang sangat tinggi.

Sejauh ini planet kecil yang ditemukan meski tidak sepanas planet besar—tetap terlalu panas buat dihuni manusia. Lokasi planet yang dekat dengan bintang utamanya mengakibatkan suhu ekstrem, termasuk badai panas akibat letupan mataharinya. Pendeteksian planet kecil yang dekat dengan bintang utamanya memang lebih mudah, karena planet itu bisa menutup lebih banyak cahaya bintangnya ketika posisinya berada di antara bintang utama dan bumi (lihat infografis: ”Mengintip Dunia Lain”). Karena itu, pening­katan kemampuan alat pendeteksi, seperti teropong, menjadi pilihan para pemburu bumi kedua.

Toh, dengan teropong itu bukan berarti pendeteksian planet yang menye­rupai bumi menjadi jauh lebih sederhana. Menurut Johny Setiawan, satu-satunya astronom Indonesia yang memimpin proyek pencarian planet, ada banyak informasi yang diperlukan untuk menentukan bahwa sebuah planet layak dihuni manusia. Selain elemen utama pendukung kehidupan seperti air, masih perlu spektograf untuk meng­urai atmosfer planet tersebut. ”Jika kita bisa mendapatkan komposisi atmosfer planet dan menemukan H2O (air), CO2 (karbon dioksida), ozon, dan gas metan, dapat dipastikan ada makhluk hidup,” kata Johny.

Akankah para astronom menemukan planet yang mendukung kehidupan di permukaannya, atau bahkan telah memiliki kehidupan? Di Vatikan, para pemuka Katolik menjadikan isu ini sebagai bahasan penting. ”Karena isu ini membawa implikasi filosofis dan teologis,” kata Pastor Jose Funes.

Adek Media (AP, The Post, Guardian)

Mengintip Dunia Lain

Pengamatan planet di luar tata surya sangat mustahil dengan mata telanjang, bahkan teleskop pun hanya mendapati sebuah titik dari sebuah planet seukuran Yupiter. Salah satu cara untuk mendeteksi dan mengetahui karakteristik sebuah planet adalah dengan metode microlensing. Pengamat mengukur kekuatan gravitasi planet target yang membelokkan jalannya cahaya yang datang dari sumber sinar di belakangnya—biasanya bintang induk.

Astronom mengukur perubahan intensitas sumber cahaya yang ditentukan aktivitas planet.

Ketika planet target berada segaris dengan sumber cahaya dan pengamat, intensitas cahaya melemah. Intensitas cahaya menjadi kuat tatkala planet target dan sumber cahaya tidak dalam garis lurus.

Gangguan intensitas sumber cahaya oleh planet target bisa mengungkapkan karakteristik planet target. Dari gangguan tersebut, misalnya, bisa diketahui gravitasi planet target. Dengan mengetahui gravitasi, massa, dan bahan pembentuk planet target bisa diketahui.

Sebuah planet seukuran Yupiter akan menutup satu persen cahaya bintang induknya. Artinya, planet seukuran bumi hanya menutup kurang dari satu persen total cahaya bintang induk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus