TRISUTJI Kamal, komponis wanita kita, tak tahu persis mengapa pada usianya yang memasuki 65 tahun ini ia tidak pernah khawatir terserang gejala-gejala penyakit orang tua: pikun atau bahkan penyakit alzheimer yang menakutkan itu. Pikirannya masih terang dan memorinya masih segar. Sekarang, bersama beberapa pianis lainnya, Trisutji merencanakan sebuah konser maraton yang bakal digelar sekitar dua bulan mendatang.
Apa rahasianya? Pola hidupnya tidak istimewa. Sejauh ini, layaknya komponis di mana pun, ia hanya menuangkan inspirasi musiknya ke dalam lembaran-lembaran partitur dan kemudian mencoba memainkannya pada piano. Oh ya, piano adalah alat musik yang sudah melekat akrab dengan Trisutji sejak ia berusia 6 tahun. Dan kini, enam dasawarsa kemudian, ia masih memainkan alat musik itu, delapan jam sehari.
Trisutji Kamal yang segar, energetik, dan kreatif itu seakan menyimpan rahasia yang mungkin tak diketahui oleh dirinya sendiri. Tapi, apabila kita kemudian menanyakan resep "awet muda, terang pikiran, segar ingatan" itu kepada kalangan pakar yang kebetulan mendalami kerja otak, mungkin jawabannya akan seragam. Mendengarkan apalagi bermain musik adalah sebuah kegiatan ajaib yang diyakini bakal mengurangi gejala kemunduran otak—sebuah organ mahapenting yang dipercayai mengomandani segenap bagian tubuh. Simak saja hasil penelitian terakhir Universitas Michigan yang mencengangkan dan lihat apa yang terjadi pada sejumlah kakek-nenek yang mengambil kursus piano saat berusia senja.
Setelah 20 minggu mereka berlatih piano, para ahli mulai mendeteksi peningkatan produksi hormon yang diketahui berperan sebagai musuh besar proses penuaan. Hormon ini memperlambat munculnya keriput dan mengurangi tekanan darah tinggi, di samping punya beberapa khasiat medis lainnya. Bersamaan dengan terbongkarnya hasil riset itu, muncul pula beberapa penelitian lain yang menunjukkan kemujaraban main musik. Di antara orang tua yang terserang stroke, tercatatlah bahwa mereka yang biasa berlatih piano setiap hari lebih cepat sembuh dibandingkan dengan yang tak bermain piano. Selain itu, ada penelitian yang menunjukkan bahwa main piano mencegah penyakit alzheimer.
Main piano adalah kegiatan artistik istimewa yang menuntut koordinasi kedua belah tangan si pemain—suatu koordinasi yang secara neurologis (ilmu saraf) sesungguhnya merupakan kerja sama otak kanan dan otak kiri sekaligus. Sebagaimana diketahui, secara tak sadar kita sering menjadi korban pendidikan formal yang lebih mengutamakan otak kiri—yang bekerja untuk hal-hal yang logis—dan menganaktirikan otak kanan, yang lebih imajinatif. Proses inilah yang akhirnya mengakibatkan cara berpikir kita berat sebelah. Di sinilah alat-alat musik yang memakai keyboard (piano, organ) menawarkan solusinya. "Merangsang dua belahan otak, yang kanan dan kiri, untuk berfungsi seimbang," kata Hardhi Pranata, dokter ahli saraf dan kepala unit stroke di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta.
Inilah suatu model kerja sama yang serasi. Otak kiri, yang punya kemampuan bahasa dan matematika, akan memainkan peran besar dalam memahami sebuah karya musik secara umum, memahami elemen irama, dan membaca partitur. Sedangkan otak kanan, yang intuitif-imajinatif, akan memberikan sumbangan terbesarnya dalam memperkaya pemilihan akor terbaik, dinamika keras-lunaknya bunyi yang akan dimainkan.
Tapi, kalau kita membaca pengalaman Ronald Price, dokter dari Universitas Northern Illinois, yang dimuat dalam buku The Mozart Effect karya Don Campbell, mungkin kita harus memperluas pilihan instrumen. Ronald Price, yang pernah terserang parkinson—gangguan saraf bersifat degeneratif yang mengakibatkan gerakan tak terkontrol—mendapatkan "mukjizat" itu justru pada harpa. Berlatih harpa, instrumen kuno yang juga menuntut koordinasi kedua tangan, akhirnya membebaskannya dari komplikasi gejala parkinson dan cerebral palsy (kelumpuhan saraf) yang dialaminya. Tapi inilah terapi yang harus berjalan terus-menerus. Soalnya, begitu kegiatan itu terhenti beberapa hari, muncul gejala lama: bicaranya ngawur, salah satu sisi wajahnya mengendur, dan ia kehilangan kendali atas gerakan tangan kanan dan kirinya.
Tapi sebenarnya apa sih peran musik terhadap orang tua yang mengalami proses degenerasi alias penuaan? Hardhi Pranata menyebutkan dua hal: memperbaiki sel-sel saraf yang rusak dan menjaga kesehatan sel-sel yang amat penting dalam corpus callosum—bagian otak yang dipercayai memainkan peran sebagai jembatan emas, sarana komunikasi penting penghubung otak kanan dan otak kiri. Dalam pelbagai studi otak yang gencar akhir-akhir ini, sejumlah pakar telah sampai pada kesimpulan mengejutkan tapi menguatkan pendapat di atas: corpus callosum musisi lebih tebal dan lebih lengkap perkembangannya dibandingkan dengan kalangan nonmusisi.
Sampai di sini kelihatanlah bahwa semakin hari musik—khususnya klasik—semakin menguatkan posisinya selaku obat dewa yang akan menyembuhkan segala macam penyakit: kapan saja, di mana saja, dan siapa saja. Guna mengembangkan kemampuan berpikir si Upik yang masih betah menginap di kandungan, para ibu sibuk memperdengarkan rekaman Mozart for Babies, Bach for Babies, dan masih banyak lagi. Ini bagian dari efek Mozart yang amat santer diberitakan media massa.
Kini giliran orang tua merasakan khasiat bermain musik. Tapi ketahuilah, musik bukan obat dewa penyembuh segala sakit. Toh, ada masanya, terlalu giat berlatih musik justru memicu cedera pada sambungan antartulang di jari-jari tangan. Menurut Harry Isbagio, ahli rematologi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, cedera yang ditandai dengan jari tangan sulit digerakkan ini biasanya menimpa pianis yang sudah berumur.
Idrus F. Shahab, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini