Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pertunjukan-pertunjukan seni yang digelar di Borobudur Writers & Cultural Festival 2021.
Dari pentas Genta-genta Mendut karya Epi Martison, Meditasi Ghulur Anwari, hingga Antiga Rianto.
Koreografer Darlene Litaay asal Papua mengeksplorasi tarian di New York, Amerika Serikat.
DENTANG genta raksasa Wihara Mendut bergaung seolah-olah ke mana-mana. Duduk bersila di samping genta, komponis musik Epi Martison mengembus-embuskan udara dari mulutnya ke tepi singing bowl Tibet. Alat musik bantu meditasi berbentuk cawan kecil logam itu biasanya dimainkan menggunakan pemukul kayu kecil yang diputarkan atau dipukulkan ke gigir cawan hingga menimbulkan gelombang lembut. Namun kali ini alat musik itu oleh Epi ditiup-tiup sambil komat-kamit merapal mantra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Epi, yang dikenal sebagai komponis yang suka mengeksplorasi berbagai instrumen tradisi agar menimbulkan bunyi tak lazim, berjalan ke pelataran kosong Candi Mendut, Magelang, Jawa Tengah, membawa dupa. Dia melangkah ke tangga, menaiki lantai candi dan seolah-olah melakukan pradaksina—memutari candi. Sebuah visual yang terasa arkais. Setelah itu, mulailah penonton secara virtual diperdengarkan suatu campuran gaung genta dengan berbagai ramuan bunyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertunjukan berjudul Genta-genta Mendut selama 33 menit yang merupakan bagian dari acara festival daring Borobudur Writers & Cultural Festival 2021 (18-21 November) itu menunjukkan bagaimana sebuah komposisi musik yang kaya bisa dipadukan dengan visual tepat yang ditata fotografer asal Bali, Dibal Ranuh. Berlatar belakang visual Candi Mendut—dan Wihara Mendut—Epi mengolah bebunyian genta berukuran besar dan kecil yang berada di wihara tersebut. Dia merekam suara dentang genta-genta itu, lalu menggabungkannya di studio dengan suara sampelong dan saluang sirompak, alat musik khas Minangkabau, serta instrumen Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Juga teriakan-teriakan.
Kemampuan Epi menyajikan permainan interval, tempo, dan interlocking bunyi-bunyian itu didukung komposisi gambar yang diambil Dibal. Komposisi yang disajikan di YouTube itu seolah-olah mampu melahirkan imaji bahwa bunyi genta raksasa tersebut mula-mula terdengar pelan, lamat-lamat, berdengung kecil di antara berbagai adonan bunyi, tapi kemudian muncul menggema hingga menghilang lagi. Untuk menyajikan komposisinya, Epi memainkan berbagai genta kecil dan peralatan ibadah umat Buddha yang dimilikinya. Dia mengumpulkan instrumen itu ketika berkeliling ke sejumlah negara. Misalnya saat ia mengikuti acara festival musik sufi di London. Epi kerap bertukar alat musik dengan seniman dari negara lain. Berbagai alat musik “aneh-aneh” itu oleh Epi digesek, dipukul, diembus-embus, digoyang, dan diusap-usap untuk mengisi varian ritme komposisinya.
Teriakan-teriakan yang dilantunkan Epi juga menjadi jantung komposisi, yang membuat komposisinya selama 30 menit tak membosankan. “Teriakan-teriakan itu saya pelajari dari berbagai suku pedalaman di Nusantara,” katanya. Ada lengkingan suara dari Papua dan Kalimantan. Teriakan komponis lulusan Jurusan Tari Institut Kesenian Jakarta yang bersama Tony Prabowo membentuk New Jakarta Ensemble itu terdengar seperti ratapan, lengkingan, panggilan, dan jeritan. “Saya bicara kelahiran, kehidupan, dan kematian manusia,” ucap Epi. Menurut seniman asal Kuantan Singingi, Riau, itu, karyanya terinspirasi saat ia berkunjung ke sebuah kuil Buddhis di Chiang Mai, Thailand, pada 2002.
Di kuil itu, setelah menaiki tangga batu yang tinggi, Epi menemukan genta yang disusun dari ukuran kecil hingga superbesar. Dia berdiri di bawah lingkaran genta. Di situlah Epi merasakan bunyi genta besar itu terasa mencekam. Dia merenung dan membayangkan dirinya yang kecil. “Seperti hendak menelan manusia,” ujarnya. Pada sebuah subuh, Epi berjalan di hutan sekitar kuil. Dia seperti mendengar umat Buddha sedang bersenandung. Suara itu memberi kesan ketenangan, kepasrahan, dan optimisme. Epi, yang tinggal di rumah seorang penganut Buddha tatkala itu, juga terkesan oleh cara mereka memperlakukan alam. Umat Buddha yang tinggal di kuil itu tidak sembarangan memotong pohon. “Bila memotong pohon, dia harus berbicara lebih dulu dengan pohon itu,” kata Epi.
Pentas Rianto, koreografer asal Banyumas dalam gelaran Borobudur Writers and Cultural Festival 2021. Youtube Borobudur Writers and Cultural Festival
Penghormatan terhadap ritual dan alam juga bisa dilihat dari karya Anwari, seniman teater asal Madura, Jawa Timur. Dia menampilkan pertunjukan tari berjudul Meditasi Ghulur. Anwari menyelami esensi topeng ghulur yang punah. Ciri khas penari topeng ghulur adalah posisi badan penari selalu mendekat ke bumi. Berbaring, duduk, jongkok, berguling-guling di tanah. Posisi itu memberi makna penyatuan dan wujud syukur kepada Tuhan. Anwari menelusuri Desa Larangan Barma, Kecamatan Batuputih, Madura, tempat penari topeng ghulur tinggal, untuk menemui pemimpin kelompok tari. Hasilnya, tidak ada lagi penari topeng itu dan alat untuk mengiringi telah dijual. Topengnya pun sudah tidak ada, hanya tersisa di Museum Keraton Sumenep. “Putus regenerasi,” tutur Anwari.
Para penari topeng itu sebagian besar merantau dan bekerja di kota. Dari situ, Anwari terdorong untuk menggarap karya yang melibatkan anak-anak muda di kampungnya. Berbekal foto tentang topeng ghulur, Anwari memesan topeng kepada pembuat topeng di Sumenep untuk menduplikasi. Hampir semua penari yang ikut pentas adalah anggota keluarga Anwari. Bahkan dua penari sepuh yang menutupi wajah mereka dengan topeng adalah nenek dan nenek buyut Anwari yang berusia seratus tahun lebih. Mula-mula tampilan visual menyajikan beberapa penari mengenakan topeng berjalan beriringan diikuti sapi dan bajak. Lalu para penari berada di area pertambangan dan pasir pantai utara Madura, yang memiliki tebing-tebing tinggi.
Anwari memilih area tambang dan pantai sebagai bentuk kritik terhadap investor yang datang ke Madura dan menguasai pantai pesisir utara serta tambang. Pilihan lokasi ini sendiri menjadikan visual Anwari terasa kuat. Di akhir pertunjukan, penari bergulung-gulung di pekarangan dengan iringan tabuhan kendang. Puluhan warga kampung kemudian datang dan berebut hasil bumi, seperti sayuran dan buah-buahan. Dari karya itu, Anwari menekankan pentingnya kembali ke kultur atau ritual yang turut menjaga kelestarian lingkungan. Kesenian topeng ghulur, menurut dia, menggambarkan upaya menjaga alam. Pertunjukan itu terlihat natural dengan menampilkan kampung halaman Anwari dan orang-orang desa yang mementaskan topeng dengan antusias.
Akan halnya dengan Rianto, koreografer asal Banyumas, Jawa Tengah, yang menetap di Tokyo, menelusuri situs-situs arkeologi di Surakarta, termasuk Candi Sukuh. Pertunjukan yang ia beri judul Antiga itu menggunakan sarung yang disambung-sambung sebagai bahan utama pertunjukan. Rianto bekerja sama dengan seniman Makassar, Abdi Karya, serta penari dan penembang Solo, Cahwati. Kain sarung menyelimuti hampir seluruh tubuh Rianto. Hanya jari dua tangan yang diangkat menghadap langit yang terlihat. Rianto menari di tengah hamparan pegunungan. Gerakan itu menggambarkan perjalanan hidup manusia dan karakter mereka.
Di tengah hutan, tiga penari bersarung merangkak di tanah. Para penari itu menyingkap separuh sarung hingga mengikat kepala dengan sarung tersebut. Mereka seperti orang yang sedang disekap dengan kepala diikat dan dibungkus kain. Para penari menambatkan sarung panjang yang disambung-sambung itu pada pohon. Lalu mereka berjalan. Di akhir pentas, mereka merangkak di sungai penuh batu besar. Syair Banyumasan terdengar mengiringi akhir pertunjukan. Sudah banyak penari dan seniman menggunakan Candi Sukuh sebagai latar, dari (almarhum) Suprapto Suryodarmo sampai Garin Nugroho dalam film Setan Jawa. Namun Rianto tidak mengulang apa yang pernah dilakukan mereka. Di tangan dia, Candi Sukuh seolah-olah tak habis-habisnya bisa dieksplorasi. Rianto menjelaskan bahwa karya itu berbicara tentang penyatuan perasaan, ucapan, dan perbuatan manusia yang ia gambarkan melalui tari kontemporer.
Sementara itu, dari New York, Amerika Serikat, Darlene Litaay, penari asal Papua, sembari di perpustakaan-perpustakaan mencari arsip (almarhum) Claire Holt, peneliti yang meneliti seni Indonesia pada 1950-an, menampilkan karya berjudul Strata. Karya ini hanya menggunakan jari dan suara kebisingan kota. Strata sungguh konseptual dan tak terduga. Sebagai penari, Darlene tidak menampakkan tubuh, apalagi muka. Hanya jemari tangannya yang ia gerakkan di stasiun Subway antara Manhattan dan Brooklyn. Jemari Darlene merayap di bangunan stasiun. Tangan itu seperti sedang mengintip dari balik dinding.
Saat kereta berada di jembatan Manhattan, tangan Darlene merayap di antara kaca-kaca kereta sekaligus kamera memperlihatkan panorama gedung-gedung yang dilintasi kereta. Malam hari, jemari Darlene meramaikan suasana yang ingar-bingar dengan lampu-lampu kota, gedung, dan atraksi sepeda motor. Karya Darlene ini dipersembahkan kepada Claire Holt, yang bukunya, Art in Indonesia: Continuity and Change, menjadi tema utama Borobudur Writers & Cultural Festival. Di awal sajian videonya, ia menorehkan kalimat Holt: “I want to warn you that I am not an ‘exotic dancer’, not even a professional dancer, but a choreologist”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo