SEBULAN ia bekerja 16 hari @ dua jam. Tapi sebulan ia menerima
hampir setengah juta, belum lagi ditambah tunjangan dan bonus
keuntungan perusahaan. Tapi Yusuf Affendi, 40 tahun, konsultan
disain pada pabrik tekstil Five Star di Cicalengka, 30 km dari
Bandung, sebulan harus menyiapkan 10 macam disain. Selain
sebagai konsultan, ia sendiri juga merancang disain untuk
corak-corak kain cita dan handuk produksi pabrik tersebut.
"Sebagian produksinya ada yang diekspor ke luar negeri," kata
Yusuf. Keluaran ITB, 1962 ini pernah memperdalam seluk-beluk
tekstil dan disain di AS dan Negeri Belanda.
Yusuf mulai mendisain tekstil sejak 1972 di pabrik tekstil
Industri Sandang di Banjaran. "Sejak pertama kali mendisain,
saya sudah mengandalkan kreasi sendiri. Apalagi ketika itu saya
juga bebas menciptakan disain-disain sendiri," kata Yusuf yang
kini menjadi Ketua Studio Tekstil Senirupa ITB itu. "Saya tak
mau merancang disain yang sebelumnya ditentukan oleh
perusahaan," tambahnya.
Yang sangat merisaukan para disainer ialah kebiasaan para
pengusaha kstil menjiplak disain pabrik lain. Bahkan ada kalanya
dicontoh begitu saja secara persis. Jiplak-menjiplak seperti itu
sering menimbulkan perselisihan antar-perusahaan atau
antar-disainer. Untuk menanggulanginya, Yusuf punya resep. Yaitu
menyelesaikannya lewat sebuah asosiasi.
Beberapa waktu lalu di Bandung terbentuk Asosiasi Disainer
Tekstil Indonesia--Yusuf Affendi adalah ketua umumnya. Asosiasi
ini diharapkan dapat membantu pabrik menjaga mutu produksinya,
di samping menjaga agar para disainer tidak saling menjiplak.
"Disain itu kan merupakan ciri suatu produk. Karena itu disainer
harus punya kekhasan sendiri," ujar ayah dua anak itu.
Bagaimana supaya disain tekstil tidak dijiplak orang? Selain
diselesaikan lewat asosiasi Yusuf punya beberapa alternatit .
Misalnya membiarkan beberapa bidang yang kosong tidak diisi
ornamen. Kalau setelah dilempar ke pasar ada yang menjiplak, ia
menambah atau mengubah sedikit disain yang pertama. "Ini penting
untuk menghindari pembajakan," katanya.
Jebolan senirupa ITB (cuma sempat kuliah setahun) yang kurang
beruntung adalah Dida Roesnida Ibrahim Effendi 35 tahun. Tak
sanggup membayar kuliah, pada 1970 ia menawarkan disainnya pada
pabrik tekstil Naintex di Cicadas, Bandung. Tapi hasil
corat-coretnya selama seminggu itu hanya dihargai Rp 2.500.
Sejak itu ia berusaha merancang disain lebih baik.
Selama empat tahun menganggur, Dida merancang beberapa disain.
Berbekal 10 macam disain, sekali lagi ia melamar ke Naintex. Ia
diterima dengan gaji Rp 40.000/bulan. Di situ ia mencontoh saja
rancangan yang disodorkan perusahaan. "Terpaksa saya lakukan,
meskipun bertentangan dengan hati kecil saya. Habis, saya perlu
makan," ujarnya.
Keranjang Sampah
Menurut Dida, sebetulnya pihak perusahaan.hanya menuruti
keinginan agen saja. Agen menyodorkan rancangan disain yang
dianggapnya sedang laku di pasar bahkan agen juga menentukan
motif-motif dan warnanya. Jadi sebenarnya agenlah yang sangat
menentukan disain, katanya lagi. Meski begitu Dida masih
berusaha memberi bentuk atau corak lain menurut kreasinya. "Tapi
kalau sang agen tak mau menerima, ya masuk keranjang sampah,"
tambahnya.
Merasa kurang dihargai, sejak 1978 Dida pindah ke PT Unilon,
masih di kawasan Bandung. Di sini ia merasa lebih mendapat
kesempatan menciptakan disain sendiri dengan penghasilan lebih
besar. Sekarang, untuk menghidupi seorang istri dan kedua
anaknya yang masih kecil-kecil, Dida juga menerima pesanan
membuat dekorasi dan poster.
Bagaimana cara merancang disain? Menurut Dida: "Pertama-tama
saya mencari ide. Kemudian mencari kemungkinan bentuk,
garis-garis dan warnanya. Untuk kemeja misalnya, perlu
garis-garis atau bunga-bunga kecil saja.
Untuk gaun biasanya bunga-bunga besar atau juga bunga-bunga
kecil. Setelah itu diwarnai dengan beberapa kombinasi Tapi masih
ada kemungkinan perubahan warnanya, yang ditentukan oleh agen
setelah disesuaikan kegemaran pembeli pada suatu saat."
Tapi seorang disainer sesungguhnya juga harus mengerti selera
konsumen-begitu pendapat Hudi Utami Anyool, 35 tahun, ibu dari
dua anak yang juga tamatan ITB jurusan senirupa, 1973. "Orang
dari Madura dan sekitarnya misalnya, biasanya menyenangi
warna-warna menyolok seperti oranye atau merah," kata disainer
ini di ruang kerjanya di lantai II Skyline Building, Jakarta.
Dialah satu-satunya disainer dari sembilan perancang PT Unilon,
Bandung, di perwakilan Jakarta. Begitu lulus ITB, ia langsung
melamar ke Unilon. Seperti halnya disainer lain, Utami juga
harus memenuhi target setiap bulan harus mengajukan empat macam
disain dengan motif baru. Sebagai penghubung antara agen dengan
kantor pusat, gajinya cukup besar: Rp 300.000.
Hampir setiap 10 hari sekali Utami harus menghadiri rapat di
Bandung bersama direksi dan para disainer, membicarakan jadwal
kerja bulan berikutnya dan barangkali juga situasi pasaran yang
terakhir. Karena itu sering dia keluar-masuk pasar tekstil untuk
mengetahui apa yang lagi disenangi konsumen. Utami memang lebih
betah bekerja di luar dari pada terlalu lama menghabiskan waktu
di rumah.
Setiap kali ia juga merasa perlu melihat-lihat beberapa majalah
mode luar negeri seperti Madam, Dress Making, Neckerman, atau
Schoening. "Saya sering mencontoh disain dari majalah-majalah
itu, saya ubah sedikit, disesuaikan dengan selera orang
Indonesia," ujarnya. Menurut dia, yang disenangi orang sekarang
ialah disain dengan motif bulatan atau daun-daun kecil dengan
dasar warna terang. "Kalau pasaran lagi sepi se,verti sekarang,
motif onde-onde kecil discnangi orang lagi," katanya.
M. Yusuf Pribadi, 33 tahun, adalah seorang perancang gambar
untuk tekstil yang tak bisa berkutik. Ia harus mencontoh
mentah-mentah rancangan disain yang sudah ditentukan oleh
Texmaco aya di Pemalang, Jawa Tengah, tempat ia bekerja. Disain
itu pun berdasarkan pesanan agen besar di Jakarta yang sudah
menyesuaikannya dengan selera konsumen di pasaran tekstil pada
suatu saat.
Tukang Gambar
"Soal orisinal atau tidak, itu bukan urusan saya. Tugas saya
hanya menggambar dan mencetaknya sesuai dengan perintah pimpinan
perusahaan," katanya. Karena itu merasa kurang tepat bila
disebut sebagai disainer. "Sebut saja saya tukang gambar. Sebab
saya tidak menciptakan apa-apa-," ujarnya. Dengan masa kerja
10 tahun, ia mendapat gaji Rp 100.000/bulan, cukup untuk
menanggung seorang istri dan empat anak.
Walaupun hanya menyimpan ijazah SMA (1968), Yusuf bertekad
suatu ketika akan menjadi disainer yang sebenarnya. Kalau
pasaran sedang sepi misalnya, ia berusaha menawarkan
disain-disain hasil ciptaannya sendiri. Tapi kalau pasaran lagi
ramai, menjelang Lebaran misalnya, ia harus menuruti kehendak
perusahaan. "Bahkan kalau ada motif yang sedang laris, kalau
perlu dijiplak mentah-mentah," katanya.
Pernah bekerja selama dua tahun di sebuah perusahaan sablon di
Jakarta, Yusuf kini juga membuka usaha sablon sendiri di
rumahnya. Hasilnya, katanya, kadang-kadan malah melebihi
penghasilannya di pabrik. "Di sinilah saya mendapat kesempatan
mengembangkan keinginan saya untuk menjadi disainer tekstil yang
sebenarnya," ujarnya penuh keyakinan.
Para disainer agaknya memang suka makan hati. Rahmat Supriana,
22 tahun, misalnya. Ia sebetulnya belum sepenuhnya berprofesi
sebagai disainer, sebab hanya bekerja sambilan membuat disain
untuk sebuah pabrik tekstil di Yogyakarta. "Sebuah disain cuma
dihargai Rp 5.000. Lumayan, sebab orangtua saya di Banyumas
hanya mampu mengirim wesel Rp 15.000 sebulan," kata mahasiswa
tingkat IV Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia, ASRI, jurusan
disain itu.
Untuk menambah penghasilan, di kamar kosnya di Kampung Ngabean,
ia juga menerima pesanan disain-disaln lain, spanduk atau
poster. Meskipun kerja sebagai disainer baru merupakan sambilan,
Rahmat cukup punya harga diri. Ia tak mau menjiplak disain orang
lain meskipun hal itu disodorkan oleh perusahaan tempat ia
bekerja. "Itu namanya menggarong milik orang lain. Saya
benar-benar muak," katanya.
Suatu hari ia pernah tersinggung, ketika tak satu pun dari 25
disainnya diterima oleh perusahaan tekstil di Yogyakarta.
Anehnya, beberapa hari kemudian disain-disain tersebut mendadak
muncul sebagai disain tekstil produksi sebuah pabrik di
Semarang. Mungkin disain tersebut diam-diam dijual. "Itu namanya
tidak menghargai karya orang lain, tapi apa boleh buat," katanya
pasrah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini