Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Di balik gaun dan kemeja anda

Para disainer risau dengan kebiasaan para pengusaha tekstil menjiplak disain pabrik lain. disain merupakan ciri suatu produk, karena itu disainer harus punya kekhasan sendiri. (sd)

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Di balik gaun dan kemeja anda
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEBULAN ia bekerja 16 hari @ dua jam. Tapi sebulan ia menerima hampir setengah juta, belum lagi ditambah tunjangan dan bonus keuntungan perusahaan. Tapi Yusuf Affendi, 40 tahun, konsultan disain pada pabrik tekstil Five Star di Cicalengka, 30 km dari Bandung, sebulan harus menyiapkan 10 macam disain. Selain sebagai konsultan, ia sendiri juga merancang disain untuk corak-corak kain cita dan handuk produksi pabrik tersebut. "Sebagian produksinya ada yang diekspor ke luar negeri," kata Yusuf. Keluaran ITB, 1962 ini pernah memperdalam seluk-beluk tekstil dan disain di AS dan Negeri Belanda. Yusuf mulai mendisain tekstil sejak 1972 di pabrik tekstil Industri Sandang di Banjaran. "Sejak pertama kali mendisain, saya sudah mengandalkan kreasi sendiri. Apalagi ketika itu saya juga bebas menciptakan disain-disain sendiri," kata Yusuf yang kini menjadi Ketua Studio Tekstil Senirupa ITB itu. "Saya tak mau merancang disain yang sebelumnya ditentukan oleh perusahaan," tambahnya. Yang sangat merisaukan para disainer ialah kebiasaan para pengusaha kstil menjiplak disain pabrik lain. Bahkan ada kalanya dicontoh begitu saja secara persis. Jiplak-menjiplak seperti itu sering menimbulkan perselisihan antar-perusahaan atau antar-disainer. Untuk menanggulanginya, Yusuf punya resep. Yaitu menyelesaikannya lewat sebuah asosiasi. Beberapa waktu lalu di Bandung terbentuk Asosiasi Disainer Tekstil Indonesia--Yusuf Affendi adalah ketua umumnya. Asosiasi ini diharapkan dapat membantu pabrik menjaga mutu produksinya, di samping menjaga agar para disainer tidak saling menjiplak. "Disain itu kan merupakan ciri suatu produk. Karena itu disainer harus punya kekhasan sendiri," ujar ayah dua anak itu. Bagaimana supaya disain tekstil tidak dijiplak orang? Selain diselesaikan lewat asosiasi Yusuf punya beberapa alternatit . Misalnya membiarkan beberapa bidang yang kosong tidak diisi ornamen. Kalau setelah dilempar ke pasar ada yang menjiplak, ia menambah atau mengubah sedikit disain yang pertama. "Ini penting untuk menghindari pembajakan," katanya. Jebolan senirupa ITB (cuma sempat kuliah setahun) yang kurang beruntung adalah Dida Roesnida Ibrahim Effendi 35 tahun. Tak sanggup membayar kuliah, pada 1970 ia menawarkan disainnya pada pabrik tekstil Naintex di Cicadas, Bandung. Tapi hasil corat-coretnya selama seminggu itu hanya dihargai Rp 2.500. Sejak itu ia berusaha merancang disain lebih baik. Selama empat tahun menganggur, Dida merancang beberapa disain. Berbekal 10 macam disain, sekali lagi ia melamar ke Naintex. Ia diterima dengan gaji Rp 40.000/bulan. Di situ ia mencontoh saja rancangan yang disodorkan perusahaan. "Terpaksa saya lakukan, meskipun bertentangan dengan hati kecil saya. Habis, saya perlu makan," ujarnya. Keranjang Sampah Menurut Dida, sebetulnya pihak perusahaan.hanya menuruti keinginan agen saja. Agen menyodorkan rancangan disain yang dianggapnya sedang laku di pasar bahkan agen juga menentukan motif-motif dan warnanya. Jadi sebenarnya agenlah yang sangat menentukan disain, katanya lagi. Meski begitu Dida masih berusaha memberi bentuk atau corak lain menurut kreasinya. "Tapi kalau sang agen tak mau menerima, ya masuk keranjang sampah," tambahnya. Merasa kurang dihargai, sejak 1978 Dida pindah ke PT Unilon, masih di kawasan Bandung. Di sini ia merasa lebih mendapat kesempatan menciptakan disain sendiri dengan penghasilan lebih besar. Sekarang, untuk menghidupi seorang istri dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil, Dida juga menerima pesanan membuat dekorasi dan poster. Bagaimana cara merancang disain? Menurut Dida: "Pertama-tama saya mencari ide. Kemudian mencari kemungkinan bentuk, garis-garis dan warnanya. Untuk kemeja misalnya, perlu garis-garis atau bunga-bunga kecil saja. Untuk gaun biasanya bunga-bunga besar atau juga bunga-bunga kecil. Setelah itu diwarnai dengan beberapa kombinasi Tapi masih ada kemungkinan perubahan warnanya, yang ditentukan oleh agen setelah disesuaikan kegemaran pembeli pada suatu saat." Tapi seorang disainer sesungguhnya juga harus mengerti selera konsumen-begitu pendapat Hudi Utami Anyool, 35 tahun, ibu dari dua anak yang juga tamatan ITB jurusan senirupa, 1973. "Orang dari Madura dan sekitarnya misalnya, biasanya menyenangi warna-warna menyolok seperti oranye atau merah," kata disainer ini di ruang kerjanya di lantai II Skyline Building, Jakarta. Dialah satu-satunya disainer dari sembilan perancang PT Unilon, Bandung, di perwakilan Jakarta. Begitu lulus ITB, ia langsung melamar ke Unilon. Seperti halnya disainer lain, Utami juga harus memenuhi target setiap bulan harus mengajukan empat macam disain dengan motif baru. Sebagai penghubung antara agen dengan kantor pusat, gajinya cukup besar: Rp 300.000. Hampir setiap 10 hari sekali Utami harus menghadiri rapat di Bandung bersama direksi dan para disainer, membicarakan jadwal kerja bulan berikutnya dan barangkali juga situasi pasaran yang terakhir. Karena itu sering dia keluar-masuk pasar tekstil untuk mengetahui apa yang lagi disenangi konsumen. Utami memang lebih betah bekerja di luar dari pada terlalu lama menghabiskan waktu di rumah. Setiap kali ia juga merasa perlu melihat-lihat beberapa majalah mode luar negeri seperti Madam, Dress Making, Neckerman, atau Schoening. "Saya sering mencontoh disain dari majalah-majalah itu, saya ubah sedikit, disesuaikan dengan selera orang Indonesia," ujarnya. Menurut dia, yang disenangi orang sekarang ialah disain dengan motif bulatan atau daun-daun kecil dengan dasar warna terang. "Kalau pasaran lagi sepi se,verti sekarang, motif onde-onde kecil discnangi orang lagi," katanya. M. Yusuf Pribadi, 33 tahun, adalah seorang perancang gambar untuk tekstil yang tak bisa berkutik. Ia harus mencontoh mentah-mentah rancangan disain yang sudah ditentukan oleh Texmaco aya di Pemalang, Jawa Tengah, tempat ia bekerja. Disain itu pun berdasarkan pesanan agen besar di Jakarta yang sudah menyesuaikannya dengan selera konsumen di pasaran tekstil pada suatu saat. Tukang Gambar "Soal orisinal atau tidak, itu bukan urusan saya. Tugas saya hanya menggambar dan mencetaknya sesuai dengan perintah pimpinan perusahaan," katanya. Karena itu merasa kurang tepat bila disebut sebagai disainer. "Sebut saja saya tukang gambar. Sebab saya tidak menciptakan apa-apa-," ujarnya. Dengan masa kerja 10 tahun, ia mendapat gaji Rp 100.000/bulan, cukup untuk menanggung seorang istri dan empat anak. Walaupun hanya menyimpan ijazah SMA (1968), Yusuf bertekad suatu ketika akan menjadi disainer yang sebenarnya. Kalau pasaran sedang sepi misalnya, ia berusaha menawarkan disain-disain hasil ciptaannya sendiri. Tapi kalau pasaran lagi ramai, menjelang Lebaran misalnya, ia harus menuruti kehendak perusahaan. "Bahkan kalau ada motif yang sedang laris, kalau perlu dijiplak mentah-mentah," katanya. Pernah bekerja selama dua tahun di sebuah perusahaan sablon di Jakarta, Yusuf kini juga membuka usaha sablon sendiri di rumahnya. Hasilnya, katanya, kadang-kadan malah melebihi penghasilannya di pabrik. "Di sinilah saya mendapat kesempatan mengembangkan keinginan saya untuk menjadi disainer tekstil yang sebenarnya," ujarnya penuh keyakinan. Para disainer agaknya memang suka makan hati. Rahmat Supriana, 22 tahun, misalnya. Ia sebetulnya belum sepenuhnya berprofesi sebagai disainer, sebab hanya bekerja sambilan membuat disain untuk sebuah pabrik tekstil di Yogyakarta. "Sebuah disain cuma dihargai Rp 5.000. Lumayan, sebab orangtua saya di Banyumas hanya mampu mengirim wesel Rp 15.000 sebulan," kata mahasiswa tingkat IV Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia, ASRI, jurusan disain itu. Untuk menambah penghasilan, di kamar kosnya di Kampung Ngabean, ia juga menerima pesanan disain-disaln lain, spanduk atau poster. Meskipun kerja sebagai disainer baru merupakan sambilan, Rahmat cukup punya harga diri. Ia tak mau menjiplak disain orang lain meskipun hal itu disodorkan oleh perusahaan tempat ia bekerja. "Itu namanya menggarong milik orang lain. Saya benar-benar muak," katanya. Suatu hari ia pernah tersinggung, ketika tak satu pun dari 25 disainnya diterima oleh perusahaan tekstil di Yogyakarta. Anehnya, beberapa hari kemudian disain-disain tersebut mendadak muncul sebagai disain tekstil produksi sebuah pabrik di Semarang. Mungkin disain tersebut diam-diam dijual. "Itu namanya tidak menghargai karya orang lain, tapi apa boleh buat," katanya pasrah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus