KAYU lapis (plywood) Indonesia sudah lama menembus pasar
Amerika Serikat. Ke kawasan itu, PT Kalimanis Plywood
Industries, misalnya, sudah 44 kali mengapalkan, rata-rata 9.500
m3 sekali angkut. Bob Hasan, Presiden Komisaris, memperkirakan
omset komoditi itu di AS tahun ini bakal mencapai US$ 50 milyar
(Rp 32,6 triliun). Dalam situasi resesi seperti sekarang, "kami
ambil saham lima persen saja deh, berapa itu jumlahnya?"
katanya.
Bob Hasan yang juga Ketua Umum Asosiasi Produsen Kayu Lapis
Indonesia (Apkindo), tentu tidak berseloroh. Di belakang dia,
kini puluhan produsen kayu lapis memang sedang berusaha
mendorong ekspor komoditi itu ke AS, Eropa Barat, dan Timur
Tengah. Kepada produsen, pemerintah yang sangat berkepentingan
menggalakkan ekspor komoditi nonminyak, telah memberikan
sejumlah kemudahan prosedur ekspor.
Bahkan pertengahan Februari lalu, empat Dirjen--Aneka Industri,
Perdagangan Luar Negeri, Kehutanan, dan Perdagangan Dalam
Negeri--mengeluarkan Surat Keputusan bersama yang bertujuan
merangsang industri pengolahan kayu di dalam negeri. Dengan SK
bersama itu pula, pemerintah mencanangkan secara berangsur akan
mengurangi ekspor kayu gelondongan (log) hingga tahun- L85
distop sama sekali. Maka jika tahun ini ekspornya dibatasi
sampai 4,5 juta m3, pada 1983 dan 1984, masing-masing hanya 3
juta dan 1,5 juta m3.
Kendati pengusaha kayu olahan (lapis) Jepang bersikap dingin, di
luar dugaan Dirjen Kehutanan Tomohide Akiyama, menanggapi
keputusan itu. Dia meminta agar Jakarta secara baik-baik
mempertimbangkan kembali kebijaksanaan tersebut. "Hasrat
perusahaan Jepang untuk menanamkan, modal baru di sektor
industri pengolahan kayu di Indonesia akan berkurang karenanya,"
katanya.
Sampai kini dari 41 pabrik kayu lapis, memang baru satu yang
diusahakan dengan investasi Jepang, tiga lainnya sedang dalam
tahap pembangunan. "Kalau toh pihak Jepang keberatan tanam modal
di sektor ini, terserah mereka," kata Dirjen Aneka Industri
Kusudiarso Hadinoto.
Benarkah Jepang terpukul? Menurut harian Nibon Keizai Sbimbun
(23 Februari), keputusan Jakarta itu tidak menimbulkan pukulan
di kalangan pengusaha kayu olahan di Jepang. Dari Indonesia,
negeri itu setiap tahunnya mengimpor rata-rata 3 juta m3 kayu
gelondongan--sekitar 30% dari seluruh kebutuhannya. Jika
permintaan di dalam negeri naik, Jepang masih bisa mengimpor
kayu gelondongan dari Sabah dan Serawak (Malaysia), serta Papua
Nugini.
Kendati demikian, para pengusaha kayu olahan di sana tetap
merasa khawatir jika dalam dua atau tiga tahun mendatang,
Malaysia akan mengikuti jejak Indonesia. Ancaman yang kini sudah
tampak: kayu lapis (olahan) Indonesia jika bisa masuk Jepang
bakal menyaingi produksi setempat.
Keputusan pemerintah menghentikan ekspor kayu gelondongan itu
tampaknya akan merugikan Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan,
yang selama ini banyak mengandalkan suplai Indonesia. Lewat
Singapura itu kayu lapis Indonesia biasanya diolah kembali
menjadi lebih bermutu, lalu dijual ke pasar Eropa Barat dengan
harga yang jauh lebih mahal. Taiwan dan Korea Selatan yang
dikenal sebagai eksportir kayu lapis terkemuka di Asia,
masing-masing mengekspor 2 juta m3 setahun.
Kalau Mati Sekarang
Tapi dengan kebijaksanaan baru di bidang pengolahan kayu itu,
Bob Hasan yakin Indonesia yang tahun ini memproduksi 1,5 juta m3
kayu lapis bisa mengalahkan kemampuan kedua negara itu.
"Pokoknya tinggal tunggu waktu saja," ujarnya. "Kalau kita
matikan sekarang tidak baik. Nanti pasaran kayu lapis malah
mati."
Walaupun dunia sedang dilanda resesi, pengusaha kayu lapis
Indonesia optimistis pasaran komoditi itu tetap baik. Toh,
menurut Dirjen Kehutanan Soedjarwo, pengusaha Indonesia masih
tetap belum lepas dari sejumlah kesulitan, terutama yang
menyangkut pengapalan. Dia memberi contoh pengapalan kayu lapis
ke AS. "Dikirim langsung makan biaya sekitar US$ 100 (Rp 65.000)
per m3. Jika lewat pengusaha Taiwan, jatuhnya US$ 70 per m3.
Namun kalau Singapura yang kirim jatuhnya cuma US$ 40 per m3,"
katanya.
Itu diungkapkan Soedjarwo dalam suatu seminar yang disponsori
Hildebrand akhir Februari di Jakarta. Pabrik pembuat mesin
pengolahan kayu dari Jerman Barat itu memang melihat peluang
baik untuk menjual produksinya di Indonesia sesudah muncul SK
bersama 4 Dirjen itu. "Saya tidak punya saham di Hildebrand,
tapi saya mendorongnya karena usahanya akan bermanfaat bagi
Indonesia," ujar Soedjarwo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini