Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pukulan si gelondongan

Skb 4 dirjen (aneka industri, perdagangan luar negeri, kehutanan dan perdagangan dalam negeri), mertujuan merangsang industri pengolahan kayu di dalam negeri. (eb)

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Pukulan si gelondongan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KAYU lapis (plywood) Indonesia sudah lama menembus pasar Amerika Serikat. Ke kawasan itu, PT Kalimanis Plywood Industries, misalnya, sudah 44 kali mengapalkan, rata-rata 9.500 m3 sekali angkut. Bob Hasan, Presiden Komisaris, memperkirakan omset komoditi itu di AS tahun ini bakal mencapai US$ 50 milyar (Rp 32,6 triliun). Dalam situasi resesi seperti sekarang, "kami ambil saham lima persen saja deh, berapa itu jumlahnya?" katanya. Bob Hasan yang juga Ketua Umum Asosiasi Produsen Kayu Lapis Indonesia (Apkindo), tentu tidak berseloroh. Di belakang dia, kini puluhan produsen kayu lapis memang sedang berusaha mendorong ekspor komoditi itu ke AS, Eropa Barat, dan Timur Tengah. Kepada produsen, pemerintah yang sangat berkepentingan menggalakkan ekspor komoditi nonminyak, telah memberikan sejumlah kemudahan prosedur ekspor. Bahkan pertengahan Februari lalu, empat Dirjen--Aneka Industri, Perdagangan Luar Negeri, Kehutanan, dan Perdagangan Dalam Negeri--mengeluarkan Surat Keputusan bersama yang bertujuan merangsang industri pengolahan kayu di dalam negeri. Dengan SK bersama itu pula, pemerintah mencanangkan secara berangsur akan mengurangi ekspor kayu gelondongan (log) hingga tahun- L85 distop sama sekali. Maka jika tahun ini ekspornya dibatasi sampai 4,5 juta m3, pada 1983 dan 1984, masing-masing hanya 3 juta dan 1,5 juta m3. Kendati pengusaha kayu olahan (lapis) Jepang bersikap dingin, di luar dugaan Dirjen Kehutanan Tomohide Akiyama, menanggapi keputusan itu. Dia meminta agar Jakarta secara baik-baik mempertimbangkan kembali kebijaksanaan tersebut. "Hasrat perusahaan Jepang untuk menanamkan, modal baru di sektor industri pengolahan kayu di Indonesia akan berkurang karenanya," katanya. Sampai kini dari 41 pabrik kayu lapis, memang baru satu yang diusahakan dengan investasi Jepang, tiga lainnya sedang dalam tahap pembangunan. "Kalau toh pihak Jepang keberatan tanam modal di sektor ini, terserah mereka," kata Dirjen Aneka Industri Kusudiarso Hadinoto. Benarkah Jepang terpukul? Menurut harian Nibon Keizai Sbimbun (23 Februari), keputusan Jakarta itu tidak menimbulkan pukulan di kalangan pengusaha kayu olahan di Jepang. Dari Indonesia, negeri itu setiap tahunnya mengimpor rata-rata 3 juta m3 kayu gelondongan--sekitar 30% dari seluruh kebutuhannya. Jika permintaan di dalam negeri naik, Jepang masih bisa mengimpor kayu gelondongan dari Sabah dan Serawak (Malaysia), serta Papua Nugini. Kendati demikian, para pengusaha kayu olahan di sana tetap merasa khawatir jika dalam dua atau tiga tahun mendatang, Malaysia akan mengikuti jejak Indonesia. Ancaman yang kini sudah tampak: kayu lapis (olahan) Indonesia jika bisa masuk Jepang bakal menyaingi produksi setempat. Keputusan pemerintah menghentikan ekspor kayu gelondongan itu tampaknya akan merugikan Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan, yang selama ini banyak mengandalkan suplai Indonesia. Lewat Singapura itu kayu lapis Indonesia biasanya diolah kembali menjadi lebih bermutu, lalu dijual ke pasar Eropa Barat dengan harga yang jauh lebih mahal. Taiwan dan Korea Selatan yang dikenal sebagai eksportir kayu lapis terkemuka di Asia, masing-masing mengekspor 2 juta m3 setahun. Kalau Mati Sekarang Tapi dengan kebijaksanaan baru di bidang pengolahan kayu itu, Bob Hasan yakin Indonesia yang tahun ini memproduksi 1,5 juta m3 kayu lapis bisa mengalahkan kemampuan kedua negara itu. "Pokoknya tinggal tunggu waktu saja," ujarnya. "Kalau kita matikan sekarang tidak baik. Nanti pasaran kayu lapis malah mati." Walaupun dunia sedang dilanda resesi, pengusaha kayu lapis Indonesia optimistis pasaran komoditi itu tetap baik. Toh, menurut Dirjen Kehutanan Soedjarwo, pengusaha Indonesia masih tetap belum lepas dari sejumlah kesulitan, terutama yang menyangkut pengapalan. Dia memberi contoh pengapalan kayu lapis ke AS. "Dikirim langsung makan biaya sekitar US$ 100 (Rp 65.000) per m3. Jika lewat pengusaha Taiwan, jatuhnya US$ 70 per m3. Namun kalau Singapura yang kirim jatuhnya cuma US$ 40 per m3," katanya. Itu diungkapkan Soedjarwo dalam suatu seminar yang disponsori Hildebrand akhir Februari di Jakarta. Pabrik pembuat mesin pengolahan kayu dari Jerman Barat itu memang melihat peluang baik untuk menjual produksinya di Indonesia sesudah muncul SK bersama 4 Dirjen itu. "Saya tidak punya saham di Hildebrand, tapi saya mendorongnya karena usahanya akan bermanfaat bagi Indonesia," ujar Soedjarwo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus