Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Di Balik Legenda Sayur Lodeh yang Mengusir Wabah di Yogyakarta

Menurut legenda, ketika wabah penyakit datang ke kota Yogyakarta, Sultan memerintahkan warganya memasak sayur lodeh dan tinggal di rumah 49 hari.

16 Mei 2020 | 22.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi lodeh kluwih. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Menurut legenda, ketika wabah penyakit datang ke kota Yogyakarta, Sultan memerintahkan warganya untuk memasak sayur lodeh dan tinggal di rumah selama 49 hari. Dan wabah itu berakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hingga kini sebagaian masyarakat Jawa, terutama Jawa-Mataraman meyakini sayur lodeh memiliki khasiat menangkal penyakit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dinukil dari BBC, sayur lodeh adalah sayur kari sederhana yang terbuat dari tujuh bahan utama dan bumbu santan pedas. Ahli gizi yang telah mempelajari makanan, menunjukkan manfaat tambahan bagi kesehatan dalam bumbu sayur lodeh.

Lengkuas misalnya, dianggap memiliki kualitas anti-inflamasi. Bumbu dalam sayur lodeh tak mengenal musim,  mudah didapat, dan menjadikannya sempurna untuk karantina.

Tetapi yang paling penting tentang perintah Sultan untuk memasak sayur lodeh, adalah wujud dari solidaritas dalam melawan wabah. Seluruh kota yang memasak satu jenis makanan dan dalam waktu yang bersamaan, menciptakan rasa kebersamaan yang kuat.

“Seperti banyak aspek kepercayaan orang Jawa, tujuannya adalah untuk menghindari kemalangan,” kata Revianto Budi Santoso, seorang arsitek, guru, dan siswa budaya Jawa. 

Makanan Jawa secara keseluruhan kaya dengan simbolisme. Misalnya, nasi tumpeng adalah campuran daging dan sayuran yang dimahkotai oleh menara nasi kuning berbentuk kerucut. Presentasi hidangan seharusnya mencerminkan tatanan dunia di bawah Tuhan. Nasi kuning adalah hidangan nasi aromatik yang dianggap membawa berkah bagi rumah dan bisnis baru.

Keraton Yogyakarta masih menjadi destinasi wisata yang paling diminati wisatawa. TEMPO/Pribadi Wicaksono

Sayur lodeh memperluas simbolisme ini secara linguistik dan numerologis. Masing-masing dari tujuh bahan utama yang ditambahkan ke dalam santan, berupa melinjo, daun melinjo, labu siam, kacang panjang, terong, nangka dan tempe -- semuanya memiliki makna simbolis. 

Dalam bahasa Jawa, terong wungu berarti ungu, tetapi juga sesuatu seperti “bangun”; sedangkan lanjar dari kacang lanjar sama dengan “berkah”. Kumpulkan tujuh item dan Anda memiliki sesuatu yang hampir menyerupai mantra.

Ritual memasak sayur lodeh adalah contoh slametan, sejenis ritual komunal yang diidentifikasi oleh antropolog Clifford Geertz sebagai ciri utama budaya Jawa. Salah satu ciri khas slametan adalah adanya sayur lodeh sebagai simbol tak berharap banyak, kecuali berhasil.

"Sangat menarik bahwa sayur lodeh bukan hal yang individual," kata Santoso. “Ini merupakan respons terhadap kemalangan yang sepertinya akan mengalahkan semua orang. Ini adalah upaya untuk mengurangi, menghindari sesuatu yang mungkin tak terhindarkan," imbuhnya.

Beberapa sarjana percaya, bahwa tradisi ini merentang kembali ke masa kejayaan peradaban Jawa Tengah pada abad ke-10, di mana lodeh memungkinkan penduduk untuk berlindung dengan aman selama letusan besar-besaran Gunung Merapi pada tahun 1006.

Sejarawan makanan seperti Fadly Rahman telah meneliti sayur lodeh abad ke-16 dan setelahnya. Menurut Fadly, Spanyol dan Portugis memperkenalkan kacang panjang ke Jawa. Yang lain berpendapat bahwa itu adalah "tradisi kuno" yang diciptakan pada abad ke-19: pada pergantian abad ke-20, para intelektual Yogyakarta berada di jantung Kebangkitan Nasional Indonesia -- sebuah periode ketika banyak mitos nasional ditemukan dengan berbagai cara, dirayakan dan diciptakan.

Legenda sayur lodeh diperkuat di awal abad ke-20. Contoh paling terkenal datang dari tahun 1931, pada masa pemerintahan Sultan HB VIII, Jawa telah menderita gelombang wabah pes berturut-turut selama lebih dari dua dekade.

Istri Wali Kota Surakarta Endang Prasetyaningsih Rudyatmo memperlihatkan sayur lodeh hasil masakannya. Dia memperagakan memasak sayur menggunakan arang dalam acara Dharma Wanita PDAM Surakarta. TEMPO | Ahmad Rafiq

Tetapi catatan-catatan juga menunjukkan bahwa sayur lodeh dimasak untuk merespons krisis pada tahun 1876, 1892, 1946, 1948, dan 1951. Jadi, saat ada hoax mengenai Sultan Hamengkubuwono X memerintahkan membuat sayur lodeh untuk mengusir wabah virus corona, para warga senior Yogyakarta tak merisaukannya.

Mereka tetap memasak sayur lodeh dan menunggu 49 hari di dalam rumah, hingga wabah lewat.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus