Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Di Luar Jeruji Besi

Suka duka petugas lembaga pemasyarakatan kerjanya penuh resiko ada yang menuduh tukang siksa & suka memeras. yang lebih berat apabila narapidana lari.

29 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA petugas keamanan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sala -- Jawa Tengah -- sekarang sedang sibuk. Sekaligus juga susah. Sembilan narapidana tergolong kelas kakap, 9 Maret pagi berhasil kabur. Pihak kepolisian Koresta 951, Sala, sampai saat ini masih terus mengusut para petugas untuk mencari jawab: apa gerangan latar belakang pelarian itu. Tapi yang pasti, kejadian ini merupakan cerita sial bagi sepuluh petugas yang menjaga LP itu. Pukul empat subuh itu petugas keamanan masih sempat mengadakan kontrol terakhir di tiap sel. Waktu itu tampak semua napi sedang tidur pulas. Tapi ternyata Umar pura-pura tidur dan begitu petugas pengontrol lewat ia menggergaji jeruji selnya. Kemudian ia menembus kamar nomor 11 dan 12. Bersama 8 orang lainnya Umar melarikan diri di pagi buta itu. Hingga 15 Maret baru 3 orang yang tertangkap kembali. (Lihat juga: Kriminalitas). Apakah cerita ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa menjadi petugas LP penuh risiko? Belum lagi tuduhan-tuduhan: tukang siksa, suka memeras para napi atau macam-macam lagi. Karena itu menurut Marcus Kasnadi kepala Bagian Keamanan LP Banceuy, Bandung, "menjadi petugas LP lebih banyak suka daripada dukanya." Ia baru 2 tahun bekerja, tapi mengaku sudah banyak belajar mengenai karakter napi. Ia melihat bagaimanapun jahatnya para napi itu, sebagai manusia mereka tetap tidak bebas dari rasa sedih, rindu dan sebagainya. "Kami seperti menghadapi anak-anak saja," kata alumni Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) Jakarta itu. Tapi ternyata dengan mempelajari watak para napi, baginya sekaligus merupakan usaha mencegah perbuatan nekat -- pelarian, misalnya. "Bila kita sudah tahu karakternya, seorang napi yang bermaksud melarikan diri sudah di ketahui paling lambat dua tiga hari sebelumnya" katanya menjelaskan. Bakso Tapi Suwita pegawai LP Purwakarta (Ja-Bar) mengakui tugasnya enak. "Habis cuma menjaga tok," ujar lelaki tamatan SMP tahun 1969 ini. Setiap minggu ia bertugas 6 kali. Dua kali pagi, dua kali siang dan dua kali malam. Tugas dilakukan bersama 7 rekannya selama 6 jam. Ini menyebabkan ia masih punya sisa waktu untuk menambah penghasilan. Tak dijelaskan dengan cara apa. Karena gajinya hanya Rp 20 ribu. Uang sampingan dari penjara hampir tak ada -- "paling banter pemberian tamu-tamu napi itu." LP Purwakarta bisa menampung 350 napi. Sekarang cuma diisi 183 orang, plus tahanan titipan dari Kejaksaan Karawang dan Purwakarta sendiri. Kalau menyebut soal kesulitan, bagi Suwita mungkin karena harus menghadapi berbagai macam watak sekaligus. Ada napi yang doyan buka mulut, ada yang pendiam ada yang serem tapi ada juga yang anteng tapi makan dalam. "Tapi umumnya mereka penurut," katanya. Meskipun demikian, Juni 1978 ia sempat terpukul. Ceritanya: Dengan dalih dibelikan bakso terlalu pedas, seorang napi bernama Adung menumpahkan makanan itu ke muka Suwita. Bersamaan dengan itu Adung berhasil kabur. Kebetulan yang bertugas hari itu hanya 2 orang sipir. Hampir saja 60 orang napi plus tahanan titipan ikut kabur jika tidak rekan Suwita segera memutuskan lebih baik menjaga agar 60 napi yang ada tidak lari dan membiarkan Adung kabur. Tidak diceritakan bagaimana kelanjutan cerita pelarian Adung. Tapi akibat peristiwa itu, sampai sekarang gaji berkala Suwita tak keluar. "Saya maklum kalau itu hukuman yang mesti diterima," katanya. Bukan itu saja. Di LP Kalisosok -- Surabaya -- ditampung 1.600 napi. Tiga puluh orang petugas berkeliaran setiap kali. Di situ ada sipir bernama Imam Thurmudzi. Ia memulai karirnya sejak kelas tiga SMA di Bojonegoro (1964). "Kalau saya kena giliran dinas pagi, saya terpaksa membolos," ujarnya, "untuk melanjutkan sekolah." Tapi kemudian ia berhasil masuk ke Fakultas Hukum Airlangga Cabang Bojonegoro. Bersamaan dengan itu ia ditugaskan untuk menjaga LP Pertanian Terbuka, di Desa Mojoranu, 10 km di selatan Bojonegoro, dengan 50 orang napi yang berkondite baik. Pada 1967 Imam diangkat sebagai Kepala Bagian Keamanan LP Bojonegoro. Di akhir tahun itu juga ia menggondol gelar BA. Dua tahun kemudian menikah sambil meneruskan kuliah sampai mendapat gelar SH. Dan sekarang ia menjabat Ka. Sunsie Perawatan di Kalisosok, tergolong pegawai III A dengan gaji menurut pengakuannya -- tak sampai Rp 60 ribu. "Meski pun saya sudah bersusah payah membina karir saya. Tapi itu bukan berarti saya mengeluh, lho," ujarnya pada TEMPO. "Ah, nggak ada yang menarik sebetulnya kehidupan petugas LP itu," kata Imam lebih lanjut. Yang lebih menarik adalah kehidupan para napi sendiri. Misalnya pada suatu Minggu 1976, seorang residivis, penodong, perampok, menusuk sesama napi dengan belati. Untung korban berkelit sehingga hanya tangannya yang terluka. Dan segera seluruh napi mengepung si penusuk. Orang ini dengan tenang menjilati darah yang melumuri belatinya sambil mengancam: "Siapa yang berani dekat kubunuh juga!" Menyaksikan kejadian itu Imam Thurmudzi berlari ke dapur mengambil mengaduk nasi. (Di LP pengaduk nasi sebesar sekop). Dengan senjata itu ia sendiri langsung mendesak penusuk itu ke sudut. Lelaki itu kemudian menyerah sambil menjatuhkan belatinya. Perkelahian itu ternyata karena memperebutkan anak gadis seorang napi yang sering menjenguk bapaknya di penjara. "Percintaan antara napi dengan anak gadis napi lainnya sudah berkali-kali terjadi di LP Kalisosok," kata Imam. LP Wanita Di Malang ada LP Wanita. Penghuninya 100 orang. Sedangkan petugasnya 52 orang. Tampaknya tidak terlalu sibuk. Keadaan penjara pun lebih enak. Di situ bekerja seorang wanita bernama Ratminah. Ia memulai tugasnya di penjara Blitar pada 1945, ketika masih berusia 19 tahun dengan pangkat Itoo Hozyo Kansyo -- sekarang sama dengan Pembantu Penjaga, pangkat paling rendah di LP. "Mula-mula rasanya enggak enak dan canggung," ujarnya. Tapi kemudian mengurusi napi wanita memiliki daya menarik tersendiri. Kenapa? "Yah, meskipun kadang mukanya angker, di hati saya tumbuh hasrat bagaimana agar orang-orang itu bisa baik kembali," ujarnya. Tahun 1948, Ratminah keluar karena Belanda menduduki Blitar. Baru 1950 ia aktif lagi. Waktu itu hanya ada 2 napi perempuan ia jadi banyak nganggur tapi 2 tahun sekali terus naik pangkat. Hidupnya bersama suaminya lumayan dipindahkan ke Malang, ke LP Wanita Kelas I di tahun 1952. "Saya cuma sedih, semua petugas LP wanita terlambat naik pangkat. Delapan tahun tak ada perubahan," ujarnya. Untunglah pada 1968 turun PGPS. Kenaikan kemudian dapat dipastikan. Mulai tahun itu, LP Wanita Malang mandiri, dengan diangkatnya seorang direktris. Tahun 1978 direktris disebut Kepala LP. Napi wanita menurut Ratminah memang berbeda dengan napi pria. "Umumnya mereka patuh pada tugas." kata Ratminah. Pernah juga sekali ada yang melarikan diri, tapi gagal. Ternyata orangnya memang senewen. "Cukup diancam dengan kata-kata: nanti akan disel, atau nanti 17 Agustus tidak akan diberi pengampunan, mereka sudah takut," kata Ratminah. Yang mengherankannya adalah kenyataan bahwa napi dengan kejahatan membunuh paling mudah diatur ketimbang bekas penipu atau pencuri. Setahun lagi Ratminah akan pensiun. Kini pangkatnya Pengatur Muda -- setaraf dengan pegawai golongan IIB. Gajinya Rp 47 ribu. Digabung dengan pensiun suaminya yang berjumlah Rp 48 ribu, kelihatan asap dapurnya cukup stabil. Menjelang tahun ke-35 pengabdiannya di dalam penjara, ia berkata: "Cukup tenang untuk hidup masa tua." "Orang bekerja di sini ibarat telah menentukan jodoh. Mau ditinggalkan sayang," kata Nyonya Haris di LP wanita Bukit Duri -- Jakarta. LP yang termasuk kelas dua itu berkapasitas 250 orang, tapi kini hanya terisi sekitar 103 orang. Nyonya Haris bekerja di situ sejak 1965, kini pangkatnya Kepala Keamanan. Di situlah ia bertemu dengan Pak Haris suaminya. Sayang ia enggan mengungkapkan pertemuan jodohnya ini. "Kita bekerja di sini santai saja. Kalau di Cipinang (penjara lelaki di Jakarta) alis kita bisa begini," katanya sambil mengernyitkan kening. Ia mengaku selama bertugas hanya ditemani oleh pistol biasa, karena sekarang tidak diizinkan membawa senjata standar. "Tapi saya tidak pernah mempergunakannya, mudah-mudahan tak akan pernah," kata nyonya itu. Ia mengaku jarang menghadapi gangguan dari para napi. Selama bertugas Nyonya Haris (39 tahun) menyaksikan 2 kali usaha napi melarikan diri, tapi gagal. "Biasanya kalau lama tidak mendapat kunjungan keluarga atau tidak pernah mendapat surat mereka akan menjerit-jerit histeris, kuatir suaminya sudah kawin lagi atau apa," kata Kepala Keamanan itu menjelaskan, "lalu timbul niat melarikan diri." Yang paling menggugah hati napi wanita adalah kalau sang suami berkunjung dan melaporkan anak mereka sakit -- atau ada anak yang putus sekolah -- atau pakaian anak-anak tidak teratur karena ditinggal ibunya. Henky Tupanwael Di LP Cipinan yang berkapasitas 2530 orang, lain lagi ceritanya. Di situ ada sipir Siem Soey Hien (54 tahun) yang sudah 31 tahun bertugas. Ia sudah banyak makan garam dan bertemu dengan napi kelas kakap seperti Almarhum Kusni Kasdut dan Henky Tupanwael. "Kusni Kasdut mungkin kenyang dengan pukulan saya. Habis dia bandel setengah mati, pernah mencekik pegawai di sini. Kadang-kadang baik, tapi baiknya cuma buat nipu," kata Hien. Tentang Henky Tupanwael dia bercerita: "Mula-mula liar betul, 3 bulan tangannya tetap diborgol dan dikerangkeng dalam sel satu pintu. Sekali-sekali dia menawarkan rokok kepada saya, tetapi saya tolak." Itulah resep Hien untuk menjatuhkan keangkuhan seorang napi. Pada 1970 Hien mengawal seorang napi asal Tangerang yang mendapat izin ke Glodok karena adiknya kawin. Tahu-tahu kawalannya hilang. "Walaupun saya bersenjata, karena orang ramai sulit menembaknya -- kalau saya bertemu kembali ingin rasanya menembaknya," kata Hien menyimpan marah. Karena itu kenaikan pangkatnya ditunda. Akhirnya ia mencoba melacak sendiri, tapi gagal. Belakangan ia mendengar dari seorang napi, buronan yang dihukum 15 tahun itu sudah meninggal. "Gemas saya rasanya, untung tidak sampai dipecat," katanya mengenangkan. Kini Hien menjabat Komandan Seksi 4 dengan pangkat pegawai golongan IIB. Ketika ia mulai berdinas awal 1949 direktur penjara masih orang Belanda. Waktu itu gajinya Rp 46 -- kini Rp 46 ribu. Dua tahun lagi ia pensiun. Ketika ditanya apa yang mendorongnya menjadi petugas penjara, langsung dijawabnya: "Ya, saya tak punya keahlian lain."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus