GUGUSAN bangunan itu memberi kesan sejumlah tanki penyimpan
minyak dari bentuk arsitekturnya. Diberi nama Wisma Cinta Alam,
yang akan melengkapi Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Jawa
Barat.
Di atas tanah seluas 2 ha, WCA itu terdiri dari 4 pavilyun yang
saling berhubungan melalui emper. Pavilyun induk berbentuk segi
delapan. Ia dikelilingi 3 pavilyun lebih kecil yang mengulang
bentuk induk itu.
Arsitekturnya bertolak dari konsep rumah joglo, terutama
terkesan dari atapnya. Tapi rumah joglo terutama didominasi oleh
masa atap yang tampak masif. Sedang pada WCA, dindingnya tampak
lebih masif dibanding masa atapnya.
Terasa arsitekturnya kurang berpadu dengan alam sekeliling.
Meski begitu, gugusan bangunan itu cukup mewah dengan konstruksi
beton bertulang, atap sirap, dinding berwarna krem redup kosen
kayu jati dan lantai ubin berpadu dengan bata super. PT Caltex
Pacific Indonesia menyumbang US$ 100.000 (Rp 62,5 juta) untuk
pembangunan serta beberapa perlengkapan.
Kami Dirugikan
Terletak hanya 500 m sebelum pintu gerbang Taman Nasional itu,
WCA dimaksud untuk persinggahan pertama. tempat calon pengunjung
memperoleh informasi. Akan bisa diketahui dari situ sejarah,
tujuan dan nilai ilmiah kawasan konservasi itu. Calon pengunjung
diharapkan akan memahami dan menikmati berbagai gejala alam yang
unik dan mengagumkan di kawasan itu.
Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango diresmikan baru-baru ini
berbarengan dengan peresmian empat taman besar Indonesia
lainnya. Tapi bagian tertentu kawasan ini sudah diresmikan tahun
1889. Berbatasan dengan itu terdapat Kebon Raya Cibodas yang
bahkan didirikan tahun 1830.
Di dalamnya terdapat 245 jenis burung, hampir separuh jumlah
jenis di seluruh Jawa. Juga ada binatang menyusui seperti macan
tutul, anjing hutan, primata, babi hutan. Sedang hutannya
tergolong yang terbaik di seluruh Jawa.
Kawasan ini meliputi kawah Gunung Gede yang masih aktif dan
kawah Gunung Pangrango yang sudah mati. Rata-rata ketinggian
Taman Nasional itu antara 1000 m dan 3019 m. Alamnya mengagumkan
dengan air terjun, sumber air panas, danau, caldera, rawa dan
gua.
Sejak semula proyek WCA ini mengalami keterlambatan. Tidak
sedikit karena gangguan teknis yang tak diduga sebelumnya oleh
perencana dan konsultannya. Di luar dugaan tanah bakal bangunan
itu penuh batu padas, yang terpaksa digali lebih dulu dengan
susah-payah. Juga pengaruh air tanah dan kemungkinan
peresapannya kurang diperhatikan. Di belakang kompleks itu
terdapat bukir. Akibatnya air yang turun dari bukit itu
menggenangi pelataran ruang pertemuan hingga sedalam 10 cm.
Kemudian terpaksa digali sebuah parit yang diharapkan menampung
air ini sebelum meresap ke dalam bangunan.
Proyek itu memang belum selesai. Bangunannya sudah rampung,
hanya beberapa bagian kecil saja yang belum dicat. Tapi keadaan
halaman sekelilingnya masih semrawut. Belum ditanami rumput
serta tanaman hias lainnya.
Sejumlah lampu taman sudah tegak di halaman itu. Sebuah
diesel-generator berkapasitas 10 kva menyediakan aliran listrik
bagi kompleks itu.
Pavilyun induk terdiri atas 4 ruangan pokok. Ruangan penerimaan
(lobi), menurut rencana, akan dilengkapi dengan berbagai foto
alam kawasan itu di samping berbagai fasilitas untuk memperoleh
informasi.
Terdapat pula ruangan pameran dan museum. Ruangan pertemuannya
terluas dalam pavilyun ini dan dapat menampung sekitar 150
orang. Barisan undak-undak, sebagai tempat duduk, menurun
mengeliligi sebuah pelataran yang nanti merupakan tempat papan
tulis, layar film dan slide. "Ruang ini bisa dipergunakan untuk
diskusi antar klub pencinta alam," ujar Drs. Herry Djokosusilo,
staf Direktorat PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam) yang
bakal mengelola proyek itu.
Dijelaskannya bahwa Wisma ini bukan untuk tempat menginap. "Saya
bersama beberapa teman bahkan mengontrak rumah penduduk,"
katanya.
Tiga pavilyun kecil di situ punya fungsi antara lain sebagai
tempat diesel, WC dan kamar mandi, kantor, perpustakaan, tempat
penelitian dan perencanaan. Dan, tentu, ruang penjaga.
Tidak sulit menemukan kawasan konservasi alam ini. Dari arah
Jakarta ke Bandung, di Cimacan berbelok ke arah selatan. Melalui
jalan sepanjang 5 km, sampailah di pintu gerbang Taman Nasional
itu. Jalannya kini licin terlapis aspal, dan sederetan lampu
listrik menghalau gelap di malam hari.
Jalan ini -- sejak tahun lalu dilebarkan menjadi 2 jalur --
melintasi tanah penduduk. "Kami benar-benar dirugikan," ujar
Kliwon, penduduk desa Rarahan kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO,
"padahal sejak September lalu, Pemda Ja-Bar berjanji membereskan
pembayaran." Kliwon mewakili sekitar 220 Kepala Keluarga yang
senasib. Mereka telah dua kali mengirim utusan ke DPRD tingkat
II, Cianjur. Hasilnya tetap nihil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini