Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Mampir Ke Wisma Dekat Cipanas, Mampir Ke Wisma

Taman gunung gede pangrango dilengkapi dengan wisma cinta alam sebagai kawasan konservasi alam, suaka burung-burung dan binatang lain. berdekatan dengan kebun raya cibodas.

29 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUGUSAN bangunan itu memberi kesan sejumlah tanki penyimpan minyak dari bentuk arsitekturnya. Diberi nama Wisma Cinta Alam, yang akan melengkapi Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Jawa Barat. Di atas tanah seluas 2 ha, WCA itu terdiri dari 4 pavilyun yang saling berhubungan melalui emper. Pavilyun induk berbentuk segi delapan. Ia dikelilingi 3 pavilyun lebih kecil yang mengulang bentuk induk itu. Arsitekturnya bertolak dari konsep rumah joglo, terutama terkesan dari atapnya. Tapi rumah joglo terutama didominasi oleh masa atap yang tampak masif. Sedang pada WCA, dindingnya tampak lebih masif dibanding masa atapnya. Terasa arsitekturnya kurang berpadu dengan alam sekeliling. Meski begitu, gugusan bangunan itu cukup mewah dengan konstruksi beton bertulang, atap sirap, dinding berwarna krem redup kosen kayu jati dan lantai ubin berpadu dengan bata super. PT Caltex Pacific Indonesia menyumbang US$ 100.000 (Rp 62,5 juta) untuk pembangunan serta beberapa perlengkapan. Kami Dirugikan Terletak hanya 500 m sebelum pintu gerbang Taman Nasional itu, WCA dimaksud untuk persinggahan pertama. tempat calon pengunjung memperoleh informasi. Akan bisa diketahui dari situ sejarah, tujuan dan nilai ilmiah kawasan konservasi itu. Calon pengunjung diharapkan akan memahami dan menikmati berbagai gejala alam yang unik dan mengagumkan di kawasan itu. Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango diresmikan baru-baru ini berbarengan dengan peresmian empat taman besar Indonesia lainnya. Tapi bagian tertentu kawasan ini sudah diresmikan tahun 1889. Berbatasan dengan itu terdapat Kebon Raya Cibodas yang bahkan didirikan tahun 1830. Di dalamnya terdapat 245 jenis burung, hampir separuh jumlah jenis di seluruh Jawa. Juga ada binatang menyusui seperti macan tutul, anjing hutan, primata, babi hutan. Sedang hutannya tergolong yang terbaik di seluruh Jawa. Kawasan ini meliputi kawah Gunung Gede yang masih aktif dan kawah Gunung Pangrango yang sudah mati. Rata-rata ketinggian Taman Nasional itu antara 1000 m dan 3019 m. Alamnya mengagumkan dengan air terjun, sumber air panas, danau, caldera, rawa dan gua. Sejak semula proyek WCA ini mengalami keterlambatan. Tidak sedikit karena gangguan teknis yang tak diduga sebelumnya oleh perencana dan konsultannya. Di luar dugaan tanah bakal bangunan itu penuh batu padas, yang terpaksa digali lebih dulu dengan susah-payah. Juga pengaruh air tanah dan kemungkinan peresapannya kurang diperhatikan. Di belakang kompleks itu terdapat bukir. Akibatnya air yang turun dari bukit itu menggenangi pelataran ruang pertemuan hingga sedalam 10 cm. Kemudian terpaksa digali sebuah parit yang diharapkan menampung air ini sebelum meresap ke dalam bangunan. Proyek itu memang belum selesai. Bangunannya sudah rampung, hanya beberapa bagian kecil saja yang belum dicat. Tapi keadaan halaman sekelilingnya masih semrawut. Belum ditanami rumput serta tanaman hias lainnya. Sejumlah lampu taman sudah tegak di halaman itu. Sebuah diesel-generator berkapasitas 10 kva menyediakan aliran listrik bagi kompleks itu. Pavilyun induk terdiri atas 4 ruangan pokok. Ruangan penerimaan (lobi), menurut rencana, akan dilengkapi dengan berbagai foto alam kawasan itu di samping berbagai fasilitas untuk memperoleh informasi. Terdapat pula ruangan pameran dan museum. Ruangan pertemuannya terluas dalam pavilyun ini dan dapat menampung sekitar 150 orang. Barisan undak-undak, sebagai tempat duduk, menurun mengeliligi sebuah pelataran yang nanti merupakan tempat papan tulis, layar film dan slide. "Ruang ini bisa dipergunakan untuk diskusi antar klub pencinta alam," ujar Drs. Herry Djokosusilo, staf Direktorat PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam) yang bakal mengelola proyek itu. Dijelaskannya bahwa Wisma ini bukan untuk tempat menginap. "Saya bersama beberapa teman bahkan mengontrak rumah penduduk," katanya. Tiga pavilyun kecil di situ punya fungsi antara lain sebagai tempat diesel, WC dan kamar mandi, kantor, perpustakaan, tempat penelitian dan perencanaan. Dan, tentu, ruang penjaga. Tidak sulit menemukan kawasan konservasi alam ini. Dari arah Jakarta ke Bandung, di Cimacan berbelok ke arah selatan. Melalui jalan sepanjang 5 km, sampailah di pintu gerbang Taman Nasional itu. Jalannya kini licin terlapis aspal, dan sederetan lampu listrik menghalau gelap di malam hari. Jalan ini -- sejak tahun lalu dilebarkan menjadi 2 jalur -- melintasi tanah penduduk. "Kami benar-benar dirugikan," ujar Kliwon, penduduk desa Rarahan kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO, "padahal sejak September lalu, Pemda Ja-Bar berjanji membereskan pembayaran." Kliwon mewakili sekitar 220 Kepala Keluarga yang senasib. Mereka telah dua kali mengirim utusan ke DPRD tingkat II, Cianjur. Hasilnya tetap nihil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus