Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Pacar-pacar bung hata

Terdapat pustaka hatta di bukit tinggi dan perpustakaan yayasan hatta di jogya. perpustakaan pribadi bung hatta menyimpan sekitar 30.000 buku. belum jelas akan disalurkan ke mana.

29 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOHAMMAD Hatta kecil suka menabung. Uang sakunya yang 1 gobang (25 sen), disimpan untuk membeli buku. Ia pun sangat menyayangi buku-bukunya. Bila temannya meminjam, dan kembali dalam keadaan kotor, atau ada halaman yang terlipat, Hatta akan marah sekali. Sampai akhir hayatnya, pertengahan Maret ini, cinta-bukunya yang seperti itu tak berubah. "Mungkin orang tak percaya, ayah tak punya deposito," cerita Gemala Hatta, putrinya kedua. "Tapi ada sekitar 30 ribu buku di perpustakaannya." Maka agak aneh bila dalam buku yang berisi 58 tulisan tentang Bung Hatta dihimpun untuk memperingati 70 tahun tokoh itu, Bung Hatta -- Mengabdi Pada Tjita-tjita Perdjoangan Bangsa, tak sebiji pun yang menyinggung Hatta dan buku. Meski Basyariah Sanusi Galib, adik bungsu Hatta, punya kenangan tentang hubungan kakaknya dan buku: "Buku itulah pacar dia." Tetapi Hatta sebenarnya bukan pacar yang pencemburu. Ia bahkan suka sekali menyumbangkan buku-bukunya -- yang kebetulan dimilikinya lebih dari satu misalnya pada Pustaka Hatta, Bukittinggi. Meskipun kesetiaannya terhadap pacarnya taklah diragukan, ketika dibuang ke Digul, dibawanya serta 16 peti buku. Di sebuah ruangan yang cukup luas di rumah Jl. Diponegoro, di situlah 30 ribu buku itu bersemayam. Datang dari segala penjuru: berbahasa Jerman, Inggris, selanda, Prancis dan tentu saja Ind nnesia. Berisi berjenis pengetahuan ekonomi, politik, hukum, sejarah, agarna, filsafat. Sebagai tokoh yang terkenal dan juga dikenal sebagai penulis, memang banyak sahabatnya di luar negeri -- atau mereka yang lagi bepergian ke luar negeri -- suka mengirim buku kepadanya. Juga sejumlah penerbit suka mengirim buku baru. Bung Hatta sendiri, cerita sekretaris pribadinya, Wangsa Widjaja, kalau ke luar negeri menyempatkan membeli buku-buku baru -- satu kebiasaan yang agaknya lazim di kalangan intelektual kita. Itulah mengapa keluarga Hatta sulit menjawab, berapa besar belanja buku tiap bulannya. Yang jelas, untuk pemeliharaannya, sekretaris pribadinya bisa bercerita. "Ada orang yang khusus bertugas memelihara perpustakaan, dengan gaji Rp 12 ribu sebulan," tuturnya. Dan enam bulan sekali, buku-buku itu difumigasi, disemprot antihama, dengan biaya sekitar Rp 6 ribu." Tentu saja buku-buku itu bukanlah sekedar dipajang, atau disimpan sebagai pemberian sahabat. Sudah sejak muda Bung Hatta punya disiplin ketat: menyusun jadwal hidupnya sehari-hari, dan di situ dicantumkan waktu yang cukup untuk 'belajar.' "Bagi Bung Hatta buku adalah wahana untuk mencerdaskan bangsa," tutur Dr. Edi Swasono, menantunya. Itulah dulu, semasa masih sebagai Wakil Presiden RI, dalam pidato-pidatonya sering diserukannya: "Timbalah ilmu dari buku." Dan menjelang Perang Kemerdekaan, 1947, Bung Hatta ikut mendorong berdirinya perpustakaan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Perpustakaan itu kemudian tak terurus ketika Perang Kemerdekaan meletus. Tapi hal itu rupanya terus bergema di kota itu dan muncul kembali 28 tahun kemudian. 1975, seorang cendekiawan di kota itu Dr. Mochtar Naim, mendirikan Pustaka Hatta. Sejumlah buku perpustakaan itu memang sumbangan Bung Hatta. Kini Pustaka Hatta beranggotakan 1.200 orang. Yang mungkin agak meleset dari keinginan Bung Hatta, di perpustakaan itu buku-buku pengetahuan nyaris tak pernah terjamah. Yang laris: buku bacaan ringan, seperti novel-novel pop itu -- yang bukan dari Bung Hatta. Buku Eropa Satu lagi perpustakaan yang ada hubungan dengan nama Bung Hatta: di Yogyakarta. Perpustakaan tersebut dikelola Yayasan Hatta -- yayasan yang didirikan oleh RM Margono Djojohadikusumo almarhum, 25 Agustus 1950. Dengan modal 35 ribu judul buku, yang dipesan Hatta dari sebuah penerbit di Negeri Belanda ketika dilangsungkan Konperensi Meja Bundar, 1949, Perpustakaan Yayasan Hatta lahir. Semula di Jl. Malioboro, berbagi tempat dengan Perpustakaan Negara. Karena gedung itu makin tua dan rusak, 1958 pindah ke gedung Perpustakaan Universitas Gajah Mada, atas perhatian Pimpinan UGM waktu itu. Atas kebaikan pihak UGM pula 1978, berdiri gedung berlantai dua lengkap dengan perabotan di Jln. Solo, khusus untuk perpustakaan ini, sampai sekarang. Tapi perpustakaan itu sendiri tak berjalan seperti yang diharap. Yayasan Hatta, yang juga rupanya sulit keuangannya (kini diketuai oleh Prof. Ir. Johannes dari UGM), tak lagi mampu membeli buku baru. Pengunjung paling banyak 10 orang per hari itu pun tak semua berminat menjenguk buku perpustakaan. "Hanya numpang belajar, karena tempatnya memang tenang," kata Soerono, pengurus perpustakaan itu. Maklum, bukunya kebanyakan berbahasa Eropa (Jerman, Belanda, Prancis, Italia), tentang hukum, sejarah atau filsafat yang tentunya jarang orang mencarinya. Kini, apakah buku perpustakaan pribadi Bung Hatta akan diserahkan kepada Pustaka Hatta di Bukittinggi atau kepada Perpustakaan Yayasan Hatta di Yogya, atau yang lain, putri-putrinya belum punya jawaban pasti. "Belum ada rencana," kata Meutia, putri sulung Hatta. "Lagi saya khawatir buku itu akan disia-siakan." Memang, sebagian besar buku di perpustakaan yang di Yogya itu nampak tak teratur dan rusak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus