MOHAMMAD Hatta kecil suka menabung. Uang sakunya yang 1 gobang
(25 sen), disimpan untuk membeli buku. Ia pun sangat menyayangi
buku-bukunya. Bila temannya meminjam, dan kembali dalam keadaan
kotor, atau ada halaman yang terlipat, Hatta akan marah sekali.
Sampai akhir hayatnya, pertengahan Maret ini, cinta-bukunya yang
seperti itu tak berubah. "Mungkin orang tak percaya, ayah tak
punya deposito," cerita Gemala Hatta, putrinya kedua. "Tapi ada
sekitar 30 ribu buku di perpustakaannya." Maka agak aneh bila
dalam buku yang berisi 58 tulisan tentang Bung Hatta dihimpun
untuk memperingati 70 tahun tokoh itu, Bung Hatta -- Mengabdi
Pada Tjita-tjita Perdjoangan Bangsa, tak sebiji pun yang
menyinggung Hatta dan buku. Meski Basyariah Sanusi Galib, adik
bungsu Hatta, punya kenangan tentang hubungan kakaknya dan buku:
"Buku itulah pacar dia."
Tetapi Hatta sebenarnya bukan pacar yang pencemburu. Ia bahkan
suka sekali menyumbangkan buku-bukunya -- yang kebetulan
dimilikinya lebih dari satu misalnya pada Pustaka Hatta,
Bukittinggi. Meskipun kesetiaannya terhadap pacarnya taklah
diragukan, ketika dibuang ke Digul, dibawanya serta 16 peti
buku.
Di sebuah ruangan yang cukup luas di rumah Jl. Diponegoro, di
situlah 30 ribu buku itu bersemayam. Datang dari segala penjuru:
berbahasa Jerman, Inggris, selanda, Prancis dan tentu saja Ind
nnesia. Berisi berjenis pengetahuan ekonomi, politik, hukum,
sejarah, agarna, filsafat. Sebagai tokoh yang terkenal dan juga
dikenal sebagai penulis, memang banyak sahabatnya di luar negeri
-- atau mereka yang lagi bepergian ke luar negeri -- suka
mengirim buku kepadanya. Juga sejumlah penerbit suka mengirim
buku baru. Bung Hatta sendiri, cerita sekretaris pribadinya,
Wangsa Widjaja, kalau ke luar negeri menyempatkan membeli
buku-buku baru -- satu kebiasaan yang agaknya lazim di kalangan
intelektual kita.
Itulah mengapa keluarga Hatta sulit menjawab, berapa besar
belanja buku tiap bulannya. Yang jelas, untuk pemeliharaannya,
sekretaris pribadinya bisa bercerita. "Ada orang yang khusus
bertugas memelihara perpustakaan, dengan gaji Rp 12 ribu
sebulan," tuturnya. Dan enam bulan sekali, buku-buku itu
difumigasi, disemprot antihama, dengan biaya sekitar Rp 6 ribu."
Tentu saja buku-buku itu bukanlah sekedar dipajang, atau
disimpan sebagai pemberian sahabat. Sudah sejak muda Bung Hatta
punya disiplin ketat: menyusun jadwal hidupnya sehari-hari, dan
di situ dicantumkan waktu yang cukup untuk 'belajar.'
"Bagi Bung Hatta buku adalah wahana untuk mencerdaskan bangsa,"
tutur Dr. Edi Swasono, menantunya. Itulah dulu, semasa masih
sebagai Wakil Presiden RI, dalam pidato-pidatonya sering
diserukannya: "Timbalah ilmu dari buku." Dan menjelang Perang
Kemerdekaan, 1947, Bung Hatta ikut mendorong berdirinya
perpustakaan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Perpustakaan itu
kemudian tak terurus ketika Perang Kemerdekaan meletus. Tapi hal
itu rupanya terus bergema di kota itu dan muncul kembali 28
tahun kemudian.
1975, seorang cendekiawan di kota itu Dr. Mochtar Naim,
mendirikan Pustaka Hatta. Sejumlah buku perpustakaan itu memang
sumbangan Bung Hatta.
Kini Pustaka Hatta beranggotakan 1.200 orang. Yang mungkin agak
meleset dari keinginan Bung Hatta, di perpustakaan itu buku-buku
pengetahuan nyaris tak pernah terjamah. Yang laris: buku bacaan
ringan, seperti novel-novel pop itu -- yang bukan dari Bung
Hatta.
Buku Eropa
Satu lagi perpustakaan yang ada hubungan dengan nama Bung Hatta:
di Yogyakarta. Perpustakaan tersebut dikelola Yayasan Hatta --
yayasan yang didirikan oleh RM Margono Djojohadikusumo almarhum,
25 Agustus 1950. Dengan modal 35 ribu judul buku, yang dipesan
Hatta dari sebuah penerbit di Negeri Belanda ketika
dilangsungkan Konperensi Meja Bundar, 1949, Perpustakaan Yayasan
Hatta lahir. Semula di Jl. Malioboro, berbagi tempat dengan
Perpustakaan Negara. Karena gedung itu makin tua dan rusak, 1958
pindah ke gedung Perpustakaan Universitas Gajah Mada, atas
perhatian Pimpinan UGM waktu itu.
Atas kebaikan pihak UGM pula 1978, berdiri gedung berlantai dua
lengkap dengan perabotan di Jln. Solo, khusus untuk
perpustakaan ini, sampai sekarang.
Tapi perpustakaan itu sendiri tak berjalan seperti yang diharap.
Yayasan Hatta, yang juga rupanya sulit keuangannya (kini
diketuai oleh Prof. Ir. Johannes dari UGM), tak lagi mampu
membeli buku baru. Pengunjung paling banyak 10 orang per hari
itu pun tak semua berminat menjenguk buku perpustakaan. "Hanya
numpang belajar, karena tempatnya memang tenang," kata Soerono,
pengurus perpustakaan itu. Maklum, bukunya kebanyakan berbahasa
Eropa (Jerman, Belanda, Prancis, Italia), tentang hukum, sejarah
atau filsafat yang tentunya jarang orang mencarinya.
Kini, apakah buku perpustakaan pribadi Bung Hatta akan
diserahkan kepada Pustaka Hatta di Bukittinggi atau kepada
Perpustakaan Yayasan Hatta di Yogya, atau yang lain,
putri-putrinya belum punya jawaban pasti. "Belum ada rencana,"
kata Meutia, putri sulung Hatta. "Lagi saya khawatir buku itu
akan disia-siakan." Memang, sebagian besar buku di perpustakaan
yang di Yogya itu nampak tak teratur dan rusak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini