PERGINYA Bung Hatta membuat orang kembali bicara soal koperasi.
Suatu bentuk usaha yang seperti peninggalan kakek dihormati,
meskipun katanya kurang pas dipakai.
Tapi beberapa hari sebelum Bapak Koperasi itu meninggal, tak
kurang dari Menteri Muda Koperasi Bustanil Arifin yang berkata:
"Agar koperasi diikutsertakan dalam setiap penanaman modal, baik
itu PMA maupun PMDN."
Kontan pernyataan itu didukung oleh pimpinan Dewan Koperasi
Indonesia Pusat, dalam surat edarannya baru-baru ini. Tapi
kontan juga orang ragu. Penyertaan koperasi dalam penanaman
modal, seperti kata Sekjen Kadin Pusat Ali Noor Luddin, "tak
bisa dipaksakan, tapi hanya bisa didorong-dorong saja."
Pemerintah menjawab: memang tak ada paksaan. "Yang ingin
ditegakkan ialah hubungan bisnis yang tentunya saling
menguntungkan," ucap Ir. Muslimin Nasution, Sekretaris Menteri
Muda Koperasi. Tapi toh dia mengakui dari calon investor
"diminta sedikit idealisme," agar pemilik modal tak merupakan
semacam "benda asing di negeri ini," katanya.
Jadi rupanya niat dulu, sebelum perhitungan dagang. Pendapat itu
didukung oleh Wahyu Sukoco, staf ahli Menteri Muda Koperasi.
Wahyu, dosen di FE-UI itu bertanya: "Sudahkah asas kekeluargaan
dalam UUD 45 diterima atau tidak? Kalau kita sudah sepakat
menerimanya, maka titik pembahasan atau pengkajian penyertaan
modal koperasi dalam penanaman modal harus dimulai dari situ."
Meskipun ia terdengar seperti omong slogan politik, ahli
koperasi itu beranggapan orang tak perlu bingung bila koperasi
sudah bicara tentang penyertaan modal itu. Sebab seperti
juga badan usaha lain, koperasi akan dinilai dulu apakah baik
atau tidak. Dan modalnya pun tak selalu harus datang dari para
anggotanya. "Bisa juga dari pihak ketiga, seperti bank,
sebagaimana yang terjadi dengan usaha dagang lain."
Tapi Muslimin Nasution toh mengakui -- sembari menyayangkan --
bahwa sampai sekarang bank masih saja ragu-ragu. Koperasi
dianggap tak punya jaminan (kolateral). Padahal di India ada
Bank Koperasi. Koperasi yang ditopang bank ini antara lain
memiliki pabrik gula dan pabrik pupuk yang sekitar 45% modalnya
dimiliki koperasi. Juga di Jepang, "bank koperasinya nomor dua
setelah bank sentral," kata Muslimin. Ketentuannya tidak
komersial. Tapi toh bank yang khusus melayani usaha koperasi di
Jepang dengan syarat-syarat yang amat lunak itu, menurut
Muslimin "masih bisa untung."
Ikut sertanya modal koperasi itu, seperti kata Wahyu Sukuco, tak
akan berlaku di semua bidang usaha. Dalam Daftar Skala Prioritas
1980 yang belum lama ini dikemukakan Penjabat Sementara Ketua
B.K.P.M. Ismail Saleh, ada 71 usaha untuk PMA dan sekitar 100
usaha untuk PMDN yang disyaratkan agar mengikutsertakan
koperasi. Baik dalam permodalan, pemasaran maupun penunjukan
koperasi sebagai sub-kontraktor dan pensuplai bahan baku.
Sukses Susu
"Jadi koperasi tak akan memasuki Coca Cola," kata Wahyu pula.
Coca Cola tidak, tapi susu rupanya ya. Dan menarik bahwa di
bisnis ini, di Jawa, usaha koperasi menampakkan hasil.
Contoh beberapa koperasi susu di Bandung yang hekerjasama
dengan perusahaan swasta besar bahkan sudah mengedarkan saham
yang dimiliki para petani susu. Modal yang ditanam sebanyak Rp
415 juta diperoleh dari Bank Rakyat Indonesia. PT Ultra Jaya di
Bandung, yang berpatungan dengan koperasi itu, bertindak sebagai
penjamin kredit B.R.I.
Kisah suksesnya terbukti: kredit yang diperkirakan baru akan
lunas selama 7 tahun, diharapkan terbayar dalam 3« tahun. Dalam
setahun koperasi mampu mengumpulkan 1,6 juta liter. Dari setiap
liter susu, setiap anggota koperasi harus menyetor Rp 25 per
liter.
Yang juga menarik adalah koperasi Sinau Andandani Ekonomi (SAE)
yang memerlukan waktu 12 tahun untuk memperbaiki dirinya.
Berdiri tahun 1962, koperasi susu rakyat di Kecamatan Pujon
(Malang) ini baru bisa hidup tahun 1975. "Mulai 1962 sampai 1975
kami tidak pernah bisa mengatasi soal pemasaran. Harganya sering
terbanting," ujar Kalam Tirtorahardjo, ketuanya.
Karena harga jualnya tidak bisa lebih tinggi dari harga
pembelian dari anggota. koperasi dilanda utang. Kepepet oleh
keadaan, Tirto memberanikan diri berhubungan dengan pabrik susu
Nestle di Surabaya.
Ini 1975, ketika anggota SAE baru 22 orang dengan 90 sapi.
Keberanian Tirto berhasil. SAE semakin maju. Kalau semula hanya
bisa setor 160 liter per hari, sekarang sekitar 9.000 liter per
hari mengalir ke perusahaan asing Swiss itu dari 3.060 sapi
milik 820 anggota.
Manfaat terbesar bagi anggota adalah terjaminnya pemasaran
susunya -- tanpa takut harga merosot maupun susunya rusak.
Peternak menerima Rp 150/liter sementara SAE menjual Rp
195/liter franko pabrik di Waru, Surabaya. Dari selisih harga
itu SAE menerima keuntungan bersih Rp 56.000/hari.
Nestle, kata Suseno, inspektur lapangan Nestle pada TEMPO,
sanggup menampung susu rakyat Ja-Tim berapa saja jumlahnya.
Saat ini sekitar 15.000 liter susu rakyat dari Ja-Tim yang
ditampungnya. Jumlah itu ternyata belum Sampai 5% dari seluruh
keperluan Nestle yang kapasitas produksinya 300.000 kg/hari.
Tahun lalu saja impor susunya mencapai 7,2 juta liter.
Perusahaan asing dan swasta nasional rupanya tertarik buat
berkongsi dengan koperasi, karena fasilitas yang diperoleh badan
usaha itu. Di Bawean Jawa Tengah, misalnya, sekarang dibangun
pabrik susu. Modalnya US$ 10 juta. Dalam proyek ini koperasi
susu Bawean memiliki saham 30%, perusahaan susu CCF dari Belanda
40% dan perusahaan swasta nasional PT Margorejo sebesar 30%. Ini
dihitung dari fasilitas yang diperoleh koperasi -- misalnya
keringanan pajak dan penyediaan bahan baku.
Tentu saja tidak cuma koperasi susu yang sukses. Di Jawa Barat
ada Gabungan Koperasi Pegawai Negeri yang menyerap sekitar 30%
(80.000) pegawai negeri di Ja-Bar. Modalnya sekarang sudah
melebihi Rp 3 milyar -- tersebar di seantero KPN kabupaten dan
kotamadya Ja-Bar. Laba setiap tahun rata-rata Rp 75 juta. Dan
GKPN, menurut Said Halim, ketuanya, sudah memiliki apotik, pompa
bensin, tempat pertemuan, pertokoan, klinik untuk umum dan panti
pijat tunanetra.
Ada pula koperasi para guru di Pasuruan yang sukses, di samping
Koperai Setia Budhi Wanita di Malang. ketuai oleh Ny. dr.
Ilyas, koperasi wanita yang bergerak dalam urusan simpan-pinjam
itu sudah beromset milyaran rupiah. Dan tak pernah mendapat
bantuan dari pemerintah.
Begitu pula Puskud Perikanan Jawa Tengah. Tahun lalu koperasi
ini memiliki 83 pelelangan ikan dengan omset ketika itu
mencapai Rp 24 milyar. Masih banyak koperasi yang dianggap
maju, seperti G.K.B.I. yang punya pabrik primisima (bahan baku
batik) di Medari, Yogyakarta.
Dirjen Koperasi, Sudjanadi kepada TEMPO menerangkan bahwa
rata-rata koperasi yang dianggap sukses itu tergolong yang
non-KUD. Dan yang paling maju, termasuk kelas A, adalah koperasi
angkatan. Salah satu yang paling menonjol adalah Inkopal --
Induk Koperasi Angkatan Laut.
Inkopal, menurut direkturnya, Kol. Slamet Soedibyo, setiap bulan
memotong iuran Rp 250 dari 69 ribu anggotanya, termasuk yang
sipil. Adakah injeksi modal dari Hankam? "Tidak," kata Kol.
Slamet.
Haji Thahir
Direktur Inkopal itu menerangkan bahwa koperasi angkatan ini 10
tahun lalu telah berusaha di bidang perikanan. Mereka antara
lain patungan dengan swasta Jepang, yang menangkap ikan dan
udang di perairan Irian. "Saham kami 20%," kata Slamet Sudibyo
kepada Max Wangkar dari TEMPO. Di samping perikanan yang
termasuk besar, Inkopal itu sudah memiliki berbagai unit,
misalnya: Unit Pangkalan Jati Golf Course unit penjahitan, unit
pertanian dan perkebunan.
Dalam catatan Dirjen Sudjanadi, ada 18.600 koperasi dengan
anggota 6« juta orang. Dari jumlah itu yang sudah berbadan
hukum sebanyak 17.400 koperasi. Dari jumlah tersebut, baru ada
4.420 KUD. Tapi yang termasuk KUD modal cuma 500, misalnya di
Karawang dan Jatiwangi.
KUD, koperasi yang datang dari atas (pemerintah) itu, yang
paling banyak utangnya. Kredit untuk pengadaan pangan yang
diperoleh KUD selama 1973-1979 berjumlah Rp 180 milyar. Dari
jumlah itu tak kembali Rp 4 milyar, " kata Muslimin Nasution.
Cerita baik tentang koperasi ini mungkin tak banyak diketahui.
Bahkan di tahun 1975, Bung Hatta sendiri mengatakan "sampai
sekarang toh belum ada koperasi yang berjalan baik." Waktu itu
ia mengunjungi proyek perkebunan padi PT Palembang Rice Estate,
anak perusahaan Pertamina -- dan nampaknya ia setuju modal
raksasa itu mengolah tanah. (TEMPO, 9 Agustus 1975).
Bung Hatta hari itu jadi tamu Dir-UT Ibnu Sutowo. Ia antara lain
diantar oleh almarhum H. Thahir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini