Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Biarpun Bukan Coca-Cola

Beberapa koperasi susu yang sukses tergolong non kud. gksi dan inkopal termasuk menonjol. bank masih saja ragu-ragu terhadap koperasi. di india dan jepang ada bank koperasi.

29 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERGINYA Bung Hatta membuat orang kembali bicara soal koperasi. Suatu bentuk usaha yang seperti peninggalan kakek dihormati, meskipun katanya kurang pas dipakai. Tapi beberapa hari sebelum Bapak Koperasi itu meninggal, tak kurang dari Menteri Muda Koperasi Bustanil Arifin yang berkata: "Agar koperasi diikutsertakan dalam setiap penanaman modal, baik itu PMA maupun PMDN." Kontan pernyataan itu didukung oleh pimpinan Dewan Koperasi Indonesia Pusat, dalam surat edarannya baru-baru ini. Tapi kontan juga orang ragu. Penyertaan koperasi dalam penanaman modal, seperti kata Sekjen Kadin Pusat Ali Noor Luddin, "tak bisa dipaksakan, tapi hanya bisa didorong-dorong saja." Pemerintah menjawab: memang tak ada paksaan. "Yang ingin ditegakkan ialah hubungan bisnis yang tentunya saling menguntungkan," ucap Ir. Muslimin Nasution, Sekretaris Menteri Muda Koperasi. Tapi toh dia mengakui dari calon investor "diminta sedikit idealisme," agar pemilik modal tak merupakan semacam "benda asing di negeri ini," katanya. Jadi rupanya niat dulu, sebelum perhitungan dagang. Pendapat itu didukung oleh Wahyu Sukoco, staf ahli Menteri Muda Koperasi. Wahyu, dosen di FE-UI itu bertanya: "Sudahkah asas kekeluargaan dalam UUD 45 diterima atau tidak? Kalau kita sudah sepakat menerimanya, maka titik pembahasan atau pengkajian penyertaan modal koperasi dalam penanaman modal harus dimulai dari situ." Meskipun ia terdengar seperti omong slogan politik, ahli koperasi itu beranggapan orang tak perlu bingung bila koperasi sudah bicara tentang penyertaan modal itu. Sebab seperti juga badan usaha lain, koperasi akan dinilai dulu apakah baik atau tidak. Dan modalnya pun tak selalu harus datang dari para anggotanya. "Bisa juga dari pihak ketiga, seperti bank, sebagaimana yang terjadi dengan usaha dagang lain." Tapi Muslimin Nasution toh mengakui -- sembari menyayangkan -- bahwa sampai sekarang bank masih saja ragu-ragu. Koperasi dianggap tak punya jaminan (kolateral). Padahal di India ada Bank Koperasi. Koperasi yang ditopang bank ini antara lain memiliki pabrik gula dan pabrik pupuk yang sekitar 45% modalnya dimiliki koperasi. Juga di Jepang, "bank koperasinya nomor dua setelah bank sentral," kata Muslimin. Ketentuannya tidak komersial. Tapi toh bank yang khusus melayani usaha koperasi di Jepang dengan syarat-syarat yang amat lunak itu, menurut Muslimin "masih bisa untung." Ikut sertanya modal koperasi itu, seperti kata Wahyu Sukuco, tak akan berlaku di semua bidang usaha. Dalam Daftar Skala Prioritas 1980 yang belum lama ini dikemukakan Penjabat Sementara Ketua B.K.P.M. Ismail Saleh, ada 71 usaha untuk PMA dan sekitar 100 usaha untuk PMDN yang disyaratkan agar mengikutsertakan koperasi. Baik dalam permodalan, pemasaran maupun penunjukan koperasi sebagai sub-kontraktor dan pensuplai bahan baku. Sukses Susu "Jadi koperasi tak akan memasuki Coca Cola," kata Wahyu pula. Coca Cola tidak, tapi susu rupanya ya. Dan menarik bahwa di bisnis ini, di Jawa, usaha koperasi menampakkan hasil. Contoh beberapa koperasi susu di Bandung yang hekerjasama dengan perusahaan swasta besar bahkan sudah mengedarkan saham yang dimiliki para petani susu. Modal yang ditanam sebanyak Rp 415 juta diperoleh dari Bank Rakyat Indonesia. PT Ultra Jaya di Bandung, yang berpatungan dengan koperasi itu, bertindak sebagai penjamin kredit B.R.I. Kisah suksesnya terbukti: kredit yang diperkirakan baru akan lunas selama 7 tahun, diharapkan terbayar dalam 3« tahun. Dalam setahun koperasi mampu mengumpulkan 1,6 juta liter. Dari setiap liter susu, setiap anggota koperasi harus menyetor Rp 25 per liter. Yang juga menarik adalah koperasi Sinau Andandani Ekonomi (SAE) yang memerlukan waktu 12 tahun untuk memperbaiki dirinya. Berdiri tahun 1962, koperasi susu rakyat di Kecamatan Pujon (Malang) ini baru bisa hidup tahun 1975. "Mulai 1962 sampai 1975 kami tidak pernah bisa mengatasi soal pemasaran. Harganya sering terbanting," ujar Kalam Tirtorahardjo, ketuanya. Karena harga jualnya tidak bisa lebih tinggi dari harga pembelian dari anggota. koperasi dilanda utang. Kepepet oleh keadaan, Tirto memberanikan diri berhubungan dengan pabrik susu Nestle di Surabaya. Ini 1975, ketika anggota SAE baru 22 orang dengan 90 sapi. Keberanian Tirto berhasil. SAE semakin maju. Kalau semula hanya bisa setor 160 liter per hari, sekarang sekitar 9.000 liter per hari mengalir ke perusahaan asing Swiss itu dari 3.060 sapi milik 820 anggota. Manfaat terbesar bagi anggota adalah terjaminnya pemasaran susunya -- tanpa takut harga merosot maupun susunya rusak. Peternak menerima Rp 150/liter sementara SAE menjual Rp 195/liter franko pabrik di Waru, Surabaya. Dari selisih harga itu SAE menerima keuntungan bersih Rp 56.000/hari. Nestle, kata Suseno, inspektur lapangan Nestle pada TEMPO, sanggup menampung susu rakyat Ja-Tim berapa saja jumlahnya. Saat ini sekitar 15.000 liter susu rakyat dari Ja-Tim yang ditampungnya. Jumlah itu ternyata belum Sampai 5% dari seluruh keperluan Nestle yang kapasitas produksinya 300.000 kg/hari. Tahun lalu saja impor susunya mencapai 7,2 juta liter. Perusahaan asing dan swasta nasional rupanya tertarik buat berkongsi dengan koperasi, karena fasilitas yang diperoleh badan usaha itu. Di Bawean Jawa Tengah, misalnya, sekarang dibangun pabrik susu. Modalnya US$ 10 juta. Dalam proyek ini koperasi susu Bawean memiliki saham 30%, perusahaan susu CCF dari Belanda 40% dan perusahaan swasta nasional PT Margorejo sebesar 30%. Ini dihitung dari fasilitas yang diperoleh koperasi -- misalnya keringanan pajak dan penyediaan bahan baku. Tentu saja tidak cuma koperasi susu yang sukses. Di Jawa Barat ada Gabungan Koperasi Pegawai Negeri yang menyerap sekitar 30% (80.000) pegawai negeri di Ja-Bar. Modalnya sekarang sudah melebihi Rp 3 milyar -- tersebar di seantero KPN kabupaten dan kotamadya Ja-Bar. Laba setiap tahun rata-rata Rp 75 juta. Dan GKPN, menurut Said Halim, ketuanya, sudah memiliki apotik, pompa bensin, tempat pertemuan, pertokoan, klinik untuk umum dan panti pijat tunanetra. Ada pula koperasi para guru di Pasuruan yang sukses, di samping Koperai Setia Budhi Wanita di Malang. ketuai oleh Ny. dr. Ilyas, koperasi wanita yang bergerak dalam urusan simpan-pinjam itu sudah beromset milyaran rupiah. Dan tak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Begitu pula Puskud Perikanan Jawa Tengah. Tahun lalu koperasi ini memiliki 83 pelelangan ikan dengan omset ketika itu mencapai Rp 24 milyar. Masih banyak koperasi yang dianggap maju, seperti G.K.B.I. yang punya pabrik primisima (bahan baku batik) di Medari, Yogyakarta. Dirjen Koperasi, Sudjanadi kepada TEMPO menerangkan bahwa rata-rata koperasi yang dianggap sukses itu tergolong yang non-KUD. Dan yang paling maju, termasuk kelas A, adalah koperasi angkatan. Salah satu yang paling menonjol adalah Inkopal -- Induk Koperasi Angkatan Laut. Inkopal, menurut direkturnya, Kol. Slamet Soedibyo, setiap bulan memotong iuran Rp 250 dari 69 ribu anggotanya, termasuk yang sipil. Adakah injeksi modal dari Hankam? "Tidak," kata Kol. Slamet. Haji Thahir Direktur Inkopal itu menerangkan bahwa koperasi angkatan ini 10 tahun lalu telah berusaha di bidang perikanan. Mereka antara lain patungan dengan swasta Jepang, yang menangkap ikan dan udang di perairan Irian. "Saham kami 20%," kata Slamet Sudibyo kepada Max Wangkar dari TEMPO. Di samping perikanan yang termasuk besar, Inkopal itu sudah memiliki berbagai unit, misalnya: Unit Pangkalan Jati Golf Course unit penjahitan, unit pertanian dan perkebunan. Dalam catatan Dirjen Sudjanadi, ada 18.600 koperasi dengan anggota 6« juta orang. Dari jumlah itu yang sudah berbadan hukum sebanyak 17.400 koperasi. Dari jumlah tersebut, baru ada 4.420 KUD. Tapi yang termasuk KUD modal cuma 500, misalnya di Karawang dan Jatiwangi. KUD, koperasi yang datang dari atas (pemerintah) itu, yang paling banyak utangnya. Kredit untuk pengadaan pangan yang diperoleh KUD selama 1973-1979 berjumlah Rp 180 milyar. Dari jumlah itu tak kembali Rp 4 milyar, " kata Muslimin Nasution. Cerita baik tentang koperasi ini mungkin tak banyak diketahui. Bahkan di tahun 1975, Bung Hatta sendiri mengatakan "sampai sekarang toh belum ada koperasi yang berjalan baik." Waktu itu ia mengunjungi proyek perkebunan padi PT Palembang Rice Estate, anak perusahaan Pertamina -- dan nampaknya ia setuju modal raksasa itu mengolah tanah. (TEMPO, 9 Agustus 1975). Bung Hatta hari itu jadi tamu Dir-UT Ibnu Sutowo. Ia antara lain diantar oleh almarhum H. Thahir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus