Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Disesalkan, pasien terlambat

Hampir 90% penderita kanker usus di indonesia datang terlambat memeriksakan diri ke dokter. Semakin awal diagnosa dokter ditegakkan, semakin besar peluang untuk menyelamatkan jiwa penderita bedah perut.

27 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA Anda diserang disentri dengan -darah dan lendir pada tinja, sebaiknya cepat ke dokter. Boleh jadi itu bukan disentri amuba biasa, tapi sudah berkomplikasi menjadi kanker usus besar (colon). Dan obatnya, tak ada lain, kecuali operasi oleh ahli bedah digestif, yakni ahli bedah saluran cerna dan organ sekitar perut. Kecepatan bertindak pada kanker usus besar - seperti terjadi pada Presiden Ronald Reagan - tentu sangat menentukan penyembuhan. Sayangnya, hampir 90% penderita di Indonesia datang terlambat, sementara di negara maju keterlambatan hanya sekitar 20%. Ini bukan saja menyangkut kesadaran penderita, tapi juga berkaitan dengan penegakan diagnosa dokter yang pertama memeriksanya. Sering mereka beranggapan itu penyakit perut sepele, akibat amuba. Soal inilah yang Sabtu dan Ahad pekan lalu jadi pembahasan menarik, dalam sebuah pertemuan ilmiah di Bandung. Acara yang diselenggarakan Ikatan Ahli Bedah Digestif Indonesia (Ikabdi) Cabang Bandung itu dihadiri sekitar 200 dokter umum dan ahli. Tujuannya antara lain, "Untuk merangsang para dokter agar menekuni bidang digestif ini," kata Ketua Panitia, dr. Yayat Ruchiyat. Minat dokter pada keahlian ini belum terlalu besar, dan jumlah ahli bedah digestif kita - menurut Ketua Ikabdi Pusat, dr.Syamsu Hidayat baru 63 orang. Tentu saja ini kurang menggembirakan, mengingat 75% operasi yang dilakukan ahli bedah (umum) menyangkut bedah digestif, dan sisanya adalah bedah trauma, seperti luka atau patah tulang. Kasus bedah digestif itu memang luas. Tidak hanya kanker colon, tapi juga kanker hati (seperti diderita Almarhum Adam Malik), kanker lambung. usus bocor, perlengketan usus (ileus) dan radang usus buntu (appendicitis ). Apendicitis sendiri, menurut Ketua Ikabdi Bandung, dr. Warko Karnadihardja, termasuk penyakit yang sering menimbulkan kegawatan. Kasusnya sulit ditekan karena berhubungan dengan pola makan. "Dan kini malah semakin memasyarakat," ujar Warko. Di RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, "Usus buntu menduduki urutan pertama kasus bedah digestif. Tiap tahun rata-rata 500 orang menjalani operasi pengangkatan usus buntu," ujar Warko, yang jadi Kepala Bagian Bedah RSHS/FK Unpad. Para ahli bedah itu terutama menyesalkan keterlambatan penanganan kasus-kasus itu, hingga jiwa penderita sering tak tertolong. Atau setidaknya, sembuh tapi cacat seperti yang menimpa Warjono, setelah dioperasi usus buntunya oleh Dokter Gigi Dedy Setiadi (TEMPO 20 Februari 1988). Maka, satu-satunya metode terbaik untuk mengatasinya adalah dengan meningkatkan kemampuan dokter umum dalam mendiagnosa penyakit. Semakin awal diagnosa ditegakkan, semakin besar peluang untuk menyelamatkan jiwa penderita. Sebab, penyakit seperti usus buntu - yang sebenarnya tergolong relatif mudah dioperasi - sering membawa komplikasi lanjut yang berakibat fatal. Pada kasus operasi usus buntu biasa (appendictomy ), lainnya penderita cuma memerlukan sebuah operasi penyayatan bagian bawah kanan perut sepanjang 8-9 cm. Lamanya pembedahan tak pula lebih dari 30 menit, ditambah perawatan pasca operasi selama 3-4 hari. Itulah sebabnya di daerah terpencil, dokter umum sekalipun diharapkan bisa mengoperasi sendiri - jika tak ada ahli bedah di tempat itu. Tapi bila radang usus buntu sudah meruyak, keadaan bisa runyam. Sering terjadi pembusukan (gangrene), atau perlengketan. Bahkan bisa terjadi kebocoran dan perdarahan di dalam, dengan risiko lanjut suatu peritonitis, semacam radang di seluruh bagian perut. Kalau sudah begini, maut pun taksegan menunggu di depan pintu. Malah operasi besar pembukaan seluruh perut (laparatomy ), tak juga bisa menolong. Selain appendicitis, di Indonesia sebenarnya ada kasus bedah digestif yang khas, yakni kanker hati. Di Indonesia, penderita kanker hati cukup banyak, sekitar 1O%-15% dari jumlah penduduk kita. Sebaliknya, "Di Eropa kanker hati hampir tidak dikenal," kata Warko. Sebabnya, kanker hati berkaitan erat dengan hepatitis B, sejenis penyakit hati (liver) yang dijangkitkan sejenis virus. Kira-kira 10% dari mereka yang pernah ditimpa hepatitis B akan menderita kanker hati di kemudian hari. Dan kalau sudah kasip, cuma bisa dibayar dengan pengangkatan seluruh organ hati dan organ-organ lain yang dicemarinya. Atau, pada akhirnya, adalah pengangkatan nyawa oleh Malaikat Maut. Syafiq Basri, Agung Firmansyah, Riza Sofyat (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus