Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTAMINA, akhir-akhir ini, tampaknya gemar bermain kejut-kejutan. Akhir tahun silam BUMN ini mulai melancarkan program swastanisasi, dengan melepaskan usaha pompa bensin dan depot gas. Pekan lalu disusul dengan rencana swastanisasi rumah sakitnya. Kejutan lain dibunyikan awal bulan Februari. Direktur Utama A.R. Ramly mengungkapkan bahwa Pertamina telah mendapatkan kontrak untuk mengilang minyak Malaysia 10.00- barel per hari selama setahun. Dan masih ada kejutan lain. Pekan silam Ramly kembali berbunyi di DPR. Di sana pembukuan Pertamina secara cukup lengkap dibeberkan olehnya. Segala pertanyaan yang dilontarkan Komisi VI DPR RI--mulai dari pendapatan kotor Pertamina dan kontraktor minyak asing, sampai dengan bagaimana masalah kepegawaian dijalankan berdasarkan prinsip bisnis yang sehat - dijawab Ramly secara gamblang. "Hebat sekali," kata seorang pakar ekonomi. Ia kagum, selain karena baru pertama kali ini pembukuan Pertamina dikupas di DPR, juga karena angka-angka yang disajikan Ramly. "Anggaran BUMN itu ternyata sudah mirip anggaran negara: bermain dengan angka trilyun rupiah. Sementara budget pemerintah semakin berkurang, BUMN ternyata semakin berperan dalam ekonomi kini," kata Dr. Syahrir dari CPIS, lembaga penelitian yang dikelola Prof. Sumitro Djojohadikusumo. Anggaran Pertamina untuk 1988-1989, berjumlah Rp 10.340 milyar. Jumlah tersebut naik hampir 50%, dibandingkan anggaran 1986-1987 yang sebesar Rp 7.146 milyar. Anggaran untuk pengadaan BBM ternyata merupakan komponen paling besar, bisa menelan Rp 5.746,7 milyar. Sementara penjualan BBM diperkirakan akan memperoleh hasil Rp 5.480,2 milyar. Dengan demikian, subsidi Rp 266,5 milyar harus disediakan untuk pengadaan BBM. Pembukuan Pertamina memang tidak menganut prinsip anggaran berimbang. Walau demikian, BUMN ini bisa mencatat laba. Pembukuan Pertamina yang bisa disajikan Dirut Ramly, ternyata, baru sampai 30 September 1987. Datanya masih perkiraan, sehingga tentu saja belum diaudit. Pendapatan Pertamina sendiri pada periode AprilDesember 1987 berjumlah Rp 4,9 trilyun konsolidasinya Rp 7 trilyun. Biaya yang dikeluarkan untuk periode yang sama oleh Pertamina sendiri Rp 3,9 trilyun, konsolidasinya Rp 4,6 trilyun. Sehingga, BUMN itu sendiri, dalam semester pertama anggaran berjalan, mencatat laba kotor Rp 994 milyar. Bila dipotong pajak, laba bersihnya masih tersisa Rp 413,514 milyar. Laba kotor perusahaan secara konsolidasi cukup besar, diperkirakan berjumlah Rp 2.341 milyar. Namun, bila dipotong dividen untuk pemerintah dan para kontraktor, kemudian dipotong pajak, laba bersih secara konsolidasi ternyata tinggal Rp 414,812 milyar. Pembukuan untuk semester pertama tahun anggaran 1987-1988 dari keenam anak perusahaan Pertamina (di antaranya Patra Jasa dan El Nusa) agaknya belum ada. Ramly mengungkapkan bahwa keenam anak perusahaan pada 1986-1987 telah menghasilkan Rp 258,3 milyar. Pengeluaran mereka berjumlah Rp 248 milyar, sehingga ada laba sebelum pajak sekitar Rp 10 milyar. Tapi PT Patra Tani masih merugi sebesar Rp 3,3 milyar. Selain itu, Pertamina juga mempunyai saham pada 21 perusahaan asing dan lokal. Tetapi, pembukuan perusahaan-perusahaan patungan ini tak dirinci seluruhnya. Itu belum termasuk dua perusahaan baru, yakni Korea Indonesia Petroleum yang dibentuk untuk mencari pasar minyak ke Korea, dan Nusantara Gas Service yang dibentuk untuk pemasaran LNG ke Jepang. Aset Pertamina pada akhir September 1987 itu berjumlah Rp 12,2 trilyun. Itu terdiri atas penyertaaan modal pemerintah (ekuiti) sebesar Rp 7,8 trilyun, kewajiban jangka pendek berjumlah Rp 3,4 trilyun, selain utang jangka panjang yang berjumlah Rp 0,9 trilyun. Utang-utang Pertamina terbagi dalam tiga macam kurs. Ada berbentuk dolar AS (US$ 503,4 juta), yen Jepang (Y 31,1 milyar), dan rupiah (Rp 223,1 milyar). "Dapat dijelaskan bahwa cicilan untuk utang-utang itu akan dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal. Sedangkan utang-utang lama kepada pemerintah yang berjumlah Rp 1,3 trilyun telah selesai dilunasi," kata Ramly, bangga. Diam-diam Pertamina telah mempersiapkan diri untuk mengikuti kecenderungan negara-negara OPEC: mengilang minyak untuk ekspor. Studi kelayakan proyek itu sudah dilakukan sejak 1985, yakni sewaktu PM Inggris Margaret Thatcher berkunjung kemari. Proyek tersebut akan dibangun di Jawa Timur, dengan kapasitas produksi 100.000 barel per hari. Akan menelan investasi US$ 700 juta, proyek itu dibiayai Pertamina bersama perusahaan dari Inggris (British Petroleum) dan Jepang (Mitsui, dan Mitsubishi) dan kredit ekspor. Yang perlu dipertanyakan- sanggupkah pabrik ini mengilang minyak leblh eflsien, sehingga tidak perlu disubsidi. Devisa yang diperoleh dari ekspor minyak sejak April hingga Desember 1987 berjumlah US$ 4,7 milyar, yakni hasil dari ekspor 221 juta barel minyak mentah dan 47,7 juta barel hasil kilangan. Pasaran minyak Indonesia ternyata semakin meluas, meliputi Jepang, AS, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, Australia, Selandia Baru, dan negara-negara Karibia. Produksi minyak yang direncanakan untuk tahun anggaran 1988-1989 yang diungkapkan Ramly hanya menyangkut rencana produksi para kontraktor asing, yakni 1.329 ribu barel per hari. Berapa rencana produksi Pertamina tak diungkapkan, tetapi mungkin tak akan bergeser banyak dari angka produksi tahun silam, sekitar 60.000 barel per hari. Satu hal yang menimbulkan tanda tanya ialah, data produksi minyak Pertamina bersama kontraktor asing. Produksi minyak mentah dan kondensat bulan April sampai dengan Desember 1987 berjumlah 364,1 juta barel, atau rata-rata 1.233,8 ribu barel per hari. Sedangkan data yang diungkapkan Menteri Keuangan Radius Prawiro di tempat yang sama awal Desember lalu, produksi minyak mentah Indonesia adalah 1.341,5 ribu barel (termasuk kondensat 151.000 barel) per hari. Ada selisih 107,3 ribu barel, yang membingungkan tentu saja. Tapi, "Keterbukaan Pertamina menyajikan angka-angka itu memang pantas dipuji. Hanya saja mengapa angka-angka yang dikemukakan itu belum diaudit?" tanya Syahrir. Mengapa, Bung Ramly? Max Wangkar, Moebanoe Moera (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo