Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIR bulan ini tugas mereka sebagai menteri yang menangani ekonomi dalam Kabinet Pembangunan IV akan berakhir. Satu periode lagi segera akan lewat. Banyak yang bisa diungkapkan, banyak juga yang mungkin hanya lekat dalam benak masing-masing. Namun, dalam diskusi panel di depan 200 anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Sabtu lalu, ternyata masih ada hal-hal baru yang bisa disimak dan diresapkan dari para menteri bidang Ekuin ini. Masalah deregulasi dan prospeknya bagi kalangan bisnis, itulah topik utama yang dikaji oleh Menko Ekuin Ali Wardhana, Menteri/Ketua Bappenas Sumarlin, Menkeu Radius Prawiro, Gubernur Bank Sentral Arifin Siregar, dan Menpan Saleh Afiff. Ali Wardhana melihat deregulasi sebagai usaha yang dalam jangka panjang harus menghasllkan perombakan struktural bagi ekonomi Indonesia. Ia menghendaki satu struktur ekonomi yang sama sekali terbebas dari ketergantungan pada hasil minyak. "Terlalu banyak bergantung pada minyak mengandung banyak kerawanan," katanya. Ali Wardhana mengakui bahwa ekonomi Indonesia sampai sekarang masih terlalu banyak diatur (over regulated). Dia memberi contoh bagaimana mendirikan hotel diperlukan 32 izin. Malah seorang petani kecil memerlukan 34 tanda tangan sebelum memperoleh kredit usaha taninya. "Dan saya yakin, masih banyak hal seperti itu," katanya. Ia juga mengemukakan, negara industri tahun ini akan mengalami pertumbuhan yang rendah dan lambat. "Kecuali Jepang, yang akan mengalami pertumbuhan 3%, negara industri lain hanya akan tumbuh di bawah 3%." Tapi Ali Wardhana optimistis bahwa pertumbuhan rendah tak akan banyak pengaruhnya bagi ekspor nonmigas kita. Disebutnya lagi keberhasilan ekspor nonmigas Indonesia yang terjadi belakangan ini. Sampai di sini Menko bertutur agak detail. "Sekalipun beberapa paket deregulasi telah dikeluarkan, ekspor nonmigas selama beberapa bulan pertama 1987 belum menampakkan hasilnya. Ini membuat kita deg-degan," ucapnya serius. "Tapi, ketika pada pertengahan tahun ekspor nonmigas mencapai di atas US$ 700 juta, kita mulai lega, sekalipun masih waswas jangan-jangan ini hanya trend sementara. Ketika 4 bulan berikutnya ekspor nonmigas terus-menerus mencapai lebih dari US$ 800 juta, barulah kami yakin bahwa deregulasi sudah menampakkan hasilnya." Ali Wardhana juga mengakui bahwa meningkatnya ekspor nonmigas tidak semata-mata karena deregulasi, tapi juga aklbat devaluasi September 1986 dan turunnya dolar terhadap beberapa mata uang lain. Bulan Desember lalu ekspor nonmigas bahkan mencapai USS 949 juta, sebuah rekor baru. Angka ini memang mengejutkan, hingga Ali Wardhana mengakui bagaimana, "Hampir tiap hari kami menelepon Biro Pusat Statistik, menanyakan kebenaran angkanya. Mereka menjawab angkanya benar." Ini berarti ekspor nonmigas selama 1987 berjumlah USS 8,5 milyar, sudah melebihi ekspor dari minyak dan gas yang berjumlah US$ 8,2 milyar. Dan juga berarti naik 30% dari ekspor nonmigas tahun 1986. Ini memang jauh berbeda dengan 20 tahun lalu, ketika Ali Wardhana pertama kali menjadi anggota kabinet, manakala ekspor Indonesia hanya US$ 400 juta setahun. Fluktuasi mata uang, saat nilai dolar terhadap yen dan DM telah merosot lebih dari 50% sejak 1985, dilihatnya sebagai sesuatu yang luar biasa dan belum pernah terjadi. Jumlah utang luar negeri Indonesia sebenarnya US$ 25 milyar, tapi karena perubahan kurs yang besar itu, jumlah utang kita melejit sampai US$ 35,2 milyar. Dan untuk APBN tahun lalu, pembayaran utang Indonesia berjumlah USS 6,7 milyar, padahal seharusnya hanya US$ 5,2 milyar. Dari selisih tersebut, US$ 1,1 milyar berasal dari kenaikan kurs yen terhadap dolar. Kalau begitu, apa yang mesti dilakukan agar utang Indonesia di masa datang tidak dirugikan oleh fluktuasi kurs? Ali Wardhana memberi tiga alternatif: mencari utang dari negara yang apresiasi mata uangnya tidak begitu besar mencari pinjaman yang dinyatakan dalam mata uang dolar saja mencari tambahan utang dengan syarat yang paling lunak. Alternatif pertama tampaknya. sulit diperoleh. Sementara itu, beratnya kewajiban membayar utang diakui Ali Wardhana sebagai hal yang "logis dan bisa dimengerti". Tapi penjadwalan kembali pembayaran utang juga bukan hal yang gampang. Ini diungkapkan oleh Gubernur Bank Sentral Arifin Siregar. Penjadwalan kembali utang, menurut Arifin, berartl mengundang keterlibatan IMF dalam perundingan-perundingan. Dan ini bisa berlangsung lama, seperti yang terjadi dengan Amerika Latin. Sementara itu, ekonomi diliputi ketidakpastian. Kredit baru tak bisa masuk dan kalangan bisnis bersikap menunggu hingga tak ada kegiatan investasi. "Dan biasanya IMF menuntut kebijaksanaan yang lebih ketat lagi, dalam bidang anggaran dan moneter yang belum tentu bisa kita terima," kata Arifin pula. Untuk mereka yang khawatir akan kredit ketat, Gubernur Bank Sentral ini mengemukakan bahwa pada 1987 kredit perbankan naik 25% menjadi Rp 33 trilyun. Tahun sebelumnya kredit perbankan naik 19%. "Ini suatu tambahan kredit yang ekspansif," katanya, seraya membandingkan bahwa di negara tetangga seperti Malaysia lonjakan kredit bank 10% sudah dianggap ekspansif. Dan pertambahan kredit itu, kredit ekspor mengalami lonjakan yang luar biasa, karena meningkat 80% menjadi Rp 10 trilyun. Arifin tak lupa menyatakan bahwa tahun ini tak ada rencana untuk mengetatkan kredit. Dalam dialog dengan Menteri Ekuin itu, anggota ISEI yang sebagian besar berasal dari kalangan bisnis, dan membayar Rp 30.000,00 untuk ikut diskusi, banyak berkeluh kesah. Dan sebenarnya hampir semua masih cerita lama. Misalnya tentang keadilan dalam pemungutan pajak, tentang praktek pimpinan bank di daerah yang menimbulkan tanda tanya, dan tentang masih merajalelanya berbagai pungutan di daerahnya. Ini semua sulit dan belum bisa dipecahkan. Tak urung Ali Wardhana tersenyum sambil mengatakan, "Biarlah kita serahkan masalah ini kepada kabinet berikutnya." Winarno Zain
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo