MENTERI Keuangan Radius Prawiro tak lagi berpantun. Bersama stafnya, Sabtu pekan lalu, dia cuma melempar senyum tipis dan kemudian ikut bertepuk tangan sesaat setelah Wakil Ketua DPR Hardjantho Sumodisastro mengetukkan palu tiga kali. Itulah tanda Sidang Paripurna DPR menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1987-88 berakhir. Rancangan itu, seperti diketahui, sudah dibacakan Presiden Soeharto 6 Januari lalu -- dengan volume berimbang Rp 22.783 milyar. Karena ada devaluasi rupiah, yang menyebabkan kurs penerimaan pajak migas dan utang luar negeri naik 45%, maka RAPBN 1987-88 itu kelihatan lebih besar 6,4% di atas anggaran tahun berjalan. Jika dikehendaki, rancangan itu sebenarnya bisa diubah atau ditambah DPR. Panitia Perumus RUU APBN 1987-88 DPR, ternyata, cuma berhasil mengumpulkan 19 catatan perubahan atas RUU yang diajukan pemerintah itu -- 18 di antaranya hanya merupakan perubahan redaksional. Dan hanya satu yang bersifat materi. Yakni keharusan pemerintah menyampaikan Perhitungan Anggaran Negara (PAN) setahun lebih cepat dari biasanya. Pada tahun sebelumnya pemerintah mengajukan PAN itu tiga tahun setelah tahun anggaran selesai, tapi mulai APBN 1987--88, perhitungan itu harus diajukan setelah dua tahun. Namun, sebelum rancangan itu disahkan, keempat fraksi tetap menyampaikan kata akhir mereka. Dan di sinilah pelbagai saran dan wanti-wanti mereka kemukakan terutama menyangkut utang luar negeri. Fraksi Persatuan Pembangunan, misalnya, khawatir dengan rencana utang Rp 5,5 trilyun atau 32% dari penerimaan dalam negeri. Naiknya porsi anggaran utang itu mengingatkan orang pada masa awal tahun 70, ketika Repelita I baru dimulai dengan sedikit uang minyak. Karena alasan itu, Mustafa Hafas, juru bicara FPP, menganggap pemerintah sudah cenderung menjadikan utang luar negeri bukan lagi sebagai pelengkap seperti yang diisyaratkan oleh GBHN 1983, "Tapi telah menjadikannya sebagai faktor yang menentukan." Cukup mengkhawatirkan. Sebab, ekonomi Indonesia sekarang ini, menurut dia, sebenarnya sudah memasuki daerah panas dalam kelayakan meminjam. Batas kelayakan meminjam yang diukur dengan debt service ratio (perbandingan antara jumlah utang dan hasil ekspor bruto), menurut sejumlah orang, tak boleh lebih dari 25%. Padahal, sekarang saja, DSR itu sudah berkisar 33,2%. Karena itu, FPP mengingatkan agar utang-utang itu dibatasi, disesuaikan dengan kesanggupan membayarnya. Kecemasan wakil FPP itu sebenarnya sudah dijawab Menteri Radius ketika bertemu dengan komisi APBN DPR seminggu sebelumnya. Jawaban tentang DSR, yang disebut-sebut bisa mengganggu kredibilitas Indonesia di luar negeri, misalnya, disangkal Radius. "Kredibilitas suatu negara bukanlah semata didasarkan pada DSR. Tapi juga pada faktor utama lain, seperti kestabilan politik, kemauan untuk melakukan penyesuaian di bidang ekonomi, termasuk kemauan melaksanakan kewajiban pembayaran utangnya, yang sudah jatuh tempo," katanya. Tapi itulah, utang luar negeri sebenarnya bisa sekadar jadi pelengkap penerimaan dalam negeri, hanya jika penerimaan pajak migas masuk dalam jumlah besar. Di tahun anggaran 1980-81 misalnya, saat harga minyak mendekati angka US$ 35 sebarel, utang luar negeri, yang hanya 14% dari penerimaan dalam negeri, benar berperan sebagai pelengkap. Tapi, sesudah harga minyak mulai menggelinding turun, peranan utang luar negeri dalam menyangga APBN tadi cenderung menggelembung. Fraksi Karya Pembangunan ternyata juga tak mengabaikan fakta ini. FKP mengatakan dapat memahami pilihan untuk meningkatkan sumber dana pembangunan melalui utang luar negeri itu. Namun, proporsi kenaikan itu, "Tidak harus mengubah prinsip penggunaannya sebagai pelengkap," kata juru bicara FKP R. Sukardi. Soalnya memang tak akan jadi runyam, seandainya saja harga minyak bumi tidak jatuh terjerembab hingga pernah hanya US$ 9 sebarel di bulan Agustus lalu. Jatuhnya harga minyak dari ketinggian US$ 25 di awal 1986 itu, tentu saja, menyebabkan sasaran pajak migas 1986-87 sebesar Rp 9,7 trilyun akan sulit dicapai. Sebab, sampai awal Februari lalu, ada yang mengatakan pajak migas itu baru mencapai Rp 5,6 trilyun kendati sudah didorong dengan devaluasi rupiah 45%. Untuk menutup anjloknya penerimaan migas itu, pemerintah berusaha menutupnya, terutama dengan menggali penarikan pajak dari masyarakat (lihat Pajak dalam Lesu). Untung, di saat seperti kini, pendapatan dari bea masuk kabarnya sudah melampaui target. Juga penerimaan dari bagian laba pemerintah di pelbagai perusahaan negara. Tapi tetap saja. Kendati pemerintah mendapat banyak penghasilan, seluruh penerimaan dalam negeri untuk tahun anggaran berjalan sulit bisa mencapai sasaran Rp 17.832 milyar. Pemerintah sudah menyadari hal itu, mengingat memasuki bulan terakhir tahun anggaran ini, uang yang terkumpul dari dalam negeri ditaksir baru sekitar Rp 14 trilyun. Yang menjadi pertanyaan, di masa harga minyak masih belum menentu dan dunia usaha masih loyo, apakah sasaran penerimaan dalam negeri 1987-88 sebesar Rp 17.236 milyar akan terpenuhi. Dari jumlah itu, sekitar Rp 10.297 milyar atau hampir 60% berasal penerimaan pajak di luar migas. Bisakah sasaran yang lebih besar 27% di atas tahun anggaran berjalan itu dipenuhi dari kantung pembayar pajak?. Dirjen Pajak Salamun A.T., yang harus memasukkan Pajak Penghasilan sebesar Rp 3,3 trilyun, jelas akan mendapat tugas cukup berat. Angka sasaran setinggi diduga tak akan tercapai lagi, mengingat untuk tahun anggaran berjalan, realisasinya diperkirakan akan jauh berada di bawah sasaran yang Rp 2,8 trilyun. Tapi mungkin saja lubang itu nanti bisa ditambal dengan laba bersih minyak atau Pajak Pertambahan Nilai -- hingga bisa memperkecil porsi utang luar negeri. Siapa tahu. Marah Sakti, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini