SUATU ketika pernah santer berita tentang orang-orang Indonesia
berobat ke Singapura atau Taiwan. Tetpi di Bandung, sekarang
ini di kalangan dokter sering terdengar pembicaraan tentang
adanya dokter Hongkong yang buka praktek gelap-gelapan di kota
itu.
Salah satu gelanggang tempat mereka praktek terletak di sebuah
rumah bertingkat dua di Jalan Tampomas, Bandung. Selintas lewat
di depan rumahnberwarna hijau itu, terkesan penghuninya adalah
seorang pedagang kaya yang jarang di rumah. Tetapi di dalam,
tiap hari, pagi dan sore, Tiong Kui (bukan nama sebenarnya) dan
istrinya Ai Tju (bukan nama sesungguhnya) tenang-tenang buka
praktek pengobatan. Pasiennya kebanyakan orang-orang Tionghoa.
Beberapa di antaranya ada juga penduduk asli.
Pasiennya kebanyakan langganan tetap. Selebihnya pasien baru,
yang mendengar tentang adanya dokter Hongkong itu dari cerita
mulut-kemulut. A ong, seorang pasien yang mengaku sudah berobat
ke Jalan Tampomas itu sejak 3 tahun yang lalu, datang ke situ
untuk penyakit kandungan. Penyakitnya itu ditangani Ai Tju, yang
mengaku sebagai ahli kebidanan dan kandungan lulusan Hongkong.
"Tetapi anak-anak saya berobat kepada suaminya," kata Ayong.
Maksudnya selain dia, anggota keluarganya berobat pada suami si
ahli kandungan, bernama Tiong Kui, ang mengaku ahli penyakit
dalam, jebolan sebuah universitas di Hongkong.
Menurut cerita beberapa pasien, di tangan dokter Hongkong ini
mereka boleh memilih pengobatan tradisional maupun kedokteran
modern. "Istri saya berobat ke mari semenjak dia hamil. Kami
senang dengan pengobatan tradisional, karena tak ada akibat
sampingnya sebagaimana kedokteran modern," ucap seorang pria
nonpri yang datang mengantarkan istrinya.
Dari sekian banyak pasien dokter Hongkong ini, ada pula yang
mengkombinasikan pengobatan di situ dengan keahlian dokter yang
buka praktek resmi di Kota Bandung. "Ibu rupanya menderita sakit
jantung dan penyempitan pembuluh darah. Dia berobat di sini.
Tapi juga pada dokter biasa," kata seorang pemuda yang untuk
pertama kali berkunjung ke tempat praktek yang tersembunyi di
jalan Tampomas tersebut.
Tiong Kui maupun istrinya berpraktek tak-lebih-tak-kurang
seperti dokter lumrahnya. Kepala seorang pasien yang
mengeluhkan ambeien, Tiong Kui yang bertubuh sedang, usia
sekitar 35 tahun mempersilakan pasiennya membuka baju dan rebah
di atas tempat tidur.
Ia menggunakan stetoskop untuk membuat diagnosa penyakit.
Tekanan darah juga diukurnya dengan tensimeter. "Pokoknya persis
seperti dokter biasa ketika memeriksa pasien," cerita seorang
pasien kepada wartawan TEMPO.
Yang luar biasa cuma ini. Si pasien memperoleh resep obat
kedokteran modern yang ditulis dalam huruf kanji. Dan harus
ditebus di sebuah toko obat di Gang Tamin, Bandung. Tarif Tiong
Kui Rp 4.000. Sedan istrinya, sebagai ahli kandungan dan
kebidanan memasang Rp 5.000. Sang suami rata-rata sehari
memperoleh 10 pasien. Sedangkan istrinya bisa 3 kali lebih
banyak. Untuk kegiatan praktek tanpa papan nama, jumlah pasien
ini memang termasuk laris keras.
Praktek serupa juga ditemukan di Jalan Moh. Toha Dalam.
Tersembunyi di samping sebuah pabrik tekstil. Sugianto yang
kepada wartawan TEMPO mengaku bekerja sebagai asisten di situ,
menyebutkan praktek dokter Hongkong di dekat pabrik tekstil itu
adalah "praktek dengan izin resmi dari linas Kesehatan. Izinnya
berupa izin dalam, yaitu dibolehkan praktek untuk famili dan
kawan dekat."
TAPI ternyata Sugianto tak bisa menunjukkan surat izin yang dia
sebutkan. Kemudian dia hanya menyebutkan bahwa yang mengurus
izin dokter Hongkong itu adalah Ikatan Shinshe dan Akupunturis
(ISA). Siem Kie le, Ketua ISA, mengaku mengurus izin beberapa
orang dokter yang punya keahlian sebagai shinshe. "Tetapi mereka
tidak dibenarkan berpraktek seperti dokter," katanya menegaskan.
Tidak jelas apakah dokter Hongkong yang suami-istri dan
berpraktek di Jalan Tampomas itu termasuk yang diurus Siem Kie
le. Tetapi nyatanya ketika suami-istri itu pindah ke tempat
praktek yang sekarang, di tempat praktek yang lama (di Jalan
Guntur) terdapat pengumuman yang berbunyi: "Dokter pindah ke
Jalan Tampomas."
Tentang dokter Hongkong yang praktek gelap ini sudah sampai ke
telinga peabat dinas kesehatan. Tetapi tindakan belum juga
dijatuhkan. "Kalau mereka praktek tanpa papan nama, sulit bagi
kami untuk mengetahuinya," cetus dr Tjahaja, penjabat Kakanwil
Dep-Kes Jawa-Barat.
Menurut dr Djohan S.M., Ketua Ikatan Dokter Indonesia Cabang
Bandung, praktek gelap dokter di Bandung itu terjadi karena
kemungkinan besar mereka bukan WNI. "Sebab syarat untuk
mendapatkan izin praktek adalah WNI," katanya.
Kalangan dokter di Bandung beranggapan sama. Sebab kalau mereka
WNI sekalipun dia lulusan Hongkong, bisa saa dapat izin setelah
menempuh proses adaptasi sebagaimana yang telah diatur
pemerintah.
Kabarnya ada di antara dokter Hongkong yang praktek gelap
tersebut kelahiran Bandung, tapi masih berstatus WNA. Dan ada
yang memang jelas-jelas WNA. "Ya kami adalah warga negara
asing," kata Ai Tju yang berpraktek di Jalan Tampomas dengan
suaminya. Hanya itu yang dikatakannya kepada wartawan TEMPO. Dia
tak mau melayani pertanyaan lebih jauh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini