NYANYIAN SEORANG ABORIJIN
Oleh: Thomas Keneally, Hasta Mitra, Jakarta, 1982,
218 hlm. + foto
DENGAN terbitnya Nyanyian Seorang Aborijin, pembaca Indonesia
dapat menikmati salah satu dan hazanah kesusastraan tetangga
selatannya.
Buku ini merupakan novel Australia pertama yang diterjemahkan
di Indonesia. Suatu hal yang agak mengherankan kalau kita ingat
bahwa sudah beberapa novel, kumpulan puisi dan antologi cerpen
yang diterjemahkan dari bahasa Indonesia oleh sarjana Australia.
Novel-novel terkemuka dari periode Atheis sampai yang terbaru,
Bumi Malayssia, telah terbukti digemari pembaca Australia.
Dalam beberapa bulan saja terjemahan Bumi Manusia (This Earth of
Mankind) terjual habis.
Setidak-tidaknya Nyanyian Seorang Akorijin (NSA) bisa sedikit
mengisi kekosongan ini. Walaupun, seperti sewajarnya dengan
sebuah novel, gambaran yang dilukiskan sang penoarang agak
impresionistis dan perspektifnya kurang luas.
Pengarang NSA adalah Thomas Kenelly, yang di tanah air maupun
di luar negeri dianggap salah satu pengarang Australia paling
berbakat dewasa ini. Bahkan sebelum terbitnya The Chant of
Jimmie Blacksmith (yang di Indonesia diterjemahkan dengan judul
Nyanyian Seorang Aborijin) di Australia pada tahun 1972,
Keneally telah dianggap penulis internasional yang masih dapat
mempertahankan kekhasan dan suasana Australia. Ketika terbit di
Australia, The Chant of Jimmie Blacksmith laris, sangat dipuji,
dan berhasil meraih sebuah hadiah sastra yang terhormat (The
Royal Literary Award).
Lebih menghebohkan lagi adalah film cerita yang dibuat, berdasar
novel ini, yang merangsang diskusi dan perdebatan. Penonton
terkejut sekali melihat kekerasan dan tekanan batin yang
diderita kaum aborijin di tanah air mereka. Hal ini memang telah
lama dialami di bawah tangan penjajah putih yang menyerang benua
itu pada abad ke-18.
Sebagian besar penjajah itu kaum tahanan yang dibuang ke
Australia karena pelanggaran hukum--akibat tekanan kemiskinan
yang merajalela di negeri Inggris waktu itu. Banyak lagi
separatis Irlandia yang memberontak melawan penjajah Inggris.
Dengan datangnya kaum putih, jumlah orang Aborijin menurun
karena pembunuhan, penyakit dan lainain. Dari kurang lebih
300.000 yang ada ketika orang putih datang, pada tahun 1920
tinggal 60.000. Sekarang jumlahnya kira-kira 170.000.
Dengan perluasan permukiman orang putih, Aborijin makin digeser
ke bagian dalam benua tandus itu. Yang tetap tinggal di
pinggir-pinggir tanah selatan telah bercampur baur dengan kaum
putih--kadang-kadang atas kemauan sendiri, tapi lebih sering
karena perempuan hitam diperkosa lelaki putih yang menganggap
Aborijin barang yang boleh direbut semau-maunya.
Suasana itulah yang dicerminkan dalam NSA. Orang Aborijin alam
novel ini bernama Jimmie Blacksmith, dengan darah campuran.
Ibunya Aborijin yang diperkosa, barangkali dengan bayaran
sebotol alkohol atau barang murahan seperti itu.
CERITANYA sederhana, Jimmie yang telah diasuh seorang pendeta
kulit putih yang picik, menikah deng seorang wanita putih dari
kalangan rendah. Pernikahan mereka direstui pendeta tersebut,
yang mengharapkan hubungan itu akan lebih mengkristenkan Jimmie.
Namun suami-istri itu ditolak masyarakat kulit putih.
Mereka dipermainkan dan diisap oleh orang-orang putih. Sedang
Jimmie, terjepit antara dua peradaban yang saling bertentangan,
tambah bingung dan frustrasi.
Akhirnya, dihina kelewat batas-tahannya, dia mengamuk dan
membunuh sebuah keluarga orang putih. Cerita selanjutnya
melukiskan pelariannya serta pencariannya bagi sebuah jalan
keluar dari kemelut psikologis.
Novel ini sebetulnya berdasarkan ccrita nyata pada tahun 1900.
Tokoh Jimmie Blacksmith berdasar orang yang bernama Jimmie
Governor. Tentu saja dengan beberapa perubahan, tetapi pokok
cerita ini benar.
Karena itulah novel ini patut dibaca oleh orang Indonesia yang
ingin ikut merasakan kejamnya penindasan orang putih terhadap
kaum Aborijin di Australia pada masa lalu.
Dan, kalau orang Australia yang berkulit putih benar dan jujur,
harus mengakui bahwa perlakuan yang sangat jelek dan tidak
berperikemanusiaan itu masih sedikit banyak terjadi di berbagai
tempat sampai sekarang.
Pada bulan Juni 1981 sebuah komite penelitian dari Worid Council
of Churches (Dewan Gereja Dunia) mengunjungi Australia untuk
meneliti keadaan kaum Aborijin. Laporan mereka sangat memalukan
pemerintah Australia, yang di dalam masyarakat internasional
disoroti sebagai pemerintah yang belum melakukan cukup untuk
membalas utang budi mereka kepada kaum Aborijin. Utang budi atas
perampokan hak-hak mereka atas tanah air itu, atas kekerasan dan
kejahatan yang diperlakukan. Sampai sekarang di beberapa negara
bagian Australia hak-hak kaum Aborijin masih dirampas tanpa
mempedulikan Undang-undang Dasar ataupun legislasi lain.
Kebetulan sekali pada saat ini, Icetika NS nlulai beredar di
sini, di Negara Bagian Queensland diselenggarakan Pesta olahraga
Persemakmuran (Commonwealth Games) yang dihadiri negara-negara
dari Persemakmuran Inggris. Kaum Aborijin telah merencanakan
demonstrasi di pesta tersebut, untuk memprotes bahwa hak-hak
mereka atas tanah dan perlakuan yang layak belum cukup
diperindahkan oleh pemerintah Queenslad.
Sampai kaum Aborijin pernah mengirim delegasi ke negara-negara
Afrika Hitm dalam Persemakmuran, untuk memohon agar mereka
tidak mengikuscrta dalam pesta olahraga tersebut sebagai protes
pada pemerintah Australia,untuk membuktikan solidaritasnya
dengan saudara-saudara berkulit hitam.
MASALAH-MASALAH yang dijadimkan tema novel ini jelas masih
aktual. Sayang novel pertama mengenai kaum Aborijin yang beredar
di Indonesia tidak ditulis oleh orang Aborijin. Sebetulnya
sekarang ada sastrawan Aborijin yang mulai muncul. Misalnya,
baru-baru ini dramawan Aborijin Robert Merrit, serta Teater
Hitam telah mementaskan sandiwaranya Tje Cake Man, mengenai
masalah yang dihadapi seornt Aborijin di Australia sekarang, di
sebuah festival teater di Amerika.
Pembaca Indonesia barangkali akan terkejut juga melihat betapa
kasar, tajam, dan "langsung" pembicaraan tokoh-tokoh dalam
cerita ini. Memang omongan orang Australia biasa bisa kasar atau
cabul bagi kuping orang Indonesia kalangan menengah. Sulit juga
untuk menangkap suasana keras dan kasar itu dalam bahasa
Indonesia, tanpa memakai kata-kata yang agak kaku atau yang
mungkin akan disensur di sini. Apalagi dalam beberapa adegan
yang sengaja dimasukkan untuk menunjukkan ancaman seksual
terhadap orang Aborijin serta orang wanita putih dari kaum
lelaki kulit putih.
Tetapi adegan semacam itu memang penting dalam penciptaan
suasana serta pelukisan ketidakseimbangan dalam hubungan.
Mudah-mudahan munculnya novel Australia yang pertama ini akan
memperluas pengertian antara bangsa Indonesia dan bangsa
Australia, baik yang berkulit putih maupun yang hitam. Serta
meningkatkan tekanan pada pemerintah Australia untuk memperbaiki
keadaan kaum Aborijin.
David T. Hill
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini