SAUDARA-SAUDARA harap tenang. Kesulitan ini pasti akan saya
selesaikan. Berilah saya waktu untuk merundingkannya dengan
pimpinan saya", ujar Birokoso, 32 tahun, setengah berteriak ke
tengah-tengah rakyat yang datang menuntut supaya pintu-air sipon
di Setiabudi (Jakarta) itu dibuka. Karena kalau tak dibuka rumah
mereka akan tenggelam ditelan air. Birokoso, anak Bondowoso
tadi, memang menyadari ancaman genangan air seharian tanggal 19
Januari itu. Dia tahu persis kalau pintu sipon itu tak dibuka
Kecamatan Setiabudi, Jakarta, bisa tenggelam. Tapi celakanya
perintah dari atasan belum kunjung datang jua. "Jangan hanya
memikirkan orang gedongan saja, kita juga 'kan penduduk DKI!"
orang-orang yang berkerumun berteriak lagi. Pedih hatinya
mendengar teriakan itu. Tapi apalah yang mau diperbuat,
atasannya, Komando Proyek Banjir maupun Gubernur Ali Sadikin
sendiri belum juga memberi perintah. Sebab hanya mereka ini yang
berhak membuka pintu-air itu. Dan jika sipon itu dibuka bisa
berakibat daerah sekitar Hotel Indonesia dan daerah Menteng
diserbu air.
Lelah menghadapi luapan air seharian, sore itu Birokoso
berhasrat untuk menidurkan matanya barang sekejap. Tapi matanya
tak terpejam juga. Melihat kegelisahan itu isterinya, Raden Ayu
Murdinah, membujuknya: "Sudahlah Mas, kalau penduduk mau membuka
pintu air biarlah mereka buka sendiri", katanya. "Tapi ini 'kan
tanggungjawab saya", jawabnya menangkis.
Banjir sekali ini merupakan banjir kedua dalam pengalaman
Birokoso sejak ia jadi karyawan Proyek Pengendalian Banjir, satu
setengah tahun yang lampau. Pekerjaan ini nampaknya membuat
hidupnya lebih betah dibandingkan dengan lapangan pekerjaan
sebelumnya di Dinas Tanah dan Rumah di Surabaya dan di kantor
kotapraja Bandung. Sebagai orang yang banyak berurusan dengan
banjir, Biro memang senang dengan air. Dari dulu dia selalu
memilih rumah dekat dengan air. Sebuah kolam hias juga dia buat
untuk mempercantik rumahnya. Isterinya juga senang dengan
lingkungan rumah seperti yang dipilih suaminya itu. Dan tak
seorang pun yang pernah memikirkan bahwa satu ketika laki-laki
dari Bondowoso ini akan menyudahi hayatnya di lapangan pekerjaan
yang dia senangi dan yang dia pertanggungjawabkan sepenuhnya,
untuk memperkecil penderitaan orang lain.
Akhirnya kabar yang ditunggu-tunggu datang juga. Telepon
berdering di kantor Birokoso. Tapi kabar yang datang telepon
sebelah sana nampaknya tidak menggembirakan. Ini terkesan dari
jawaban Birokoso lewat telepon itu: "Bebankan pada saya, saya
akan tanggung semua". Lantas dia keluar dari ruangan kantor dan
mengajak beberapa petugas untuk membuka pintu sipon. Ada empat
orang yang menyertai Biro waktu itu. Dua orang di antaranya
masih punya hubungan famili dengannya dan dua lagi adalah
petugas. Dongkrak untuk mengangkat pintu air sipon dibawa serta.
Sampai di tempat itu Riro masih juga menemukan gerombolan
penduduk yang dari tadi menunggu kapan pintu air itu dibuka. Dua
orang polisi berjaga-jaga di sekitar kerumunan itu.
Biarlah Saya
Jika dari tadi Biro murung terus memikirkan air yang terus
meluap, sekarang dia kelihatan lebih cerah. Menyingsing lengan
baju, Biro dkk mulai mendongkrak balok-balok pintu air. Ketika
balok keenam sudah terangkat, Burhan, kemenakan Biro sudah minta
supaya istirahat dulu. "Kurang tinggi, ayo angkat lagi", Biro
malahan menyahut begitu. Orang lain nampak kelelahan mengangkuti
balok-balok tersebut. Tapi Biro nampak masih kuat. Meskipun
tubuhnya lebih kecil dari yang lain.
Entah bagaimana tiba-tiba dongkrak pengungkit balok-balok tadi
terjatuh ke dalam air. "Biarlah saya yang ambil", ujar Biro. Tak
ada yang melarang. Meskipun agaknya mereka tak setuju dia turun
sendiri untuk mengambil dongkrak yang terbenam itu. Sebab
balok-balok yang terangkat sudah banyak, yang berarti arus di
bawah permukaan air jadi deras sekali. Tapi dengan bismillah
akhirnya Biro menyelam. Empat orang teman sekerja dan penduduk
menyaksikan Birokoso turun ke permukaan air dengan bergayut pada
besi beton yang ada di situ. Beberapa detik kemudian azan subuh
terdengar dengan nyaringnya dari masjid. Birokoso sudah lenyap
dari penglihatan. Tinggal suara azan dan desir air yang masih
kedengaran kini. Di atas orang terus menunggu Birokoso dan
dongkrak yang dicarinya. Babak baru dari jalan hidup seoran
umat telah di tentukan saat itu. Lenyap suara azan, Biro belum
muncul juga. Kegelisahan mulai menumpuk pada diri orang-orang
yang menunggunya di pinggir pintu air. Semenit. dua menit, tiga
menit... sepuluh menit. Birokoso dan dongkraknya belum terlihat
juga. Karena diancam oleh kehilangan, secepat kilat
kemenakannya, Burhan, berlari-lari menuju danau ke arah mana air
dari pintu air yang terbuka itu menyerbu. Birokoso, anak
Bondowoso, yang mengambil risiko bahaya untuk meringankan
penduduk yang kebanjiran, tak tampak juga. Pencarian mulai
dikerahkan. Dan kini di pintu air sipon itu berdiri bukan saja
penduduk yang menuntut pintu air supaya dibuka, tapi juga, sanak
keluarga dan isteri yang menangisi jejak Birokoso. Esok harinya
dia baru ditemukan di kanal, dalam keadaan tak bernyawa, pada
siapa orang tak bisa mengharapkan sebuah dongkrak bisa terbawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini