Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dongrak Itu Tetap Hilang

Setiabudi terancam tenggelam oleh banjir. Rakyat menuntut dibukanya pintu air sipon di Setiabudi. Birokoso, 22, karyawan proyek pengendalian banjir tenggelam ketika mengambil dongkrak yang jatuh.

12 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAUDARA-SAUDARA harap tenang. Kesulitan ini pasti akan saya selesaikan. Berilah saya waktu untuk merundingkannya dengan pimpinan saya", ujar Birokoso, 32 tahun, setengah berteriak ke tengah-tengah rakyat yang datang menuntut supaya pintu-air sipon di Setiabudi (Jakarta) itu dibuka. Karena kalau tak dibuka rumah mereka akan tenggelam ditelan air. Birokoso, anak Bondowoso tadi, memang menyadari ancaman genangan air seharian tanggal 19 Januari itu. Dia tahu persis kalau pintu sipon itu tak dibuka Kecamatan Setiabudi, Jakarta, bisa tenggelam. Tapi celakanya perintah dari atasan belum kunjung datang jua. "Jangan hanya memikirkan orang gedongan saja, kita juga 'kan penduduk DKI!" orang-orang yang berkerumun berteriak lagi. Pedih hatinya mendengar teriakan itu. Tapi apalah yang mau diperbuat, atasannya, Komando Proyek Banjir maupun Gubernur Ali Sadikin sendiri belum juga memberi perintah. Sebab hanya mereka ini yang berhak membuka pintu-air itu. Dan jika sipon itu dibuka bisa berakibat daerah sekitar Hotel Indonesia dan daerah Menteng diserbu air. Lelah menghadapi luapan air seharian, sore itu Birokoso berhasrat untuk menidurkan matanya barang sekejap. Tapi matanya tak terpejam juga. Melihat kegelisahan itu isterinya, Raden Ayu Murdinah, membujuknya: "Sudahlah Mas, kalau penduduk mau membuka pintu air biarlah mereka buka sendiri", katanya. "Tapi ini 'kan tanggungjawab saya", jawabnya menangkis. Banjir sekali ini merupakan banjir kedua dalam pengalaman Birokoso sejak ia jadi karyawan Proyek Pengendalian Banjir, satu setengah tahun yang lampau. Pekerjaan ini nampaknya membuat hidupnya lebih betah dibandingkan dengan lapangan pekerjaan sebelumnya di Dinas Tanah dan Rumah di Surabaya dan di kantor kotapraja Bandung. Sebagai orang yang banyak berurusan dengan banjir, Biro memang senang dengan air. Dari dulu dia selalu memilih rumah dekat dengan air. Sebuah kolam hias juga dia buat untuk mempercantik rumahnya. Isterinya juga senang dengan lingkungan rumah seperti yang dipilih suaminya itu. Dan tak seorang pun yang pernah memikirkan bahwa satu ketika laki-laki dari Bondowoso ini akan menyudahi hayatnya di lapangan pekerjaan yang dia senangi dan yang dia pertanggungjawabkan sepenuhnya, untuk memperkecil penderitaan orang lain. Akhirnya kabar yang ditunggu-tunggu datang juga. Telepon berdering di kantor Birokoso. Tapi kabar yang datang telepon sebelah sana nampaknya tidak menggembirakan. Ini terkesan dari jawaban Birokoso lewat telepon itu: "Bebankan pada saya, saya akan tanggung semua". Lantas dia keluar dari ruangan kantor dan mengajak beberapa petugas untuk membuka pintu sipon. Ada empat orang yang menyertai Biro waktu itu. Dua orang di antaranya masih punya hubungan famili dengannya dan dua lagi adalah petugas. Dongkrak untuk mengangkat pintu air sipon dibawa serta. Sampai di tempat itu Riro masih juga menemukan gerombolan penduduk yang dari tadi menunggu kapan pintu air itu dibuka. Dua orang polisi berjaga-jaga di sekitar kerumunan itu. Biarlah Saya Jika dari tadi Biro murung terus memikirkan air yang terus meluap, sekarang dia kelihatan lebih cerah. Menyingsing lengan baju, Biro dkk mulai mendongkrak balok-balok pintu air. Ketika balok keenam sudah terangkat, Burhan, kemenakan Biro sudah minta supaya istirahat dulu. "Kurang tinggi, ayo angkat lagi", Biro malahan menyahut begitu. Orang lain nampak kelelahan mengangkuti balok-balok tersebut. Tapi Biro nampak masih kuat. Meskipun tubuhnya lebih kecil dari yang lain. Entah bagaimana tiba-tiba dongkrak pengungkit balok-balok tadi terjatuh ke dalam air. "Biarlah saya yang ambil", ujar Biro. Tak ada yang melarang. Meskipun agaknya mereka tak setuju dia turun sendiri untuk mengambil dongkrak yang terbenam itu. Sebab balok-balok yang terangkat sudah banyak, yang berarti arus di bawah permukaan air jadi deras sekali. Tapi dengan bismillah akhirnya Biro menyelam. Empat orang teman sekerja dan penduduk menyaksikan Birokoso turun ke permukaan air dengan bergayut pada besi beton yang ada di situ. Beberapa detik kemudian azan subuh terdengar dengan nyaringnya dari masjid. Birokoso sudah lenyap dari penglihatan. Tinggal suara azan dan desir air yang masih kedengaran kini. Di atas orang terus menunggu Birokoso dan dongkrak yang dicarinya. Babak baru dari jalan hidup seoran umat telah di tentukan saat itu. Lenyap suara azan, Biro belum muncul juga. Kegelisahan mulai menumpuk pada diri orang-orang yang menunggunya di pinggir pintu air. Semenit. dua menit, tiga menit... sepuluh menit. Birokoso dan dongkraknya belum terlihat juga. Karena diancam oleh kehilangan, secepat kilat kemenakannya, Burhan, berlari-lari menuju danau ke arah mana air dari pintu air yang terbuka itu menyerbu. Birokoso, anak Bondowoso, yang mengambil risiko bahaya untuk meringankan penduduk yang kebanjiran, tak tampak juga. Pencarian mulai dikerahkan. Dan kini di pintu air sipon itu berdiri bukan saja penduduk yang menuntut pintu air supaya dibuka, tapi juga, sanak keluarga dan isteri yang menangisi jejak Birokoso. Esok harinya dia baru ditemukan di kanal, dalam keadaan tak bernyawa, pada siapa orang tak bisa mengharapkan sebuah dongkrak bisa terbawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus