SEJAK tahun lalu kampung terpencil Kwala Tanjung dan
kampung-kampung sekitarnya seperti Kampung Lalang, Kebun Ubi dan
Simodong, Asahan mulai ramai dan sibuk. Berita bahwa di sana
akan dibangun Proyek Aluminium Kwala Tanjung - kontraknya sudah
ditandatangani Pemerintah RI dan para wakil pengusaha Jepang 7
Juli 1975 di Tokyo - sudah menggaung di sana. Maka terjadilah
kesibukan: tanah-tanah milik rakyat diukur, jalan-jalan dipatok.
Lalu antara 9-23 Desember tahun lalu, dilakukan pembayaran
ganti-rugi tanah dan tanaman rakyat yang tergusur proyek
tersebut. Konon keadaan seperti itu sudah diramalkan Tuan Sech
Muhamad Zen dari kampung Lalang, meninggal tahun 1967 yang
pernah menyatakan di tahun 1957 hahwa kampung tersebut akan jadi
ramai.
Namun tentunya itu Tuan Sech tak mampu membayangkan bahwa yang
meramaikan kawasan tersebut bukanlah karena rakyat setempat
menjadi makmur dan membangun kota besar di sana. Bahkan justru
596 penduduknya harus angkat kaki dari sana dengan mendapat
ganti rugi. Tak kurang dari 638 Ha harus dibebaskan dari
penduduk dengan ganti rugi sekitar Rp 616 juta. "Nilai ganti
rugi cukup tinggi", tutur Bupati Asahan Haji A. Manan
Simatupang. Contohnya, tanah kosong tanpa tanaman Rp 800 ribu
per Ha, pohon kelapa Rp 8000 sebatang. "Itu tanah di hutan
lho", kata Bupati menambah. Semua ini konon berkat kelihaian
diplomasinya. Hingga, "Proyek sukses, rakyat tertolong". Seorang
penduduk pemilik tanah 10 x 20 M dengan rumah kampung sederhana
plus 2 pohon kelapa misalnya, kata Bupati, menerima Rp 523.500.
"Dalam keadaan biasa, Rp 200 ribu pun tak bakalan ada yang mau",
katanya.
Permainan?
Tak aneh bila kemudian di kawasan itu mengaum sepeda motor.
Sampai 23 Desember lalu agen penjual yang datang dari Tebing
Tinggi berhasil menjual 130 buah. Atau bila ada yang masih ingat
akhirat: menggunakan uangnya buat naik haji. Kasubdit Kesra
Kantor Bupati mencatat 30 orang calon haji tahun ini.
Tapi dalam perkara duit, agaknya tak bisa langsung beres begitu
saja. Ternyata menurut OK Ahmad, 60 tahun, yang mengaku
keturunan keluarga Kerajaan Tanjung, ada 45 penduduk masuk
daftar akan menerima ganti rugi, padahal tidak berhak. Itu cuma
hasil "permainan" kata OK Ahmad. Mereka sesungguhnya tak
memiliki tanah sejengkalpun. Tapi dicatat sebagai pemilik 65 Ha
tanah dan sejumlah tanaman yang nilai ganti ruginya Rp 60 juta.
Untung laporan OK Ahmad tersebut disampaikan sebelum pelaksanaan
ganti rugi, 7 Desember. Hingga Bupati sempat menceknya. Memang
sejak kegiatan inventarisasi yang dimulai 1972, 3 kali sudah
bupati melakukan penelitian terhadap daftar mereka yang akan
menerima ganti rugi. Yakni tahun 1972, 1974 dan terakhir 15 Juni
- Oktober 76. Akhirnya setelah Team Peneliti Khusus pimpinan
Zulkarnaen BA yang dibentuk bupati kembali melakukan penelitian,
diperoleh beberapa data. Bahwa sebagian dari 45 orang itu memang
sudah memiliki tanah sejak 1963. Lalu sebagian lagi sejak 1971.
Sedang sisanya, sesudah tahun itu, berarti setelah dilakukan
inventarisasi. Yang terakhir itulah yang diduga melakukan
manipulasi. Tapi siapa yang terlibat permainan, belum diketahui
pasti. Karena menurut Zulkarnaen, semua hasil kerja team sudah
disampaikan kepada Gubernur Sumut. "Beliaulah yang nanti
memutuskan bagaimana penyelesaian soal ini", kata Zulkarnaen.
Yang pasti tentu saja akan jadi pelajaran buat pelaksanaan ganti
rugi pembebasan tanah lainnya. Yakni tanah yang akan dipakai
Transmission Line dan PLTA Sigura-Gura dan Tangga, sepanjang 10
Km dengan lebar kiri-kanan 30 M.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini