Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kasus Gustamar: Pemasungan Di Jawa Kasus Gustamar: Pemasungan Di Jawa

Masalah pemasungan di Jawa merupakan hal biasa. Cara tersebut merupakan tindakan pengamanan sementara sebelum si pasien mendapat pengobatan. (kom)

12 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KASUS pemasungan Gustamar (TEMPO 18 Desember 1976 8 Januari 1977) tidak menarik perhatian saya, kalau tidak dijadikan pembicaraan ramai -- bahkan beberapa fihak ingin menyelidiki dari mana dan kapan masalah pasung memasung mulai dikenal. Tidak menariknya bagi saya, bukan karena saya anggap remeh. Soalnya, pemasungan bagi masyarakat Jawa Tengah pada umumnya sudah merupakan tindakan biasa bagi orang yang menderita sakit gila dan semacamnya. Istilahnya: pembelokan. Cukup populernya istilah pembelokan, sehingga jika ada anak berbuat agak aneh sering orang memperolok-olokkan: "he, kenapa kamu seperti orang gila, ingin dibelok "? Sepanjang pengetahuan saya, pembelokan (pemasungan) bagi masyarakat Jawa tidak menyangkut soal hukum maupun adat. Semata-mata hanya tindakan sementara untuk mengamankan seseorang yang menderita sakit gila yang membahayakan lingkungan, umpamanya: merusak barang orang lain, menghadang kendaraan bermotor kemudian naik di atasnya, dan lain sebagainya. Penyembuhannya umumnya dengan pertolongan dukun. Pemasungan itu biasanya tidak terlalu lama. Setelah beberapa hari, di samping pengobatan di atas, setelah si penderita minta ampun, si penderita kemudian dilepaskan. Sudah barang tentu masih harus diawasi kalau-kalau belum sembuh seluruhnya. Tentang sembuhnya si penderita apakah karena mendapat pengobatan apakah karena kapok, bagi saya wallahualam. Yang nyata orang tersebut sembuh, walaupun kadang-kadang ada yang pada suatu waktu kambuh-kembali. Tentang pemasungan (pembelokan) tersebut, saya pernah menanyakan kepada orang-orang tua asal Jawa (saya sendiri kelahiran Lampung) bagaimana hal ikhwalnya, namun mereka juga tidak tahu-menahu. Mungkin kebiasaan tersebut sudah berlaku sejak zaman nenek-moyang. Adapun pemasungan itu sendiri umumnya dilakukan sebagai berikut: Si penderita dipegang beberapa orang, sementara yang lain mencari/menebang pohon kapok randu. Dipotong sekira 3 jengkal, dibelah kemudian diberi 2 buah lubang untuk kaki kanan dan kiri. Setelah pemasungan selesai, didudukkan atau dibaringkan di balai-balai yang pada bawah pantatnya diberi longkangan guna memudahkan berhajat. Sudah barang tentu diberi makan minum secukupnya. Jadi menurut hemat saya, pemasungan merupakan tindakan darurat (pengamanan), sedang pengobatannya sendiri diikhtiarkan sebagaimana yang saya utarakan. Demikian mudah-mudahan dapat dijadikan perbandingan. Syukur sekiranya ada yang dapat menguraikan secara lengkap, sehingga kebiasaan tersebut dapat dicari sumbernya dan mulai kapan dilakukannya. SARBINI d/a K.K. Usaha Bahagia (UBA) Gedongtataan/Lampung-Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus