KASUS pemasungan Gustamar (TEMPO 18 Desember 1976 8 Januari
1977) tidak menarik perhatian saya, kalau tidak dijadikan
pembicaraan ramai -- bahkan beberapa fihak ingin menyelidiki
dari mana dan kapan masalah pasung memasung mulai dikenal.
Tidak menariknya bagi saya, bukan karena saya anggap remeh.
Soalnya, pemasungan bagi masyarakat Jawa Tengah pada umumnya
sudah merupakan tindakan biasa bagi orang yang menderita sakit
gila dan semacamnya. Istilahnya: pembelokan. Cukup populernya
istilah pembelokan, sehingga jika ada anak berbuat agak aneh
sering orang memperolok-olokkan: "he, kenapa kamu seperti orang
gila, ingin dibelok "?
Sepanjang pengetahuan saya, pembelokan (pemasungan) bagi
masyarakat Jawa tidak menyangkut soal hukum maupun adat.
Semata-mata hanya tindakan sementara untuk mengamankan seseorang
yang menderita sakit gila yang membahayakan lingkungan,
umpamanya: merusak barang orang lain, menghadang kendaraan
bermotor kemudian naik di atasnya, dan lain sebagainya.
Penyembuhannya umumnya dengan pertolongan dukun.
Pemasungan itu biasanya tidak terlalu lama. Setelah beberapa
hari, di samping pengobatan di atas, setelah si penderita minta
ampun, si penderita kemudian dilepaskan. Sudah barang tentu
masih harus diawasi kalau-kalau belum sembuh seluruhnya. Tentang
sembuhnya si penderita apakah karena mendapat pengobatan apakah
karena kapok, bagi saya wallahualam. Yang nyata orang tersebut
sembuh, walaupun kadang-kadang ada yang pada suatu waktu
kambuh-kembali.
Tentang pemasungan (pembelokan) tersebut, saya pernah menanyakan
kepada orang-orang tua asal Jawa (saya sendiri kelahiran
Lampung) bagaimana hal ikhwalnya, namun mereka juga tidak
tahu-menahu. Mungkin kebiasaan tersebut sudah berlaku sejak
zaman nenek-moyang. Adapun pemasungan itu sendiri umumnya
dilakukan sebagai berikut: Si penderita dipegang beberapa orang,
sementara yang lain mencari/menebang pohon kapok randu. Dipotong
sekira 3 jengkal, dibelah kemudian diberi 2 buah lubang untuk
kaki kanan dan kiri. Setelah pemasungan selesai, didudukkan atau
dibaringkan di balai-balai yang pada bawah pantatnya diberi
longkangan guna memudahkan berhajat. Sudah barang tentu diberi
makan minum secukupnya.
Jadi menurut hemat saya, pemasungan merupakan tindakan darurat
(pengamanan), sedang pengobatannya sendiri diikhtiarkan
sebagaimana yang saya utarakan.
Demikian mudah-mudahan dapat dijadikan perbandingan. Syukur
sekiranya ada yang dapat menguraikan secara lengkap, sehingga
kebiasaan tersebut dapat dicari sumbernya dan mulai kapan
dilakukannya.
SARBINI
d/a K.K. Usaha Bahagia (UBA)
Gedongtataan/Lampung-Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini