TIDAK kurang dari 300 buah grup nasyid puteri berserakan di
kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Ini gara-gara ada kiriman grup
nasyid pada tahun 1970 dari negara tetangga Malaysia, yang
bermain di rumah Bupati. Sejak itulah masyarakat kena demam.
Grup Baranji dan Majrur seperangkat orang yang tarik suara
untuk pemanasan sebelum dilangsungkan qasidah --banyak yang
menceburkan diri menjadi grup nasyid.
Nasyid adalah jenis musik yang mengandalkan lengkingan suara,
bertopang pada instrumen rebana, tabla dan tamborin. Sampai saat
ini belum dapat dijumpai rombongan yang beranggota cowok-cowok
Asahan. Tak heranlah kalau dalam Festival Nasyid ke-III, yang
penyisihannya sudah dimulai sejak September tahun lalu,
dibubuhkan predikat "Puteri". Setiap kota repot saling mengadu
calon wakil-wakil mereka. Puncak festival dimulai tanggal 7
Januari yang lalu di halaman kantor bupati. Tercatat 25 buah
grup yang diadu dalam babak semi final. 8 di antaranya sempat
lolos untuk memasuki pertarungan berikut yang langsung
menelurkan para pemenang. Belum terhitung 3 buah grup, bekas
jago-jago tahun sebelumnya (Nasyid Nurul Asahan, Nurul Falah,
Nasyid Faksyi), yang langsung berhak mengocok babak final.
Pengunjung kerepotan itu jangan dikata lagi. Halaman kantor
bupati tumpat pedat. Tempik sorak tak terkira-kira. Satu peleton
Hansip terpaksa diturunkan untuk mencegah huru-hara, memperkuat
barisan polisi dan Koramil. Memang kerepotan itu meski
melibatkan begitu banyak manusia, tetap berlangsung tertib.
Namun tidak pula dapat dikatakan sukses. Cacad datang dari
sektor-sektor lain, yang membuat muka Bupati H. Abdul Manan S.
jadi masam. Habis 5 buah pengeras suara yang dipajang dengan
anggunnya di sana, pada brengsek. Sampai-sampai ada finalis yang
terpaksa mengulang lagu, karena juri merasa penampilan mereka
kena gasak alat yang sakit-sakitan itu. Ini membuat hadirin jadi
dongkol. Apa lagi tatkala diumumkan siapa-siapa pemenang
pertandingan. Sejak malam pertama sesungguhnya mereka sudah
kecewa, karena jago mereka: Nasyid dari Tanjung Tiram yang
bermain dengan sambutan gemuruh, dinyatakan gagal masuk lubang
final. Sementara Nasyid PMD Kabupaten Asahan yang acak-acakan
atau Nasyid BKKJ yang lebih terkenal dengan sebutan Nasyid Jaran
Kepang, dinyatakan lebih unggul. Bagaimana.
"Juri tidak beres", keluh mereka. Para juru warta yang bermaksud
mengintip peristiwa itu ikut bersungut-sungut tatkala mereka
melihat Kepala Departemen Agama setempat nyelonong ke tempat
para juri yang sedang bersidang untuk menetapkan pemenang.
Maklum, nasyid departemen tersebut ikut pula sebagai peserta.
Tak heran kalau kemudian semua orang repot kasak-kusuk mendengar
Nasyid Perwanjda Departemen Agama berhasil menggondol tempat ke
III. Nasyid Nurul Falah Sungai Dadap tempat ke-II. Sedang jago
yang menggondol trophy Bupati Asahan adalah Nasyid Nurul Asahan.
Terhadap sang jago ini memang tak ada yang berniat meragukannya.
Boleh dikata masyarakat yang berjubel itu sebetulnya hanya ingin
mendengarkan grup Nurul Asahan ini, dan sebuah grup lagi yang
bernama Nasyid Faksyi, yang dinyatakan hanya berhak menggondol
hadiah harapan.
Westernisasi Negatif
"Festival Nasyid pun sudah kena demam pemilu", ujar seorang
pengurus Nasyid Faksyi mengomentari kekalahannya. Alasannya,
karena semua grup nasyid yang ikut bertanding berasal dari
daerah kecamatan atau dinas dan jawatan tingkat kabupaten yang
menempelkan gambar pohon beringin pada kulit rebana dan
tablanya. Bahkan ada nasyid yang menyusun formasi bermain
membentuk gambar itu pohon yang angker. (Sementara itu pantas
diketahui Nasyid Faksyi milik Partai Persatuan Pembangunan dan
sering dipakai parpol tersebut). Kecurigaan ini dijawab oleh
seorang pemimpin nasyid kecamatan: "Habis itu perintah camat
kami!". Beliau pribadi mengakui, formasi pohon beringin itu
belum tentu ada unsur seninya.
Lepas dari soal siapa yang menang, festival merupakan
penggalakan yang wajar. Banyak yang bisa diamat-amati sehubungan
dengan keadaan nasyid belakangan ini. Bupati sendiri misalnya
berpendapat bahwa ada modernisasi, terhadap hal mana dia
bersikap positip "asal itu bukan diartikan westernisasi" - isi
pidatonya dalam membuka kesibukan itu. Sementara Adnan Zen
Lubis, ketua juri yang sengaja didatangkan dari Medan, mengakui
perkembangan nasyid di Asahan bolehlah (pertengahan tahun lalu
Nasyid Nurul Asahan sempat menggondol trophy Marah Halim). Dia
melihat adanya percobaan-percobaan antara lain dalam soal
penguasaan panggung. Kalau dulu para pemain hanya diam mematung
tok, dengan hanya sedikit lirik kanan-kiri, sekarang mereka
sudah mencoba bergerak berputar maju mundur, begitulah. Bahkan
Nasyid Badan Kontak Keluarga Jawa sempat jingkrak-jingkrak
begitu suara rebana mulai ditabuh. Bagai penyanyi-penyanyi pop,
puteri-puteri itu meliuk-liuk sehingga kontan hadirin bersorak:
Hoiii! Nasyid Pop!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini